Perspektif

Melawan Penafsiran-Penafsiran Agama yang Bias Gender

4 Mins read

Dalam kehidupan manusia kita akan lihat adanya persaingan dalam ranah publik, persaingan tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Fenomena ini terjadi karena tidak adanya keadilan bagi setiap kalangan, khususnya perempuan.

Dominasi laki-laki dalam ranah publik menyebakan terjadinya Patriarki. Simon Blackburn dalam The Oxford Dictionary of Philosophy (terj. Kamus Filsafat Simon Blackburn) menjelaskan bahwa patriarki adalah pemerintahan keluarga, lembaga agama, atau masyarakat oleh para ayah.

Istilah patriarki awalnya diaplikasikan ke para ayah yang memimpin klan-klan di suku Israel, lalu menjadi gelar kehormatan para uskup Gereja, dan sekarang menjadi sebutan bagi para pemimpin gereja timur. Makna luasnya sekarang menjadi pola sosial yang didominasi kepemimpinan kaum laki-laki.

Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan sejak awal diutusnya Nabi Muhammad, beliau telah memperkenalkan prinsip Islam yaitu, tauhid, persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawah), dan solidaritas sosial (al-tadhamun al-ijtima’iy).

Kurangnya rasa kemanusiaaan menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial, khususya dalam masalah gender. Karena adanya budaya patriarki yang telah lazim dalam ranah sosial, beberapa kalangan mulai bangkit untuk mencari keadilan. Upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan dalam gender sering disebut sebagai gerakan feminisme.

Feminisme adalah sebuah gerakan emansipasi wanita yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak wanita dalam ranah publik sehingga tercipta keadilan bagi setiap kalangan. Wanita dalam lintasan sejarah selalu dijadikan sebagai objek laki-laki dan pelengkap dalam kehidupan, sehingga konstruksi sosial selalu berpihak kepada laki-laki. Dominasi laki-laki ini menyebakan terhambatnya perkembangan wanita dalam membangun struktur sosial.

Misoginisasi dan Bias Gender dalam Tafsir Agama

Problematika gender tidak hanya dari aspek umum, bahkan ketidakadilan gender pun banyak masuk dalam celah-celah tafsiran agama. Patriarki layaknya virus yang menyebar ke segala aspek kehidupan, bahkan masuk dalam ranah agama yang sangat sakral, pemahaman patriarki dalam tafsiran agama ini menyebakan terjadinya tafsiran yang berpihak kepada satu gender saja. Bahkan lebih parahnya lagi, tidak jarang tafsiran agama dengan corak patriarki menjadi senjata andalan bagi para laki-laki untuk membatasi ruang gerak perempuan.

Baca Juga  Inilah Argumentasi Dasar Kriteria Wujudul Hilal

Wanita dipandang sebagai objek dalam kehidupan, layaknya materi dalam dunia ini, sehingga laki-laki memiliki kuasa penuh atas wanita. M. Amin Abdullah dalam bukunya Fresh Ijtihad menjelaskan bahwa di Indonesia sendiri beberapa dekade yang lalu, perempuan dipandang sebagai “konco wingking” (perempuan inferior yang harus selalu melayani suami saja).

Mereka juga dipandang sebagai orang yang lemah, bodoh, pasrah bahkan “suargo nunut neraka katut”. Hal yang melatar belakangi aktivitas demikian karena situasi sosial yang terjadi secara turun temurun, sehingga hal tersebut sudah menjadi kelaziman menurut masyarakat setempat.

Dalam analisis gender ditemukan kategori hadis baru yang disebut sebagai hadis-hadis misoginik, yaitu teks hadis-hadis yang kurang menghargai wanita sebagai manusia yang otonom dan mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan sama seperti yang dimiliki laki-laki.

M. Amin Abdullah menegaskan bahwa sikap misoginis yang muncul di sebagian komunitas muslim kebanyakan memang berasal dari sumber di luar Al-Qur’an, terutama tafsir dan hadis.

Kendati banyak hadis-hadis yang berpandangan positif tentang perempuan, akan tetapi kaum konservatif lebih suka mengambil hadis-hadis misoginis, bahkan lebih parahnya hadis-hadis misoginis justru diperkenalkan ke dalam tubuh resmi keilmuan Islam sejak tiga abad tengah dan dipertahankan sampai sekarang.

Begitu ironi menurut beliau, dikarenakan hadis misoginis hanya berjumlah 6 yang diterima autensitasnya, namun malah ke-6 hadis ini yang dipakai sebagian penafsir untuk menentang keadilan dan kesetaraan gender. Kelompok konservatif ini mengabaikan hadis-hadis positif dan ramah perempuan yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Rekonstruksi Bias Gender

Ilmu pengetahuan positivisme dibangun dalam konstruksi laki-laki, dikarenakan kesenjangan gender pada masa silam. Bahkan feminis terkenal bernama Simone de Beauvoir mengatakan bahwa “dunia itu memang hasil karya laki-laki”. Dis ini merupakan problem epistemologis keilmuan positivistik. Sebuah fakta yang begitu miris, bahwa perempuan tertinggal jauh dalam andilnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Baca Juga  Islam Dicurigai dan Ditindas

Wanita dalam banyak kajian keilmuan mengandung bias, walaupun seringkali bias gender tersebut seolah-olah untuk kepentingan wanita itu sendiri, namun dalam praktiknya itu sangat merugikan perempuan dan menguntungkan laki-laki.

Sebagaimana menurut M. Amin Abdullah, wacana tubuh perempuan sebagai simbol kesucian, lalu dipakai sebagai propaganda untuk “mengurung” perempuan di dalam rumahnya dan menjauhkannya dari akses publik.

Sekilas tampak seperti melindungi atau menjaga perempuan dari “kotornya” dunia luar, akan tetapi justru mengurangi pengembangan potensi-potensi perempuan berkiprah di masyarakat.[1]

Menurut beliau, pemahaman keagamaan dan keilmuan yang egaliter dan berkeadilan berfungsi untuk merekonstruksi nilai-nilai tradisional yang tidak lagi kondusif, termasuk dalam hal ini adalah bias gender yang seringkali menjadi faktor penghambat tercapainya masyarakat yang berkeadilan.

Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies) atau studi keislaman kontemporer dituntut untuk dapat membantu keluar dari problem dan kesulitan yang dihadapi oleh ulum al-adin (literatur klasik), sekaligus dituntut untuk dapat memberikan jalan yang relevan dalam menghadapi dinamika zaman. Sehingga tercipta gagasan tentang keadilan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan (al-karamah al-insaniyyah).[2]

Kajian fikih wanita (fiqh an-nisa) juga perlu diperbarui, jikalau kajian-kajian lama banyak membahas wanita dari perspektif biologis seperti, menstruasi, hingga masa ‘iddah (tenggang), maka perlu juga mengembangkan kajian perempuan dari perspektif sosiologis, antropologis, psikologis, hukum, budaya, seni, dan lain sebagainya.

Sehingga dengan kajian yang runtut dan multiperspektif dapat kita temukan perbedaan antara wanita dalam perspektif sex (biologis) dan gender (sosiologis).[3]

***

Perspektif sex bermakna fitrah wanita seperti melahirkan, haid, menyusui maupun hal yang ada khusus dalam wanita lainnya. Sedangkan dalam perpektif gender dapat kita pahami ada konteks sejarah bahkan konstruksi sosial yang melatar belakangi kecenderungan terhadap salah satu gender.

Baca Juga  RUU PKS: Tanggapan dan Perspektif Para Tokoh Agama

Bahkan dalam ranah kehidupan sehari-hari streotype wanita begitu melekat. Menurut beliau, secara umum diketahui perbedaan identitas jenis kelamin (sex difference) pada umumnya melahirkan identitas gender (gender difference) dalam masyarakat.

Sifat rasional, tegas, dan berani seringkali dilekatkan kepada laki-laki, sementara sifat emosional, lembut dan hati-hati dilekatkan kepada kaum perempuan. Perbedaan gender (gender differences) sebenarnaya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan dalam gender (gender inequalities). Namun stereotype yang telah dianggap baku bagi masyarakat tersebut dapat menjadi penghambat wanita untuk berkembang, dengan dalih sifat mereka tersebut merupaan fitrah, padahal setiap manusia memiliki potensi untuk bertindak rasional maupun emosional. Pendidikan yang berlandaskan rasa kemanusiaan dan keadilan sangat diperlukan untuk mewujudkan harmoni antara sesama gender.


[1] M. Amin Abdullah, Fresh Ijtihad : Manhaj Pemikiran Muhammadiyah di Era Disrupsi, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019), h. 110

[2] M. Amin Abdullah, Ibid., h.105

[3] M. Amin Abdullah, Multi Disiplin, Interdisiplin & Transdisiplin (Metode Studi Agama & Islam di Era Kontemporer), (Yogyakarta: IB Pustaka, 2020), h. 89-91

Editor: Yahya FR

Avatar
13 posts

About author
Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Agama Islam di Fakultas Agama Islam UM Palangka Raya. Ketua Bidang Organisasi PC IMM Palangka Raya 2019-2020
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *