Feature

Belajar dari Isolasi Mandiri COVID-19

3 Mins read

Sebelum pandemi, saya termasuk yang mudah flu, radang tenggorokan, greges-greges atau sariawan, dan tidak cepat sembuh. Imun saya tampaknya memang kurang bagus. Sementara istri saya kalau sakit cepat sembuhnya. Jadi dengan adanya pandemi, ketar-ketir juga. Apalagi saya kerja di rumah sakit.

Sejak pandemi, saya memberlakukan disiplin kesehatan keluarga secara cukup ketat. Keluar rumah pakai masker, pulang ke rumah ganti baju dulu dan bersih-bersih. Apalagi pulang kerja dari rumah sakit, harus mandi keramas. Tidak ke mana-mana kecuali penting sekali, kalau ketemu orang memikirkan rencananya dengan cukup matang dahulu. Demikian selama berbulan-bulan.

Positif COVID-19 dan Isolasi Mandiri

Beberapa waktu lalu, dengan pertimbangan cukup panjang, kami sekeluarga memutuskan mudik untuk menengok orang tua yang sakit dan sedang mondok di rumah sakit. Sempat tegang karena ada kemungkinan mengarah ke COVID-19. Tapi setelah swab, ternyata negatif. Saya sebagai nakes pun swab dan juga negatif hasilnya.

Tak dinyana, ternyata kemudian diketahui bahwa kakak ipar, seorang bidan, positif dan masuk dalam klasifikasi orang tanpa gejala (OTG) setelah skrining tenaga kesehatan. Nah, padahal kami sekeluarga sempat kontak dengannya. Kami pun langsung daftar swab mandiri dengan hasil: 2 negatif, 3 harus diulang. Alhamdulillah sambil deg-degan, karena memang dua orang yang negatif itu sempat kontak dengan tiga orang lainnya. Kalau ternyata 3 orang positif, 2 orang lainnya bisa ketularan positif semua. Maka kerepotan selanjutnya adalah memisahkan dua orang negatif dari tiga orang yang hasilnya meragukan namun tetap tinggal serumah. Maka ruang di rumah perlu dipisahkan.

Singkat cerita, ternyata 3 tersebut positif: saya, istri, dan anak yang batita. Duh! Istri dan si kecil batuk-pilek. Saya tanpa gejala (padahal CT value saya lebih kecil, lebih infeksius). Kami tidak kontak erat dengan siapapun kecuali orang-orang yang diketahui negatif. Artinya jalur infeksinya itu dari kakak ipar yang OTG itu.

Baca Juga  Puasa Ikut NU, Lebaran Ikut Muhammadiyah

Maka kerepotan berlipat ganda. Merawat yang positif dan menjaga yang negatif agar tidak tertular padahal serumah. Merawat si kecil tidak mudah: memastikan gejala teratasi, saturasi dipantau terus, ASI dan makanan harus full, sementara istri juga positif.

Mengatur makan saja merupakan pekerjaan yang cukup merepotkan karena yang bisa menyiapkan makan istri dan saya, bukan yang negatif karena mereka belum mandiri. Dan yang batita jelas tidak mungkin di kamar terus, jadi yang di kamar terus justru yang negatif.

Beban mental bagi saya cukup berat, karena sembari terus memantau keluarga sendiri, saya masih menerima konsultasi pasien-pasien kritis COVID-19 di RS tempat saya bekerja. Dokter anestesi memang mengurusi pasien kritis. Dalam satu pekan bahkan bisa sampai 5 orang yang meninggal!

Kekhawatiran terhadap kondisi keluarga sungguh berat karena pikiran dihantui bayangan kegawatan tersebut terjadi pada keluarga di depan mata.

Perbaikan Pola Hidup Karena Pandemi

Saya sebut di awal bahwa dulu saya model orang mudah sakit. Tapi sejak pandemi, saya memperbaiki pola hidup, saya format dalam #SulukMakan. Tentu tidak hanya makan, tapi juga diatur konsumsi yang lain seperti wedhang, vitamin C, E, gula diganti madu, dll. Lalu olah raga, mandi matahari pagi, hidup higienis, meditasi, dan olah nafas. Rutin begitu, dan makin teratur saat positif kemarin.

Dugaan saya, karena perbaikan cara hidup itu, selama pandemi saya tidak pernah sakit bermakna. Pegal-pegal, greges-greges sedikit pernah tapi jauh berkurang dibanding dulu. Yang tampak jelas, meski CT value saya lebih kecil dari istri dan anak saya, saya tidak bergejala, tetap fit, berbeda dengan istri dan anak.

Mengoptimalkan imun tidak bisa dibangun dalam sehari, saya merasa beruntung sudah mulai hidup lebih baik sejak beberapa bulan lalu. Sedikit-banyak keluarga kami mengikuti pola hidup yang lebih sehat. Tentu ini bukan usaha sesaat, tapi usaha terus sepanjang hidup. Bukan hanya mencegah COVID-19, tapi juga untuk hidup yang lebih baik.

Baca Juga  Ngapain Boikot Kalau Tak Mampu Membeli?

Pelajaran yang Didapat

Alhamdulillah swab terbaru sudah keluar, setelah belasan hari isolasi mandiri, kami sudah negatif.

Setidaknya ada empat pelajaran yang saya dapat:

Pertama, klaster keluarga itu risiko tinggi dengan kontrol yang lebih sulit. Kita sering nggak enakan untuk menegakkan protokol kesehatan pada keluarga sendiri.

Kedua, OTG itu menular. Omongan oknum dokter yang bilang OTG tidak menular jelas keliru.

Ketiga, tampaknya usaha untuk hidup baik (dengan detil cukup banyak saya sebutkan tadi) memperbaiki kekuatan imun saya. Swab kedua sudah negatif, tidak perlu berlama-lama dan swab berulang-ulang. Sayangnya memang kita tidak pernah tahu yang menginfeksi itu subtipe virus yang mana, jinak atau ganas. Ada dugaan subtipe tertentu lebih ganas.

Keempat, isolasi mandiri karena positif COVID-19 itu berat, baik urusan teknis maupun urusan mental dan finansial. Saya kerja seperti tukang becak: nggak genjot, nggak ngebul. Isolasi mandiri artinya nggak kerja seperti biasanya, hanya terima telpon. Itu kayak nggak genjot… Separuh bulan tidak cari ma’isyah padahal tagihan bulanan tidak ada potongan.

Dukungan teman, keluarga, dan tetangga sangat penting terkait urusan teknis selama isolasi. Ini bukan urusan masing-masing tapi ini urusan bersama. Terima kasih kepada rekan-rekan yang sudah saya repoti, tidak semua saya beritahu kemarin agar tidak merepotkan. Juga terima kasih kepada yang sudah mengirim bingkisan-bingkisan sebagai dukungan moral.

Terima kasih saya dari hati terdalam.

Editor: Nabhan

Avatar
17 posts

About author
Santri Nogotirto. Dokter Spesialis Anestesi
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *