Inspiring

Kematian dan Nilai-nilai Tasawuf Dalang Ki Seno Nugroho

3 Mins read

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Selasa malam lalu, 3 November 2020 Ki Seno Nugroho dalang kondang yang digandrungi milenial itu meninggal dunia. Kata kunci “Ki Seno Nugroho” pun melambung naik, trending di jajaran teratas pada media sosial Twitter sejak Selasa malam hingga Rabu pagi (3-4/11/2020). Sebenarnya, seberapa spesial sosok yang satu ini?

“Ditinggal pas lagi sayang-sayange.”
(Ditinggal saat sedang sayang-sayangnya)

Ki Seno Nugroho

Ki Seno Nugroho adalah dalang muda potensial asal Yogyakarta yang dikenal sebagai salah satu dalang pembaharu gaya pedalangan masa kini. Gaya pewayangan Ki Seno merupakan perpaduan gagrak Yogyakarta dengan gagrak Surakarta. Pembawaan wayang dengan bahasa yang mudah dipahami, guyonannya mengena, kreativitas dalam bercerita membuat wayang tidak saja disenangi oleh orang-orang tua, namun juga digandrungi oleh generasi muda.

Kawula muda yang awalnya jauh dari wayang, tidak paham alur ceritanya karena mungkin sulit dicerna, kini sejak dibawakan Ki Seno, wayang pada akhirnya kembali dekat dengan remaja-remaja kita, bahkan hingga usia anak-anak. Anak saya yang belum genap tiga tahun, dia senang sekali menyimak pertunjukan Ki Seno yang saya putarkan di YouTube sambil sesekali memainkan wayang kertas tokoh Semar yang ia pegang.

Ki Seno mampu mempopulerkan dunia pewayangan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka mengikuti pertunjukan wayang semalam suntuk. Jika tidak datang secara langsung, para penikmat dapat menyimak secara streaming YouTube.

Ki Seno menjadi pelipur bagi yang lara, hiburan bagi yang lelah. Lakon yang dimainkan menjadi contoh dan pedoman dalam kita hidup di dunia. Pada saat pentas, Ki Seno seringkali memberikan wejangan yang mengena di hati. Kadang kalimat-kalimat satir juga diluncurkan halus untuk mengkritisi keadaan dunia terkini.

Baca Juga  Syah Wali Allah: Akal dan Nalar untuk Ijtihad

Kematian dan Nilai Tasawuf

Nilai tasawuf ketara kental dalam setiap perbincangan antara tokoh wayang yang dimainkan, misalnya saja penggalan percakapan antara Bagong dan Petruk berikut ini,

Kata Bagong: Wong urip sing dienteni opo Truk (Petruk)? Sugiho, nduweo drajat pangkat, bandane sak tumpuk, seprapat jagad. Ning wong urip ki mung koyo ngimpi, gagasen saiki umurmu piro? Kowe kelingan jaman cilikanmu? Rak gelis to? Ming koyo wong ngimpi to? Tur kui mung kari ngenteni modare.”

Yang artinya,“Orang hidup itu yang ditunggu apa Truk (Petruk)? Sekalipun kaya, punya derajat pangkat, hartanya bertumpuk, seperempat jagad. Padahal sejatinya orang hidup hanyalah selayaknya mimpi, sekarang coba kamu pikir umurmu berapa? Kamu masih ingat masa kecilmu?, bukankah cepat? Hanya seperti orang yang bermimpi saja bukan? Dan itu hanya menunggu ajal tiba.”

Satu penggalan lain yang popular dan bertebaran di Twitter sejak semalam adalah sebagai berikut:

“Le, wong urip ki ojo ngawulo karo bondho dunyo. Wong urip ki ojo ngawulo karo drajat pangkat. Elingo, urip ki embane koyo wong ngimpi. Pati, pesti, jodo kuwi tibane koyo maling ora iso dinyono-nyono. Saiki entuk duit milyaran-trilyunan, sesok isuk modiar sopo sing ngerti?”

Yang artinya “Nak, orang hidup jangan menghamba pada harta dunia. Orang hidup jangan menghamba pada derajat dan pangkat. Ingatlah, hidup ini bagaikan mimpi. Kematian, ketetapan takdir, jodoh itu datangnya seperti maling tidak dapat disangka-sangka. Sekarang mendapat uang milyaran-trilyunan, besok pagi mati siapa yang tahu?

Kematian memang tak ubahnya kepulangan. Pulang yang harus kita maknai ulang. Menurut  Komaruddin Hidayat dalam bukunya Psikologi Kematian disebutkan, pengalaman hidup sehari-hari mengajarkan bahwa acara pulang selalu menarik dan menimbulkan antusiasme. Pulang sekolah, pulang kerja, pulang mudik dan berbagai peristiwa pulang lain, tentu sangat ditunggu. Kematian banyak ditakuti oleh kebanyakan kita, padahal kematian merupakan kepulangan ke Allah Swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kata Komaruddin lagi, “Kalau seseorang tidak mau kembali ke Allah, lalu mau kembali ke mana?”

Menurut Muhammad Sholikin dalam bukunya Ritual Kematian Islam Jawa bahwa dalam ajaran Islam kehormatan manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai ciptaan termulia tidak hanya terjadi dan ada ketika masih hidup saja. Akan tetapi kemuliaannya sebagai makhluk Allah tetap ada walaupun ia secara fisik sudah meninggal. Kesinambungan kemuliannya sebagai makhluk Allah terjadi karena ruhnya tetap hidup, hanya saja berpindah ke alam lain.

Baca Juga  Mustafa Al-A'zami, Pendekar Hadis Kontemporer

***

Kita doakan bersama, semoga Ki Seno Nugroho yang telah memberikan kemanfaatan kepada para penyimak pertunjukannya, kemanfaatan tersebut dapat langgeng hingga alam akhirat dan dapat menjadi bekal untuk bersua dengan Allah Swt. Sang Pemilik Yang Maha Hidup dan Maha Kekal.

Sungguh kita kehilangan sosok yang luar biasa. Selamat jalan Ki Seno Nugroho, karyamu abadi. Sugeng pentas di surga.

Editor: Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds