Imam al-Juwaini adalah seorang mujtahid dari golongan Asy’ariyah. Ia juga merupakan salah satu ilmuwan cerdas dan inspiratif dalam kancah intelektual Islam. Beliau lahir pada 22 Februari 1028 Masehi dengan nama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah Al-Juwaini Al-Nisaburi. (Pellat dan Schacht,1965:605).
Al-Juwaini telah banyak berkarya dalam berbagai disiplin ilmu, khusunya ilmu kalam. Ia mencetak karya besar yaitu sebuah buku berjudul al-Irshad ila Qawati Adila fi Ushul al-Itiqad yang didalamnya berisi tentang asas-asas ilmu kalam (Al-Juwaini,1979)
Al-Juwaini merupakan sosok yang kecerdasannya telah nampak sejak belia. Ia sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan ilmiah yang kemudian mengantarkannya menjadi ilmuwan termasyhur. Dalam menghadapi sesuatu ia selalu mendasarkan pada logika, bersikap kritis, dan tidak serta merta meyakini ilmu pengetahuan dari satu sumber saja. Kemudian al-Juwaini mendalami berbagai disiplin ilmu seperti ushul fiqh, tafsir al-Qur’an, hadits, ilmu kalam, juga filsafat. Ia berguru salah satunya kepada Qasim al-Iskafi al-Asfarani, al-Baihaqi, dan al-Kabazi.
Al-Juwaini juga mendalami Bahasa Arab kepada Hasan Ali Fadhal dan Abdillah al-Bukhary. Al-Juwaini mendapat gelar Imam al-Haramain ketika mengajar di Kota Makkah dan Madinah. Ia sempat pergi ke beberapa kota. Persinggahannya ini dilatar belakangi sebuah konflik antara mazhab Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Lima tahun berselang, ia kembali pulang dan mendirikan sebuah sekolah madzhab Syafi’i. Sepulang dari pengembaraannya, al-Juwaini mulai berkarir sebagai penulis buku-buku teologi, fiqih, dan ushul fiqh, sekaligus sebagai ilmuwan.
Konsep Kasb menurut Imam al-Juwaini
Walaupun ia dari golongan Asy’ariyah, konstruksi pemikiran kalam al-Juwaini justru tidak selalu sepaham dengan mazhab Asy’ariyah sendiri. Pemikirannya seperti berada ditengah-tengah beberapa mazhab.
Ia kemudian menggagas konsep kasb sebagai salah satu gagasan kalamnya. Dalam hal ini ia terlihat lebih condong pada pemahaman Qadariyah. Kata kasb sendiri berasal dari iktisab yang dimaknai sebagai terjadinya suatu hal sebab adanya hal lain yang membolehkan itu terjadi (Al-Asy’ari, 1985:30).
Eksistensi manusia dan dinamika kehidupan selalu menjadi tabir misteri. Begitupun dengan bagaimana perangai manusia dalam menjalani kehidupan dan pertaliannya dengan Tuhan. Dalam ideologi Jabariyah, kasb ditiadakan dan memahami bahwa perbuatan manusia dapat terwujud hanya karena kehendak Tuhan. Manusia tidak memiliki daya untuk menyetir dirinya sendiri. (Samad,2013:77).
Berbeda dengan Jabariyah, Qadariyah melihat manusia sebagai makhluk yang diberikan free will atau kebebasan berkehendak oleh Tuhan dalam memutuskan skenario hidupnya namun, dengan batasan tertentu yang telah ditetapkan Tuhan.
Al-Juwaini mengatakan, bahwasanya dalam penciptaan manusia, secara esensial Tuhan memberi pengetahuan dasar dan ‘kemampuan’ lain yang menunjang dalam mewujudkan kehendaknya. Dengan kata lain, Tuhan memberi kuasa manusia untuk bebas berkehendak. Namun, tidak bersifat mutlak sebab manusia masih perlu berkat Tuhan dalam mewujudkan kehendak-Nya. Tuhan memberikan batasan kepada manusia atas kemampuan yang dimiliknya.
Intinya, manusia memiliki kemampuan untuk berkehendak bebas namun hanya sebatas yang diberikan Tuhan saja. Diluar jangkauan itu, manusia tidak akan mampu mewujudkan ataupun sekedar berkehendak. Namun, jika terjadi hal yang diluar kehendak manusia itu sendiri, maka itu berasal dari faktor eksternal. Ini disebut dengan ketetapan atau takdir.
Sebagai analogi, ketika seseorang sedang terancam bahaya yang menyebabkan ia mau tak mau mengahadapi ketakutannya. Karena didorong oleh rasa takut, seseorang itu mempertahankan diri semaksimal mungkin hingga mampu menyelamatkan dirinya dengan cara yang tidak ia duga.
Inilah yang disebut dengan ketetapan atau takdir. Tuhan juga berkuasa atas baik buruknya seorang manusia. jika Tuhan menghendaki seseorang menjadi manusia baik, Tuhan akan membuka peluang-peluang baik dalam hidupnya dan memberinya kecakapan untuk hidup sebagai orang baik. Begitupun sebaliknya, jika seseorang dikehendaki menjadi manusia yang tidak baik, Tuhan membuka peluang bagi seseorang tersebut untuk berbuat tercela.
Beberapa diantara kita mungkin pernah congkak menunda bertaubat dengan alasan petunjuk atau hidayat Tuhan akan datang dengan sendirinya. Acap kali manusia yang merasa dirinya panjang umur berkata demikian. Padahal jika mau merenung sejenak, usia tua bukan jaminan seseorang mendapat hidayat dan bertaubat.
Sekali lagi, Tuhan memiliki kuasa bebas atas semua makhluk dan ciptaan-Nya. Apa yang dikehendaki-Nya, itulah yang terjadi. Begitupun sebaliknya. Tidak hanya manusia, namun seluruh gerak alam semesta, energi, dan atmosfir didalamnya ada dalam kendali Tuhan dan bergantung kepada-Nya. Semua hal dalam semesta termasuk komponen terkecilpun merupakan bagian dari Tuhan dan dalam kendali Tuhan. (Ja’far,2012:274).
Editor: Yusuf