Grup Whatsapp KERINCI HILIR BERSATU, 14 juli 2020. Sebuah status tiba-tiba menghentak pikiran dan perasaanku. Status itu berupa sebuah foto dokumen kertas segel yang sudah kusam, berisi tulisan tangan, dan di-upload seseorang dari tetangga desa kami Pulau Sangkar, Kerinci-Jambi.
Dokumen lama itu merupakan izin resmi dari pemimpin adat untuk berladang bagi para pendatang di kawasan Rencong Telang, ulayat nenek moyang kami. Tulisan tangan dalam dokumen itu mengingatkan aku pada banyak surat puluhan tahun lalu yang pernah aku terima dari kampung halaman. Aku mengenal persis tanda tangan dan nama terang dari penulis dokumen itu. Dokumen itu ditutup dengan tulisan:
Pulau Sangkar 20 Djuni 1964, Depati Rencong Telang, (tanda tangan), Haji Zainuddin.
Surat ini ditandatangani dua tahun sebelum aku lahir. Lama aku terhenyak. Tiba-tiba rasa rinduku pada sang penulis datang menyesak dada, air mataku berlinang. Aku adalah anak bungsu dari 14 anak Haji Zainuddin. Aku memangil beliau “Upoak” (bepoak= bapak/Kerinci).
Tidak banyak memori langsung yang aku miliki tentang Upoak. Lebih banyak memori tentang beliau aku dapatkan dari pihak ketiga: kakak-kakakku, teman-teman Upoak, dan para murid atau yunior beliau ketika menjadi aktivis masyarakat. Belakangan, cerita tentang beliau aku dapatkan dari kunjungan silaturrahmiku dengan teman-teman beliau di tempat yang jauh dari desa kami.
Ini karena aku berinteraksi langsung dengan Upoak relatif tidak lama, hanya sejak lahir sampai usia 12 tahun. Setamat SD, aku berangkat ke Jogja. Karena keterbatasan biaya, aku hanya bisa pulang kampung dua tahun sekali. Saat pulang kampung dengan waktu yang terbatas itulah aku bisa bersama Upoak. Dengan demikian cerita berdasarkan pengalamanku langsung tentang Upoak lebih banyak tentang masa kecilku, masa SD dan sebelumnya.
Nama lengkap Upoak adalah Haji Zainuddin bin Haji Muhammad Adam. Upoak bersaudara sekandung dua orang: seorang kakak perempuan yaitu Datung (bibi) Tuo Hajjah Wamah dan seorang adik perempuan yaitu Datung Cik Hapsiah. Ketika tiga kakak beradik ini masih kecil ibu mereka meninggal dunia.
***
Haji Muhamad Adam kemudian menikah dengan seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Ibu sambungan ayahku ini sudah memiliki dua anak perempuan. Dari pernikahan yang kedua ayahnya ini, Upoak memiliki seorang adik satu ayah berlainan ibu yaitu Datung Nzuw Hajjah Saiyah.
Uniknya, hubungan kami kakak beradik dengan tiga tipe datung ini sama baiknya, baik yang seayah seibu, seayah saja, maupun beda ayah dan beda ibu. Kami kakak beradik memanggil mereka tidak sekadar dengan satu kata Datung. Tetapi, dengan dua kata: Datung Tuo, Datung Cik, dan Datung Nzuw.
Di Kerinci, cara memanggil dengan dua kata seperti ini menunjukkan kedekatan hubungan. Ketika kelima datungku itu masih hidup, aku menjaga dengan baik silaturrahmi dengan mereka. Aku selalu mengunjungi mereka setiap kepulangannku dari rantau. Mereka selalu antusias menyambut kunjungan sang kemenakan si budoak aluih (anak kecil) yang sudah menjadi perantau di tempat yang jauh di seberang lautan.
Aku tidak sempat bertemu dengan kakekku Haji Muhammad Adam. Ketika aku lahir, nunggoh (panggilan untuk kakek dari jalur ayah) laki-lakiku ini sudah lama meninggal dunia. Dalam hal ini, aku termasuk orang kurang beruntung. Ketika akul lahir kakek dan nenekku, baik dari jalur Upoak maupun jalur Indok, semua sudah meninggal dunia.
Mungkin ini karena aku adalah anak terakhir dari 14 anak Upoak atau anak ke 10 dari sepuluh anak Indok. Sehingga cerita tentang Haji Muhammad Adam aku dapatkan dari pihak ketiga. Terutama dari salah satu kakakku Ngah Kasman yang sempat bertemu dengan beliau dan suka bercerita tentang banyak hal ketika aku pulang kampung. Demikian juga dengan cerita tentang Nunggoh Tino, Nakek, dan Ninoku.
Berbeda dengan Indok, Upoak secara ekonomi kurang beruntung. Menurut hikayat, Nunggoh Jantanku Haji Muhammad Adam bukan tipe pekerja keras seperti Nakekku. Nunggohku tipikal orang Mudik Nehat, sebuah kawasan dalam negeri kami, yang dikenal pandai berbicara dan bercerita alias tukang ota.
***
Orang seperti ini, lebih suka menghabiskan waktu di lepau kopi, tidak begitu rajin turun ke ladang dan sawah. Sehingga, sawah dan ladang yang diwariskan untuk Upoak tidak sebanyak yang diperoleh Indok dari Nakekku. Meskipun demikian semiskin-miskinnya orang Pulau Sangkar masa itu tetap bisa memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Semua keluarga memiliki sawah dan ladang. Hasil dari bersawah cukup memenuhi kebutuhan makan. Hasil dari berladang bisa dikumpulkan untuk membangun rumah dan menunaikan ibadah haji. Maka hampir semua orang seangkatan kakek dan nenekku yang hidup pada era kolonila Belanda ini adalah haji dan hajjah belaka. Tetapi dana untuk mengirim anak sekolah ke luar daerah tidak dimiliki semua keluarga. Salah satunya adalah keluarga Haji Muhammad Adam Nunggoh Jantanku itu.
Namun Upoak memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi. Ketika teman-teman seangkatannya berangkat ke Padang Panjang, Upoak juga berangkat. Untuk itu, berbagai usaha beliau lakukan. Salah satunya adalah menjadi penceramah agama selama liburan Ramadan di Lempur, desa tetangga. Di de aini ada banyak keluarga Upoak yang sukses secara ekonomi. Mereka ternyata senang terhadap ceramah yang disampaikan Upoak. Lalu mereka memberi sedekah kepada dai muda yang adalah anak kemenakan mereka sendiri itu.
***
Menurut Wo Mursal, kakakku yang lain, pada suatu kesempatan perjalanan pulang dari Lempur ke Pulau sangkar, Upoak berhenti di bawah sebatang pohon. Beliau istirahat sambil menghitung “perolehan” selama Rihlah Dakwah di Lempur. Subhaanallah…., di samping uang, ada banyak ringgit emas yang diberikan keluarga Lempur itu kepada Upoak. Dengan begitu Upoak bisa mengamankan biaya sekolahnya selama setahun ke depan. Kebiasaan baik ini berlanjut sampai akhirnya Upoak lulus sebagai siswa Sumatera Thawalib Padang Panjang.
Upoak menyelesaikan sekolahnya di Thawalib Padang Panjang pada 1934. Ada beberapa teman se desa Upoak yang juga tamat dari berbagai lembaga pendidikan di Padang Panjang dan sekitrnya pada masa itu. Antara lain adalah maknzuw Haji Abbas, mamak Yahya Latief, mamak Haji Azhari, dan nanggut Haji Chatib Yusuf. Padang Panjang pada masa itu adalah pusat pendidikan Islam di Nusantara.
Maka di sana, Upoak berteman juga dengan para siswa lain yang berasal dari berbagai daerah dari berbagai penjuru Nusantara. Upoak pernah bercerita kepadaku bahwa salah satu teman se-kamar beliau di asrama Thawalib bernama Zarkasyi. Mereka bahkan satu dipan, satu di bagian atas dan satu di bagian bawah. Setelah tamat dari Thawalib Upoak tidak pernah lagi bertemu dengan sahabatnya itu. Belakangan, beliau mendengar kabar si sahabat menjadi salah satu dari tiga pendiri Pondok Gontor di Ponorogo. Belakangan lagi, pada suatu kesempatan aku berkesempatan berbicara langsung dengan Ustadz Fahmi yang merupakan putera Kyai Zarkasyi pendiri Gontor.
Menjawab pertanyaanku, beliau menyatakan betul bahwa pada 1930-an ayahnya pernah sekolah di Thawalib Padang Panjang. Bisa jadi Upoak memang sahabat dari tokoh besar dalam Pendidikan Islam di Indonesia Kyai Zarkasyi pendiri Gontor itu.
***
Setamat dari Thawalib Upoak pulang ke kampung ke Kerinci. Disini beliau melanjutkan kehidupan menjadi petani. Bagi Upoak daya tarik Kerinci, khususnya Kerinci Hilir sebagai kampung halamannya mengalahkan daya tarik merantau. Dari sisi ekonomi memang tidak cukup alasan untuk meninggalkan negeri sendiri. Ekonomi masyarakat sejak lama sangat baik. Sehingga ada banyak pendatang yang merantau ke negeri kami ini menjadi anak upan atau buruh tani disana. Upaok sendiri juga memiliki anak upan yang menggarap ladang kami di Bukit Melgan.
Dari sisi pengembangan ilmu Upoak sudah mencapai level tertingi pada masa itu. Pada masa itu belum ada perguruan tinggi Islam di tanah air. Kalau ingin melanjutkan sekolah, maka pilihanya adalah berangkat ke Tanah Suci. Upoak memilih pulang ke Kerinci. Sementara dua temana karibnya yaitu Yahya Latief dan Chatib Yusuuf bertualang ke Malaysia. Malaysia bukan kawasan asing bagi orang Kerinci pada masa itu.
Generasi pertama orang Kerinci sudah menetap di sana sejak dekade sebelumnya. Mereka menghindari tekanan penjajahan Belanda yang masuk ke Kerinci pada pembukaan 1901. Malaysia juga menjadi jalur utama bagi orang Kerinci yang ingin menunaikan ibadah haji.
Chatib Yusuf selanjutnya melanjutkan petualangannya ke Hongkong dan India sebelum akhirnya kembali ke Pulau Sangkar. Gabungan dari alumni Thawalib inilah yang belakangan mengerakkan Kaum Muda alias Muhammadiyah di Pulau Sangkar pada masa itu.
Di kampung halaman kami Upoak menjadi pegiat masyarakat. Dua aktivitas pokok beliau adalah menjadi buya dan menjadi pemangku adat. Sebagai buya beliau meniadi penceramah di beberapa masjid yang ada di desa kami dan desa-desa tetangga kami di Kerinci. Sebagai tokoh adat Upoak menjadi Depati Tago, salah satu Depati nan Berenam pemimpin masyarakat di kawasan Ulayat Rencong Telang. Jauh sebelum NKRI berdiri Kerinci merupakan negara berdaulat. Nama lengkapnya Daulat Depati Empat Alam Kerinci. Pemerintahan bersifat federatif.
***
Selain Rencong Telang yang berpusat di Pulau Sangkar, depati lainnya adalah Muara Langkap di Tamiai, Biangsari di Pengasi, dan Hatur Bumi di Hiang. Masing-masing kedepatian itu sendiri juga merupakan federasi dari para depati yang ada di dalamnya. Rencong Telang, misalnya merupakan istilah untuk pemimpin dari para Depati nan Berenam yang ada dalam Ulayat Rencong Telang.
Gelar ini bersifat fungsional. Terutama terkait dengan hubungan luar negeri dalam kerangka Depati Empat Alam Kerinci. Salah satu dari Depati nan Berenan di Rencong Telang itu adalah Depati Tago dimana Upoak pernah memangkunya. Maka gelar lengkap Upoak pada masa itu adalah H. Zainuddin Depati Tago Rencong Telang.
Alhamdulillaah, Upoak berhasil mengoptimalkan kemanfaatannya sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin adat. Dalam hal ini, kiprah beliau tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan Masjid Mujahidin. Masjid ini dibangun sejak era 1950-an. Pada 1960-an masjid ini sudah berdiri tegap dan menjadi masjid termegah di Kerinci pada masa itu.
Arsitektur masjid ini terinspirasi oleh Masjid Syuhada Jogja. Gambar masjid Syuhada dibawa ke desa kami oleh Wo Ramli Nawawi, anak muda Pulau sangkar yang pada era 1950-an sekolah di SMEA di Gowongan Jogja. Upoak menjadi ketua panitia pembangunan masjid itu. Bersama teman-temannya beliau bisa mengoptimalkan keterlibatan masyarakat. Sehingga tiada minggu tanpa gotongroyong.
Sebagai depati, beliau mengumpulkan dana terkait pemanfaatan tanah ulayat oleh pendatang untuk pembangunan masjid itu. Izin pemanfaatan lahan yang beliau keluarkan sebagaimana terlihat pada surat segel yang aku ungkapkan di awal tulisan ini, berimplikasi pada masuknya dana bagi kas adat yang lalu dilekatkan menjadi dana pembangunan Masjid Mujahidin. Dengan begitu nama beliau diabadikan pada prasasti yang dituliskan di dalam kubah di atas pengimaman masjid indah yang berdiri di tepi Batang Merangin, cucu Batanghari ini.
***
Pertengahan Ramadan 2015, aku menginap di rumah dinas Bupati Kerinci. Saat itu Wo Adirozal senior dan sahabat lamaku terpilih meniadi Bupati Kerinci. Aku dalam perjalanan riset dan pengabdian masyarakat bersama seniorku lainnya almarhum Pak Said Tuhuleley. Kami berkeliling Kerinci dan pada malam terakhir diminta Wo Bupati menginap di rumah dinas yang baru beberapa hari ditempati.
Sesudah makan sahur, di meja makan di antara aku dan Wo Bupati duduk seseorang yang dipanggil Bupati dengan Pak Ngah. Meski sudah berumur 70-an tahun Pak Ngah nampak lebih muda dari usianya. Dalam suasana yang akrab, aku berkenalan dengannya. Pakngah nampak berminat ketika tahu aku berasal dari Pulau Sangkar.
Beliau menyangka aku orang Jogja. Beliau menanyakan dimana rumahku di Pulau Sangkar. Aku menyebut di ujung jembatan berayun. Serta merta Pakngah mencecar aku, “sebelah mana dengan rumah Haji Zainuddin?” Aku menjelaskan aku anak bungsu haji Zainuddin. Tetapi aku sejak kecil merantau ke Jogja. Maka mengalirlah cerita Pak Ngah tentang masa remajanya pada era 1950-1960-an.
Ternyata beliau sering menginap di rumah kami ketika libur sekolah. Saat itu ayahnya yang berasal dari Siulak Kerinci Hulu tinggal di rumah kami. Ayah dari Pakngah menjadi kepala tukang pembangunan Masjid Mujahidin dimana Upoak adalah ketua panitianya. Maka dinginnya udara Kerinci pada pagi subuh itu terasa menghangat. Perasaan haru datang membuncah. Di ujung obrolan Pak Ngah mengajak aku berjanji untuk melanjutkan silaturrahmi antar orang tua kami yang pernah terjalin pada setengah abad sebelumnya.
Editor: Yahya FR