Tajdida

Tiga Sikap Muslim Indonesia terhadap Bahasa Arab

5 Mins read

Muslim dan Bahasa Arab

Bahasa Al-Qur’an adalah istilah yang digunakan untuk bahasa Arab, istilah ini memberikan dasar penilaian bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama. Ketika kita berbicara tentang Islam,  sudah tentu berbicara tentang Al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an itu dalam bahasa Arab.

Dalam khutbah, seseorang selalu berbicara dalam bahasa Arab kemudian menerjemahkannya yang dimulai dengan ucapan, “Artinya kurang lebih sebagai berikut”. Dengan ucapan tersebut, dia memberikan penghormatan yang tinggi terhadap teks asli dan menyatakan terjemahan itu tidak asli. Kutipan Al-Qur’an pun selalu dimulai dengan teks asli kemudian terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Tulisan ini mencoba untuk menyoroti perlakuan umat Islam Indonesia terhadap bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an berdasarkan hasil penelitian Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1974).

Untuk memberikan bingkai analisis, maka penulis menggunakan teori tahapan kebudayaan van Peursen sebagaimana yang diulas dalam bukunya, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1988) dengan membagi tahapan kebudayaan menjadi tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsional.

Bahasa Arab dan Keberagamaan Muslim

Posisi bahasa Arab dalam peradaban muslim di awal abad 20, dalam kacamata Steenbrink, memiliki berbagai perspektif. Apalagi menyangkut fakta bahwa bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an. Hal ini memunculkan beberapa pandangan, perlakuan, dan apresiasi. Bila menggunakan kacamata van Peursen, maka dapat dikemukakan beberapa respon kultural umat Islam Indonesia terhadap kedudukan bahasa Arab dalam agama :

Di satu sisi memang Al-Qur’an yang menggunakan media bahasa Arab memiliki nilai mukjizat dalam Islam sebagaimana dikemukakan QS. 2: 23-24. Namun posisi bahasa Arab yang melekat dengan Al-Qur’an senantiasa menimbulkan tarik ulur pemahaman.

Pandangan Mitis

Beberapa contoh berikut, dari temuan Steenbrink, merupakan alam pikir mitis yang mewarnai keberagamaan sebagian masyarakat muslim di Indonesia: Pertama, pemahaman bahwa membaca doa dalam bahasa Inggris mendapatkan pahala, namun lebih bagus dan lebih utama dalam bahasa Arab.

Kedua, seorang guru bantu di sebuah pesantren menjelaskan QS. 62: 5 “Mereka seperti keledai yang membawa buku, tetapi tidak mengerti artinya” lalu disimpulkan bahwa untuk memahami Al-Qur’an harus memahami bahasa Arab terlebih dahulu. Padahal yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kaum Yahudi yang menerima kitab Taurat dan memahami isinya, tetapi tidak mau mempraktikkannya.

Baca Juga  Gerakan Ranting Muhammadiyah Melawan Politik Uang

Dalam konteks saat ini untuk memahami Al-Qur’an telah banyak tersedia perangkat yang bisa membantu seseorang memahami Al-Qur’an tanpa harus mahir bahasa Arab, seperti kamus, kitab tafsir yang berbahasa Indonesia, software Al-Qur’an dan seterusnya.

Ketiga, diwajibkannya berwudhu sebelum membaca Al-Qur’an, tapi itu hanya berlaku bagi kitab yang berbahasa Arab. Kalau memuat terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan beberapa catatan kaki, berwudu hanya dianggap sebagai kesusilaan saja, dan hukum berwudu tidak wajib berlaku baginya.

Pemahaman perilaku ini nampaknya lahir dari sebuah pemikiran semata, tanpa ada argumen teks dan nalar yang pasti. Bila dihadapkan dengan kondisi saat ini ketika Al-Qur’an “masuk” ke dalam handphone, maka apakah sebelum membaca Al-Qur’an dalam handphone tersebut harus berwudu terlebih dahulu?

***

Keempat, untuk membaca Al-Qur’an, sebaiknya diambil tempat yang dekat makam atau masjid. Waktu membaca, sebaiknya menghadap kiblat. Jika membawa Al-Qur’an biasanya dibungkus dengan kertas atau kain seperti sajadah. Al-Qur’an dibawa di atas kepala atau tangan kanan yang berpegang pada badan.

Pandangan ini pun berangkat dari sebuah pemikiran untuk menghormati posisi Al-Qur’an. Saat itu masyarakat baru mengenal dokumen dalam bentuk cetak, beda halnya saat ini yang Al-Qur’an pun ada dalam bentuk digital, di HP, computer, dan tablet yang senantiasa dibawa kemana pergi.

Dalam tradisi Islam klasik polemik tentang yang mana Al-Qur’an itu pernah terjadi. Al-Qur’an diartikan ma bayna al-daftayn. Ada dua maknanya, dari sisi bahasa Al-Qur’an adalah apa yang berada di dua sampul kitab suci itu. Namun bukankah kitab suci secara fisik bisa rusak atau terbakar? Apakah berarti Al-Qur’an juga hilang?

Kelima, khutbah dalam bahasa Arab adalah bagian dari meneladani Nabi. Meneladani Nabi SAW tentu harus dilakukan. Namun sunnah (perilaku) Nabi hendaknya dilihat apakah hal itu merupakan manifetasi wahyu sehingga berdimensi syariah, ataukah dalam kapasitas beliau sebagai seorang manusia biasa yang ditakdirkan menjadi orang Arab yang jika berkhutbah menggunakan bahasa Arab.

Baca Juga  Jika Ada, Kita Perlu Ikut Tes Wawasan Kemuhammadiyahan (TWK)

Apalagi banyak ditemukan khatib yang membaca khutbah dalam bahasa Arab, namun ternyata tidak mengerti arti apa yang ia baca.

Fakta — fakta pandangan mitis terhadap bahasa Arab di atas bisa jadi timbul karena tidak adanya pemisahan antara mana wilayah teks Arab yang sakral (konteks ibadah) dan mana yang profan (konteks budaya). Kenyataannya bahwa bahasa Arab bukanlah bahasa khusus umat Islam atau agama Islam.

Ia digunakan juga oleh penganut agama non Islam. Quraish Shihab (2011) menyebutkan minoritas-minoritas non-muslim yang sampai sekarang bermukim di beberapa wilayah Arab masih tetap menggunakan bahasa Arab, bahkan dalam khutbah-khutbah mereka di tempat suci.

Pandangan Ontologis

Pertama, titel intelektual disematkan kepada yang bisa berbahasa Belanda, adapun yang bisa berbahasa Arab “cukup” disematkan gelar kyai kampung atau orang siak. Pandangan ini ingin memberikan respon yang adil terhadap perlakuan sosial untuk bahasa Arab dan Belanda. Bahwa di samping intelegensia yang bermazhab ke Leiden, Paris, London, dan Berlin, ada juga mazhab intelegensia yang merujuk pada Kaior, Mekkah, Aligarh, dan Delhi. Kedua golongan tersebut berhak mendapat penghargaan yang sama.

Kedua, jika khutbah Jumat dibolehkan dalam bahasa Indonesia, kenapa salat tidak boleh dalam bahasa Indonesia? Pandangan ini lahir dari sebuah pertanyaan apa reasoning salat tidak boleh dalam bahasa Indonesia, sedangkan khutbah dibolehkan dalam bahasa Indonesia?

Bukankah khutbah juga merupakan ibadah sebagaimana halnya salat? Jika khutbah dalam bahasa Indonesia dibolehkan dengan alasan yang penting makna/pesan khutbah sampai atau dipahami dengan baik oleh umat, bukankah juga akan sangat baik bila salat dengan bahasa yang dipahami ?

Ketiga, keharusan memakai bahasa Arab untuk studi Al-Qur’an di IAIN/UIN. Kebijakan ini lahir dengan alasan bahwa pengantar bagi pendidikan agama Islam selalu berkaitan dengan pengucapan bahasa Arab, terutama beberapa konsonan yang masih sukar dimengerti dan diterapkan.

Pada tahapan ini, nampak bahwa umat Islam sudah mulai membuat pemilahan antara posisi bahasa Arab yang menjadi bagian syariah dan yang bukan syariah (hanya sebagai sarana transformasi pesan dari syariah). Ada seleksi untuk memposisikan bahasa Arab sebagai sesuatu yang melekat dalam syariah (amalan ibadah), bahasa Arab sebagai sarana komunikasi budaya atau hanya sebagai instrumen untuk memahami pesan agama yang teks sucinya menggunakan bahasa Arab.

Baca Juga  Muhammadiyah di Pusaran Framing Politik Identitas

Pandangan Fungsional

Pertama, protes atas diadakannya perlombaan membaca Al-Qur’an (semacam Musabaqah Tilawatil Quran/MTQ). Kalangan yang protes ini beranggapan bahwa Al-Qur’an bukan untuk dilombakan tetapi untuk dimengerti isinya dan diamalkan. Penyelenggaraan perlombaan membaca Al-Qur’an lebih banyak kepada unjuk kebolehan suara daripada penyampaian pesan yang lebih bermakna kepada publik.

Kedua, selain lafadz yang wajib dalam salat, maka lainnya boleh dengan bahasa Indonesia. Pandangan ini muncul dari sebuah pemahaman bahwa Nabi menyuruh kita melaksanakan salat seperti kita melihat, bukan seperti mendengar beliau melaksanakan salat. Menurut mazhab Hanafi pun menggunakan bahasa ibu dalam salat boleh dilakukan untuk orang yang tidak mengerti bahasa Arab.

Ketiga, yang penting dari Al-Qur’an adalah amalkan pesannya. Pandangan ini untuk memberikan komentar tentang perlakuan terhadap Al-Qur’an bahwa membaca Al-Qur’an tanpa mengerti artinya secara ubudiah benar, walaupun lebih baik mengerti, namun yang paling baik adalah mengamalkan isi yang dianjurkan dalam bacaan itu.

***

Pada tahapan ini terjadi semacam desakralisasi bahasa Arab sebagai perangkat bahasa agama. Ada sebuah keinginan untuk melakukan lompatan pemaknaan agama lebih kepada substansi pesan agama dan tidak terjebak pada formalisme ajaran agama yang menggunakan bahasa Arab.

Beragama dengan rasa, panggilan bahasa ibu (lokalitas) karena Tuhan tentu tahu bahasa hati setiap hamba-Nya sekalipun tanpa menggunakan medium bahasa Arab sebagai washilahnya.

Hasil penelitian dari Steenbrink di atas menunjukkan bahwa terjadi tarik menarik dan dialektika apresiasi budaya antara muslim Indonesia dengan bahasa Arab. Kadang ia diposisikan dalam tempat yang antikritik, kritik maupun berdasar pada kebutuhan.

Hal ini menunjukkan bahwa antara masyarakat muslim Indonesia dengan posisi bahasa Arab dalam keberagamaan mereka masih akan terus mengalami dialog dan positioning yang terus bergerak dan berkembang secara dinamis.

Editor: Yahya FR
Avatar
2 posts

About author
Wakil Ketua MPK PP Muhammadiyah & Dosen FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *