Baqir ash Sadr dilahirkan pada tanggal 25 Dzulqa’dah 1353 H (1 Maret 1935 M) di Kadzimiah, Irak. Nama lengkapnya yaitu Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Sadr. Ia merupakan cendekiawan Muslim yang genius, fakih dan terkenal dikalangan awam maupun kalangan pelajar, karena beliau berasal dari keluarga yang berintelek. Dengan kepandaiannya tersebut, ia dapat menyelesaikan pendidikannya dengan cepat dan hasilnya baik.
Orang yang berpikir untuk mengkritik komunisme yang mana berasal dari tradisi para Marja’ Baqir ash Sadr menggali khazanah intelektual Syiah. Seorang mujtahid Syiah tentunya memiliki kemampuan untuk mengeluarkan produk hukum berdasarkan kitab suci dan sumber terpercaya. Tapi di dalam Syiah, hanya marja’ (secara harfiah berarti ‘sumber otoritas’) yang berhak diikuti fatwanya. Semua marja’ adalah mujtahid, namun tidak semua mujtahid itu marja’. Penganut Syiah mengikuti fatwa marja’ yang masih hidup biasanya seorang mujtahid sepuh, mirip seperti posisi kiai khos dan alim di kultur Nahdlatul Ulama.
Pada masa muda Baqir ash Sadr, ia menyaksikan perseteruan intelektual di Najaf antara kumpulan ulama tradisional dan kelompok komunis. Dua kelompok ini membentuk dasar pemikirannya. Kelompok sosialis-komunis memberikan pengaruh pada perhatian mengenai persoalan-persoalan sosial, sementara itu dari dalam tradisi Syiah ia mendalami agama dan pemikiran Islam. Komunisme menjadi tantangan utama bagi Sadr khususnya setelah revolusi di Irak pada 1958. Momen penting inilah yang menjadi pemicu baginya untuk mengkritik pandangan komunisme Barat.
Sepanjang abad ke-20, sekularisme dalam berbagai bentuknya tidak mengizinkan pembentukan suatu pemerintahan Syiah di beberapa pusat umat Syiah dari Libanon hingga Pakistan. Di Irak, Ba’athisme (bahasa Arab: al-ba`athiyyah, artinya ‘kebangkitan’) sebagai ideologi nasionalis Arab ikut menjadi tren politik yang dominan untuk menyatukan negara-negara Arab di bawah kendali partai tunggal. Filsuf Kristen Suriah jebolan Sorbonne, Michael Aflaq (m. 1989), menjadi pemikir utama ideologi ini bahkan pernah menjadi sekretaris jenderal Partai Ba’ath di Irak hingga ia meninggal. Revolusi Islam Iran membuka ruang bagi aktivis muda seperti Sadr untuk merevitalisasi kelembagaan Syiah dalam politik.
Kritik Terhadap Komunisme
Sebagai kritik langsung atas komunisme menurut Sadr, mazhab pemikiran materialis memiliki banyak kelemahan dari pandangan komunis yang menyebabkanya pincang. Kebenaran akhir dari kemanusiaan, telos komunis, adalah cacat. Argumennya, komunisme tidak bisa memberikan jawaban atas permasalahan umat karena asumsi dasarnya salah.
Sebagai seorang mujtahid Syiah, upaya Sadr dalam menggali perspektif marxisme lalu mengungkapkan gagasan filosofinya menjadi contoh yang luar biasa. Penguasaannya pada landasan filsafat Barat kuat, lalu dikembalikan pada pandangan Islam, sesuai dengan filsafat Mulla Sadra. Misalnya ketika ia membas tentang ‘gerak pembangunan’. Sadr memulai dengan kutipan dari Stalin dan Engels mengenai superioritas materialisme dialektis atas alam lalu mengkritiknya melalui tradisi Yunani. Ia lalu menyempurnakannya dengan filsafat Mulla Sadra melalui konsep al-harakah al-jawhariyyah (gerak substansial).
Dalam usia yang belia, Sadr adalah teladan yang baik dalam menghadirkan sistem pemikiran Islam yang kamil di tengah gempuran komunisme di negerinya. Dibanding Imam Khomeini, bahkan gagasan filosofis Sadr menyebar lebih luas ke komunitas Suni di seluruh dunia. Dengan mengikat lalu menantang gagasan filosofis Barat, dan bukan menghinanya dengan demagogi murahan, Sadr mendapat penerimaan yang luas. Apalagi ia adalah salah satu pengkritik di zaman ketika kata ‘ideologi’ sedang memanas, di tengah pertentangan Perang Dingin.
Baqir al-sadr juga adalah seorang yang pertamakali membahas tentang dotrin islam modern berdasarkan hukum islam. Dua tahun setelah dia menurunkan karya kritik filsafatnya, ia menulis Ekonomi Kami sebagai kritik atas teori ekonomi dari komunisme dan kapitalisme, lalu memperkenalkan teori Islam mengenai ekonomi politik.
Pandangannya Tentang Ekonomi, Filsafat dan Agama
Di sini iamencoba menolak argumen, yang diberikan oleh kelompok-kelompok sekuler liberal maupun komunis, yang memberikan argumen bahwa Islam tidak memberikan solusi atas permasalahan ekonomi modern. Menurut Baqir al-sadr islam sangat peduli terhadap kesejahteraan ekonomi yang berkeinginan dengan konsep keadilan untuk semua orang.
Baqir al- sadr memfokuskan perhatiannya soal mengacu pada persoalan nilai moral dan ia tidak sedang mengeliminasi segala yang dijelaskan ekonomi modern misalnya, menjelaskan tentang hukum universal alami dari ekonomi seperti permintaan dan penawaran serta hukum hasil lebih yang berkurang (the law of deminishing return) yang merupakan hukum umum dan bukan spesifik kapitalisme. Perhatian Sadr soal ekonomi Islam ini tak terlepas dari etika Islam dan kaidahnya, tema yang kemudian lebih diperinci lagi dijelaskan oleh ekonom Pakistan, Syed Naqvi.
Dalam hal logika, Baqir al- sadr menanggapi Bertrand Russel untuk mengawinkan sains dan agama sesuai dengan standar filsafat akademik modern. Pengetahuan agama, menurutnya, bukan antitesis dari pengetahuan ilmiah yang bisa di ujicoba dan dijadikan bahapenelitan. Ia juga tidak mencontohkan Al-Qur’an dan hadis untuk mengungkapnya. Sebagaimana filsuf Kristen, Sadr mencoba mempertahankan iman atas serangan yang dilancarkan kelompok ilmuwan ateis, katakanlah zaman ini ada Richard Dawkins justru dengan membangun epistemologi menyeluruh yang berdasarkan pada analisis penalaran induktif.
Pengetahuan ensiklopedis seorang mujtahid Syiah itu memang umum. Dalam dunia filsafat, kita tak pernah meragukan banyak ulama Syiah yang melek tradisi intelektual sekaligus mencoba menjawab tantangan filsafat modern.
Editor: Dhima Wahyu Sejati