Inspiring

Muhammad Abduh: Bebaskan Pikiran dari Taklid Buta

3 Mins read

Muhammad Abduh pernah berkata, “Aku pergi ke Barat dan melihat Islam sekalipun tidak berjumpa dengan Muslim. Aku pulang ke Timur dan menjumpai banyak Muslim tetapi tak melihat Islam.”

Sebagai seorang pemikir, Abduh tentu tidak secara spontan mengatakan hal ini, tentunya ia memiliki argumentasi yang kuat mengapa sampai menyebut Mesir (timur) tidak lebih Islam dari Negara Prancis (barat). Padahal seperti yang sudah maklum, mayoritas penduduk di Prancis beragama Kristen. Lalu apa kiranya yang membuat Abduh melontarkan kalimat demikian?

Sebelum mengulas lebih jauh pemikiran Muhammad Abduh, ada baiknya untuk sedikit berkenalan dengan modernis Islam yang satu ini. Ia lahir di Mesir pada tahun 1849 M. Ayahnya dari Turki, sedangkan ibunya dari bangsa Arab yag masih satu silsilah dengan Umar bin Khattab.

Kelahiran Muhammad Abduh diiringi dengan gejolak politik yang terjadi di Mesir. Meski begitu, pendidikan Abduh terbilang progresif. Ia berhasil menghafal al-Qur’an hanya dalam kurun waktu dua tahun setelah ayahnya mengirimkannya ke lembaga penghafal al-Quran di Thantha, pada saat itu usianya masih 12 tahun. Karena kecewa dengan metode pembelajaran gurunya, Syeikh Ahmad, ia pulang dan dinikahkan pada umur 16 tahun.

Meskipun sudah menikah, Abduh selalu dipaksa untuk terus menuntut ilmu oleh ayahnya. Sampai membuat ia kabur dari rumah dan tinggal dengan paman dari keluarga ayahnya. Dalam pelarian ini, ia bertemu dengan Syeikh Darwisy Khidr yang juga masih kerabatnya. Berkat nasihat dari pamannya ini Abduh bersedia kembali meneruskan pendidikannya.

Pendidikan Muhammad Abduh berlanjut di Jami’ah al-Azhar Kairo. Belajar di al-Azhar merupakan suatu pengalam berharga bagi Abduh. Pada tahun 1872 ia berkesempatan bertemu dan berkenalan dengan Jamaluddin al-Afghani, seorang pemikir besar yang kelak menjadi gurunya. Selama masa hidupnya, Abduh sangat menentang taklid yang menurutnya mengekang akal manusia. Bersama gurunya, Jamaluddin al-Afghani, ia seringkali berdiskusi dan selalu meniupkan semangat pembaharuan untuk memutus rantai kekolotan yang ada di Mesir saat itu, terutama di al-Azhar.

Baca Juga  Muhammad Abduh (2): Menjadi Guru Besar Al-Azhar di Tengah Gejolak Politik di Mesir

Pemikiran Muhammad Abduh terbilang sangatlah komplek meski secara garis besar masih berkutat pada pesoalan Tuhan dan manusia. Ia sendiri mengakui bahwa konsentrasi dari pemikirannya adalah membebaskan akal pikiran dari belenggu taklid yang menghambat perkembangan pengetahuan.

Masyarakat yang Beku

Sayyid Qutub menyebutkan, kondisi umat Islam saat itu dapat digambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta terkukung khurafat-khurafat.”

Bagi Muhammad Abduh, selain punya daya pikir, manusia juga dibekali kehendak bebas untuk memilih. Menurutnya, kehendak bebas ini merupakan sifat alami manusia. Apabila sifat ini hilang atau dihilangkan darinya maka ia bukan manusia lagi. Pendapat ini, yang seringkali dinamai fatalisme, juga berkaitan dengan kemampuan akal yang dapat mempertimbangkan akibat dari keputusan dan tindakan yang diambil.

Sedangkan mengenai kehendak mutlak Tuhan, menurut Muhammad Abduh, hal itu telah dibatasi oleh sunnatullah yang tidak mengurangi sifat-sifat-Nya. Pemikiran yang mengira kehendak Allah akan dibatasi oleh aturan-aturannya sangatlah tidak relevan, justru dengan aturan tersebut Allah memperlihatkan kebijaksanaan dan keadilan-Nya.

Saat ini, di banyak negara yang mayoritas berpenduduk muslim, seperti di Indonesia, banyak terjadi peristiwa yang hampir sama dengan yang digambarkan oleh Sayyid Qutub. Masih saja dijumpai kejumudan pada umat muslim dan tertutupnya pintu ijtihad.

Kasus kejumudan di Indonesia dapat ditemukan pada tindakan dominasi elit agama. Hal ini justru lebih buruk dari yang terjadi pada masa lalu, karena penutupan pintu ijtihad terjadi secara samar-samar melalui ancaman-ancaman. Apabila dahulu kekolotan pemikiran dan pembaharuan terjadi pada suatu ruang diskusi atau paling tidak saling membalas teori melalui suatu karya, saat ini polemik antara keduanya justru banyak diarahkan pada tindakan fisik. Meskipun orientasinya sudah berbeda, namun penyebabnya masihlah sama, yakni penolakan penggunaan akal sebagai salah satu saringan dalam memahami suatu ajaran.

Baca Juga  Ibn Taimiyyah: Anti-Sufi atau Sufi?

Taklid Buta

Umat muslim saat ini, terutama di Indonesia, mudah sekali menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh para elitis yang berbasis pada agama. Titel Habib ataupun Ustadz seakan sudah bisa menjadi syarat bahwa kebenaran pendapatnya. Meskipun seringkali apa yang dikatakan oleh pemuka agama tersebut mengandung kecacatan logika (logical fallacy). Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Mesir pada masa Abduh. Taklid buta terhadap guru atau pemuka agama yang memiliki gelar keagamaan tinggi.

Taklid buta dan penolakan terhadap kemampuan akal manusia inilah yang seharusnya segera diperbaiki oleh umat muslim saat ini. Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan gurunya, Jamaluddin Al-Afghany, di masa lampau. Bukankah Tuhan seringkali menyindir atau memerintahkan manusia secara langsung untuk menggunakan akal dalam firman-firmanya.

Sebut saja dalam QS. Al-Baqarah ayat 44 yang berbunyi “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?” Dalam ayat tersebut sangat jelas dalam memahami ayat sucipun masih diperlukan peranan akal, apalagi hanyalah ucapan dari seorang pemuka agama.

Dengan mencontoh Muhammad Abduh dan pemikirannya dalam memperbarui pemikiran mesir saat itu, seharusnya umat muslim saat ini bisa lebih terbuka kepada pembaharuan agar tidak tertinggal dari kemajuan pemikiran barat. Hal ini juga berlaku untuk mereka yang berusaha mempertahankan pemikiran tradisional. Maksudnya, mereka seharusnya bisa setidaknya untuk membuka ruang diskusi, dengan begitu umat muslim yang awam dengan ilmu agama tidak serta merta melakukan taklid buta, dan akan menilai sendiri mana yang lebih baik.

***

Sekarang sudah dapat disimpulkan jawaban dari pertanyaan di paragraf pertama ialah; sebagian umat Islam menolak penggunaan akal dan merebaknya taklid buta. Padahal agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tiggi peran akal. Sama seperti halnya dengan apa yang dilakukan oleh Abduh di masa lampau, umat Islam saat ini sangat perlu untuk membebaskan pikiran dari belenggu taklid. Terlebih lagi, daya pikir dan kehendak bebas adalah salah satu yang menjadikan manusia pantas disebut manusia.

Baca Juga  Tauhid Rasional Muhammad Abduh: Telaah Kitab Risalah Tauhid

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA)
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds