Feature

Kereta Ekonomi, Parasite, dan Saya

4 Mins read

Oleh: Wahyudi Akmaliah*

Sebagai peneliti prekariat yang tinggal di Jakarta, berhitung dengan cermat ketika menghadiri konferensi, apalagi itu berbayar, merupakan sebuah keharusan. Ya, karena ada banyak keperluan lain yang harus disisihkan untuk masa depan anak-anak saya. Meskipun harus diakui, di lembaga tempat saya bekerja, memiliki terbitan artikel terindeks global menjadi sebuah kewajiban saat ini.

Karena itu, mau tidak mau, ya harus menulis dan mengirimkan tulisan serta menghadiri konferensi untuk memungkinkan tulisan saya masuk dalam seleksi jurnal terindeks global. Saat mendapatkan surat undangan diterima untuk konferensi internasional di salah satu kampus negeri  di Salatiga, perasaan saya bimbang; apakah jadi berangkat atau tidak.

Jikalau pun berangkat, saya harus menyisihkan uang lebih lagi untuk transportasinya dan makan di jalan. Di sisi lain, terlalu keseringan bepergian dengan pesawat karena urusan pekerjaan kantor, membuat saya menjadi lebih nyaman untuk memilih moda ini, berakibat saya enggan untuk kembali ke masa lalu. Setelah dipikirkan dengan matang, saya memilih kereta api ekonomi, mencarinya yang paling murah di antara yang murah.

Saya mendapatkan tiket kereta ekonomi untuk perjalanan Jakarta-Semarang, melalui Stasiun Senen dan turun di Semarang Poncol. Saat berangkat, saya menggunakan Tawang Jaya, jam 23.00 dengan harga Rp.130.000 dan sampai sekitar jam 06.05. Untuk lebih menghemat, saya membawa sepeda motor untuk di parkir di luar Stasiun Pasar Senen, sebagaimana hasil pencarian informasi melalui Google yang saya dapatkan agar lebih murah.

Saat sampai di sekitar Pasar Senen, saya justru ragu. Dua parkiran motor yang saya datangi tidak menunjukkan bukti apapun sebagai bagian dari transaksi bahwasanya motor saya telah dititipkan. “Lalu kalau motor saya tiba-tiba hilang gimana? apa buktinya kalau saya pernah menaruh motor di sini?”, batin saya menggugat.

Baca Juga  IAIN Kerinci: Pilot Moderasi Beragama di Kerinci

Setelah selang sekitar 15 menit sampai dalam Stasiun Senen, saya pun mengambil motor itu dan parkir di dalam stasiun, meskipun tahu resikonya saya akan membayar mahal untuk parkir ini. Ya, kehidupan modern membuat saya menjadi tidak percaya dalam membangun hubungan tradisional sebelumnya dengan berpegang kepada kepercayaan semata dan informasi dari orang-orang sekitar, tanpa adanya bukti kertas hitam di atas putih.

Meskipun demikian, tidak sedikit dari para penumpang kereta yang menitipkan motornya di luar stasiun. Tampaknya, butuh waktu lama lagi untuk saya mengenal lebih jauh apa yang dimaksud dengan membangun kepercayaan dengan kelas yang berbeda.

Karena ini kereta super ekonomi, satu bangku panjang diduduki oleh tiga orang. Tidak ada jarak privasi sedikit pun. Dalam perjalanan sekitar 7 jam, tidak ada percakapan antara saya dan sesama penumpang. Entah mengapa. Wajah-wajah di depan saya terlihat murung dan seakan ingin sampai ke tempat tujuan. Melihat kondisi ini, saya berhenti untuk meniatkan diri menjadi ramah. Seperti mereka, saya lalu terdiam juga selama 7 jam dalam perjalanan, yang diisi dengan tidur, tidur, tidur. Tentu saja, masing-masing dari kami mengecek telepon genggam untuk sekadar mengisi kekosongan dan kebosanan.

Pengalaman naik kereta ekonomi ini tentu bukan hanya kali ini untuk saya. Selama mondok dan kuliah di Yogya hampir lebih dari 14 tahun, kereta ekonomi merupakan moda transportasi utama saya. Sebelum kehadiran Jonan melakukan revolusi PT Kereta Api Indonesia, saya sudah mengerti betul seluk-beluk di dalam kereta ekonomi; berjejalan, penuh, pengap, dan tidak bisa jalan, bahkan hanya ingin sekadar pergi ke toilet.

Saya biasanya menyiapkan kertas koran untuk bersiap tidur di lantai dan bangun saat tiba sampai tujuan dengan menjadikan tas ransel sebagai bantal. Namun, saat kuliah, pengalaman naik kereta saya semakin meningkat. Saya menjadi mengerti bahwasanya saya bisa naik kereta bisnis dan eksekutif. Tentu saja, mengerti di sini bukan berarti memiliki uang lebih, melainkan tahu bagaimana harus membayar kondektur tiket di dua stasiun; Purwokerto dan Cirebon.

Baca Juga  Sejarah Runtuhnya Kedaulatan Bangsa Mongol di Eropa Timur

Jika berhasil menghindar dengan masuk ke toilet saat pengecekan, saya bisa membayar hanya sekali, yaitu Rp.20.000. Jika ada dua pengecekan biasanya jadi Rp. 40.000. Jumlah uang segitu tentu saja hasil dari negosiasi dengan wajah memelas setelah sekian lama. Uang segitu biasanya akan dibagikan beberapa penjaga karcis yang berjaga.

Sebelum adanya revolusi Jonan, saat itu, titik perbedaan antara ekonomi, bisnis, dan eksekutif itu adalah kenyamanan di dalamnya; tanpa adanya tukang asongan masuk dan teriak-teriak dan ruangan di dalam berpendingin melalui AC. Tidak berhenti di setiap stasiun juga jadi alasan untuk kereta bisnis dan eksekutif lebih nyaman. Sementara ekonomi, kondisi dan suasananya lengkap semua seperti di pasar. Selain itu, hampir di semua stasiun selalu berhenti.

Keluar dari stasiun, bau menyengkat antara kotor, kencing, dan debu menjadi suatu hal yang biasa. Kini, yang membedakan antara kereta bisnis dan eksekutif serta ekonomi lebih pada persoalan waktu sampai dan kenyamanan di dalamnya, khususnya tempat duduk. Saya sebut demikian, karena saat balik dari Stasiun Poncol menuju Stasiun Senen melalui Kereta Jayabaya, saya mendapatkan tempat duduk yang setidaknya sedikit memiliki privasi, yaitu satu tempat duduk untuk dua orang.

Per-tiketnya tentu saja lebih mahal dari sebelumnya, Rp. 220.000. Sama seperti berangkat, dalam perjalanan pulang dari stasiun poncol menuju stasiun senen dari jam 18.30-01.30, saya tidak bercakap-cakap dengan penumpang yang lain. Entahlah. Wajah-wajah mereka tampak tidak ramah dan tidak nyaman saat diajak bicara. Berkali-kali saya mengajak bicara orang di depan dan di samping saya, mereka hanya menjawab sekadarnya; tanpa senyum! Jakarta tampaknya membentuk orang-orang menjadi curiga sekaligus keras, disatukan dalam kereta; menuju satu tujuan yang sama dengan urusan yang berbeda-beda.

Baca Juga  Islam dan Masa Depan Agama di Eropa

Pengalaman menggunakan kereta ekonomi ini tentu saja mengingatkan saya dalam film Parasite (2019) disutradarai oleh Bong Joon Ho asal Korea Selatan,  yang baru-baru ini saya tonton dan menjadi perbincangan kelas menengah warganet. Film ini menceritakan mengenai kelas bawah dan kelas atas dalam melihat sebuah peristiwa dengan cara yang berbeda, yang disatukan dalam satu bingkai cerita.

Melalui pengalaman visual, Bong Joon Ho dengan baik menyuguhkan narasi kelas bawah yang selama ini tidak pernah masuk dalam narasi publik kelas menengah dan elit. Selain itu, sutradara ini juga menyuguhkan bagaimana respon kelas bawah saat mereka berada dalam struktur lingkungan kelas atas; ada rasa kecemburuan, amarah, sekaligus keterkaguman untuk menjadi bagian dari mereka.

Mengalami naik kereta ekonomi sekaligus pernah berada di kelas bawah setelah menonton film itu membuat saya sadar bahwasanya tidak semua orang mau berada di kelas ini. Tapi, orang seringkali tidak memiliki pilihan. Meskipun demikian, pertautan antar kelas ini membuat saya menjadi lebih bisa membangun empati lebih jauh atas apa yang disebut terpinggirkan tanpa perlu berkoar-koar mengeluarkan teori-teori kiri dan keberpihakan.

*Peneliti LIPI

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds