Perspektif

Sekularisme Prancis: Kritik Terhadap Agama Dilindungi Hukum

3 Mins read

“On peut rire de tout mais pas avec n’importe qui”

— Coluche, french comedian

Pepatah Prancis ini diartikan sebagai, “kita bisa menertawakan banyak hal tetapi tidak dengan sembarang orang.” Quote terkenal ini dikatakan oleh seorang pelawak dari Perancis yang bernama Coluche. Hal ini menggambarkan keadaan Prancis saat ini dengan terjadinya dua kejadian yang memilukan, seperti kasus Charlie Hebdo dan kasus pelecehan Nabi Muhammad yang menyebabkan pembunuhan pelaku pelecehan.

Prancis yang terkenal memiliki kebanggaan kebebasan berpendapatnya hingga stereotip orang Prancis di mata orang eropa lain sebagai “tukang demo” dan “tukang ngeluh”, tergoyah pada dekade 2010an sampai saat ini.

Mungkin kita harus mengetahui mengenai kebebasan dalam Prancis. Menurut pemerintah Prancis, kebebasan berekspresi ini dikecualikan empat hal. Dilansir dari gouvernement.fr, empat hal tersebut adalah rasisme, anti-semit (anti Yahudi), kebencian ras, dan justifikasi terorisme. Empat hal ini dimasukkan ke dalam kategori pelecehan dan merupakan tindakan kriminal.

Lalu bagaimana dengan penggambaran karikatur Nabi? Dalam kasus ini tidak termasuk dalam kriminal, namun justru masuk ke dalam kebebasan berekspresi. Lelucon yang dibuat dalam majalah Charlie Hebdo mengenai agama tidak hanya dilakukan terhadap Islam, namun terhadap seluruh agama tidak terkecuali yahudi dan katolik, bahkan Yesus pun dibuat lelucon.

Kegiatan membuat lelucon terhadap agama sangat terkait dalam sejarah Prancis. Sekitar lebih dari 2 abad yang lalu, dunia keagamaan di Prancis memiliki pandangan negatif, dimana para uskup melindungi kediktatoran Raja Louis 16 melalui gereja. Sebaliknya, Raja Louis 16 melindungi gereja dari kritik melalui hukuman kerajaan.

Sekularisme Prancis, Kritik Agama Dilindungi Hukum

Simbiosis mutualisme itu berakhir pada revolusi Prancis. Pasca revolusi Prancis justru berbalik, kritik-kritik yang diarahkan terhadap agama dilindungi secara hukum. Tidak hanya itu saja, agama benar-benar dipisahkan dari pemerintahan dan melahirkan sekularisme di Prancis.

Baca Juga  Antara Liberalisme dan Radikalisme: Ke Mana Angin Bertiup?

Satu setengah abad kemudian, kedatangan imigran Muslim di Prancis bisa dikatakan baru. Dimulai tahun 1950an dimana muslim-muslim dari Afrika Utara mulai berimigrasi ke Prancis, dikarenakan buah dari kolonialisme yang menguasai daerah tersebut. Kedatangan imigran Muslim menjadikan Prancis sebagai salah satu negara Eropa yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa.

Akan tetapi pertumbuhan Muslim ini bisa dikatakan kurang harmonis secara sosial. Salah satunya dengan adanya calon presiden Prancis Marine Le Pen pada beberapa tahun lalu yang berkampanye anti Islam.

Untungnya, capres tersebut dikalahkan oleh Macron yang beraliran tengah. Pemilihan ini juga bertepatan dengan beberapa waktu setelah terjadinya Charlie Hebdo. Walaupun Le Pen kalah, ia berhasil menghasilkan suara yang besar sekitar 33,94 persen. Hal ini dapat disimpulkan secara kasar bahwa sentimen terhadap Muslim di Perancis juga lumayan besar.

Kasus Charlie Hebdo dan pembunuhan guru ini menjadikan hubungan antara dunia Muslim dan Prancis menjadi panas. Kita lihat dalam banyak kolom berita, Presiden Prancis Emmanuel Macron membela penggambaran Nabi sebagai kebebasan di Prancis. Hingga mengkritik dunia Islam yang sedang berada dalam krisis. Dari sisi dunia Islam, banyak yang mengutuk perkataan dan tindakan Macron. Memang Prancis dan dunia Islam memiliki spektrum yang bersebrangan.

Sebagai Presiden Prancis, ia bertanggung jawab melindungi kepastian hak warganya. Tindakan pembelaan tersebut dikatakan lumrah sebagaimana presiden yang melindungi hukum negaranya. Sehingga Macron membela tindakan pelaku penggambaran Nabi Muhammad yang menurut aturan hukum negara sebagai bentuk hak kebebasan.

Tetapi pernyataan kedua dimana Macron mengatakan Islam sedang dalam krisis sebenarnya justru menarik. Macron menilai Islam dimana dia sendiri bukan Islam. Tentu hal ini sontak menjadikan banyak umat Muslim yang marah hingga menyeruka boikot terhadap Perancis, selain tindakan pembelaan guru tersebut.

Baca Juga  Dari Membolehkan Bikini sampai Mempersekusi Ulama: Upaya MBS Sukseskan Visi 2030 Arab Saudi

Dunia Islam Sedang Krisis

Reaksi Muslim ini justru menjadikan saya terheran-heran, apakah dunia Islam sekarang ini sedang mengalami kesempurnaan hingga kritikan ini sangat ditentang dari pihak luar. Bahkan kenyataannya, dunia Islam sekarang ini memang berada di ambang krisis dalam banyak bidang, konflik-konflik yang kompleks dari negara yang mayoritas di negara Islam belum terselesaikan.

Respon dunia Muslim ini yang dihadapi justru menurut saya kurang tepat, sehingga membuat dunia Muslim menjadi anti kritik. Masalah dalam dunia Islam yang terperangkap dalam kemiskinan, intoleransi, dan terorisme masih menjadi perbincangan hangat. Sepatutnya perkataan Macron ini bisa menjadi bahan masukan kita untuk lebih giat dalam membangun peradaban Islam yang dewasa.

Mengenai respon penggambaran Nabi, kita bisa bandingkan dengan dunia Kristen dan Yahudi ketika Charlie Hebdo mengeluarkan lelucon terhadap mereka. Apakah timbul permasalahan besar setelahnya?

Andai Kita Lebih Dewasa

Andai saja dunia Islam benar-benar dewasa, mungkin banyak dari kita menganggap Charlie Hebdo dan penggambar Nabi bukanlah masalah serius, karena mereka memang tidak pernah belajar Islam. Karena orang yang berilmu tidak akan menganggap serius celotehan dari orang yang tidak berilmu. Itulah kebebasan berpendapat, kita bisa menilai yang mana pihak yang terdidik maupun pihak yang miskin ilmu.

Sebagai Muslim, tentu kita memiliki ilmu mengenai agama kita sendiri, apakah kita satu level dengan pihak Charlie Hebdo maupun guru yang menunjukan kartun Nabi sehingga kita terlalu serius akan hal itu? Toh yang dia gambar juga bukan Nabi Muhammad, hanya imajinasinya saja.

Jika saja dunia Islam merespon dengan dewasa, slogan religion of peace pada agama Islam, benar-benar kita nampak di depan non-Muslim. Pasti lelucon ataupun sarkasme terhadap Islam di berita Internasional tidak sebanyak ini.

Baca Juga  Tiga Cara Memahami Populisme

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa S1 Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds