Hari-hari ini Indonesia kembali menjadi perhatian dunia. Perhatian yang sayangnya kurang mengenakkan. Bukan perhatian yang saya mimpikan. Bahwa suatu saat Indonesia akan jadi pusat perhatian dunia karena kekuatan, kemajuan, dan tentunya berbagai inovasinya di tengah kehidupan dunia globa saat ini.
Justru yang menarik perhatian dunia kali ini adalah peristiwa kekerasan dan pembunuhan kepada 6 rakyat sipil kemarin pagi. Keenam korban ini diduga sebagai pendukung dan pengawal Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab. Kejadian ini telah banyak mendapat sorotan media internasional, termasuk AP, Reuters, Al-Jazeera, dan lain-lain.
Pembunuhan Itu Keji
Di dalam negeri sendiri hampir semua media mengalihkan perhatian dari isu-isu besar yang dalam dua tiga hari ini menjadi isu panas di tanah air. Isu itu adalah tertangkapnya dua Menteri Kabinet Kerja, Menteri Sosial Juliari Batubara dari PDIP dan sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Partai Gerindra.
Yang menarik lagi penangkapan Menteri Sosial yang menyalahgunakan dana COVID-19 itu dihubungkan dengan pernyataan Ketua KPK dan bahkan oleh Menko Mahfud MD, bahwa korupsi di masa pandemi ini terancam hukuman mati. Tentu pernyataan ini menjadi tantangan sendiri akan konsistensi pemerintah dalam menegakkan hukum dan memenuhi janji.
Tapi isu yang tidak kalah pentingnya, bahkan seharusnya menjadi perhatian serius oleh semua pihak, khususnya pemerintah adalah menggeliatnya seruan gerakan Papua Merdeka, baik dari luar maupun dalam negeri. Salah satu di antaranya adalah seruan Papua Merdeka di Kongress XXXVII GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) beberapa waktu lalu.
Seruan Papua Merdeka ini tentunya menjadi hal besar yang harusnya menarik perhatian dan keprihatinan semua pihak. Karena segala hal yang selama ini didengunkan oleh pemerintah, termasuk upaya meredam gerakan-gerakan radikal yang dianggap dapat mengganggu kestabilan nasional dan ancaman terhadap NKRI. Maka pastinya keterbukaan seruan Papua Merdeka ini dilihat sebagai ancaman yang lebih berbahaya dan nyata.
Akan tetapi dengan penembakan dan pembunuhan 6 orang muslim pengikut HRS ini kontan saja semua pemberitaan mengenai kedua hal di atas hilang hilang ditelan bumi. Seolah perhatian bangsa, termasuk media massa dan media sosial tergiring untuk melupakan semuanya.
Karenanya wajar jika penembakan anggota FPI dan pengawal HRS itu oleh sebagian dicurigai sebagai, selain memang upaya meredam pergerakan Dakwah HRS yang dianggap kurang nyaman bagi sebagian kalangan, juga merupakan pengalihan perhatian publik. Namun, apapun alasannya pembunuhan tetaplah pembunuhan, pembunuhan itu perbuatan keji.
Penembakan adalah Isu HAM
Pengalihan perhatian ini dianggap penting untuk menyelamatkan muka pihak-pihak yang boleh jadi dengan peristiwa itu menjadi tercoreng. Selain karena pelaku korupsi pastinya mencoreng partai afiliasinya, juga karena isu Papua merdeka kini menguji nyali mereka yang selama ini meneriakkan “NKRI harga mati”.
Terlepas dari apa dan bagaimana kejadian yang sesungguhnya terjadi di subuh hari itu, penembakan rakyat sipil tanpa sebuah ancaman nyata yang bisa dibuktikan tidak bisa dibenarkan oleh hukum dan akal sehat.
Pembunuhan yang terjadi, siapapun pelaku dan korbannya, adalah perbuatan keji yang terkutuk. Dan karenanya pembunuhan itu harus ditolak dan dikecam. Bahkan dikutuk oleh semua orang yang sadar hukum dan punya rasa kemanusiaan (sense of humanity).
Kesadaran hukum dan rasa kemanusiaan itulah yang membangkitkan bangsa Amerika Serikat mengutuk pembunuhan kepada satu orang Afro Amerika baru-baru ini. George Floyd yang ditindih oleh polisi menggunakan lutut hingga kehilangan nyawanya memicu kemarahan warga Amerika. Bahkan tidak berlebihan jika isu ini menjadi bagian dari penyebab kekalahan seorang Presiden Donald Trump di Pilpres November lalu.
Karenanya, apa yang terjadi di Indonesia ini harusnya menjadi isu sensitif dan besar. Tentu tidak harus menimbulkan reaksi destruktif. Tapi perlu secara masif disuarakan resistensi itu. Agar kekejian serupa jangan lagi terulang.
Kejadian yang telah membuka mata dunia internasional ini juga pastinya akan menjadi cataan dunia. Apalagi dalam konteks Amerika, dengan kemenangan Joe Biden dari Partai Demokrat yang punya perhatian serius dengan isu-isu HAM, hal ini jika tidak diselesaikan dengan baik dan adil maka akan menjadi isu besar bagi Indonesia.
Khawatirnya kekerasan seperti ini justru akan membuka pintu bagi pihak-pihak yang memang punya itikad yang kurang baik untuk merusak Indonesia. Termasuk kemungkinan menjadi pintu bagi dunia untuk membuka mata terhadap isu Papua itu sendiri.
Peran Polisi Seharusnya
Karenanya harapan kita semua agar peristiwa ini jangan sampai terulang lagi. Polisi itu harusnya hadir memberikan rasa aman dan perlindungan kepada warga. Penggunaan kekerasan, apalagi dengan senjata api oleh pengamanan, hanya diperbolehkan dalam situasi yang ekstra penting dan nyata bahayanya (real threat).
Rasa kemanusiaan saya mengatakan bahwa keadaan yang timbul saat kejar-kejaran di jalan itu bukan sebuah keadaan yang extraordinary (luar biasa). Saya yakin seandainya saja pendukung HRS itu memiliki senjata api, dengan keahlian dan pengalaman polisi bisa diamankan tampa penembakan, apalagi pembunuhan.
Karenanya terlepas dari apa yang sesungguhnya terjadi saat itu, dan semoga bisa dibuktikan, membunuh sipil apalagi jamaah yang akan ke ibadah sholat subuh dan acara pengajian adalah sesuatu yang terkutuk.
Mari suarakan resistensi itu dengan cara-cara konstitusional dan konstruktif, agar hal serupa jangan lagi terulang. Pembunuhan, sekali lagi, siapapun pelaku dan korbannya harus ditentang dan dikutuk.
Nyawa manusia itu sakral. Biarlah Allah sang Pencipta mati dan hidup yang mengambilnya. Dan semoga Indonesia, negeriku tercinta, selalu aman dan damai, makmur dan berkeadilan. Amin!
Editor: Nabhan