Review

Review Buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan

4 Mins read

Apa artinya menjadi seorang Muslim? Apa sekadar untuk mencari jalan aman menuju surga, atau untuk mendaki jalan terjal membangun peradaban? Apakah dengan memeluk Islam artinya tiket ke surga sudah di tangan, atau kita harus membuktikan keislaman dengan amal-amal sosial? Apa yang Nabi Muhammad lakukan setelah menerima wahyu? Apakah Nabi tetap menjadi seorang pertapa di Gua Hira, atau justru turun ke masyarakat dan menggerakkan mereka secara sosial dan intelektual? Kiranya jawaban kita sudah jelas.

Jalan terjal membangun peradaban dunia Islam yang lebih baik itulah isi dari buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (2020) karya Prof. Ahmet T. Kuru, intelektual asal Turki yang mengajar di San Diego State University, Amerika Serikat. Buku hasil penelitian bertahun-tahun atas fakta kemunduran di dunia Islam ini menyajikan hasil penelitian yang mengagetkan sekaligus melegakan.

Kita mulai dengan yang melegakan. Telaah Kuru atas pengalaman historis umat Islam sejak abad ke-8 hingga abad ke-21. Ia menemukan fakta bahwa kemunduran kualitas dan kuantitas peradaban di dunia Muslim. Kemunduran ditandai dengan krisis sosio-ekonomi, kolonialisasi Barat, kekerasan domestik, terorisme dan redupnya tradisi intelektual. Menariknya justru bukan disebabkan oleh agama Islam. Kuru membantah tesis kaum esensialis ini. Ia mengajukan bukti periode emas dunia Islam abad ke-8 hingga ke-11. Dimana Islam selaras dengan aktivitas perdagangan dan budaya intelektual.

Berkebalikan dengan Eropa Barat, ketika itu dunia Muslim sudah memiliki pemikir hebat dan pedagang-pedagang berpengaruh, yang menjadi motor dinamika intelektual dan sosial masyarakat. Kuru menunjukkan adanya kaitan historis dan sosiologis antara konteks kebebasan berpikir dan berdagang dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan kaliber Farabi, Biruni, dan Ibnu Sina.

Baca Juga  Agama Itu Hanya Satu Saja!

Kemerdekaan Berfikir

Pada awal sejarah Islam, kemerdekaan para sarjana Islam dari negara. Dan adanya pengaruh ekonomi para pedagang memungkinkan kemerdekaan berpikir dapat dinikmati para filsuf. Para filsuf adalah suatu kelompok multikultural yang bukan hanya meliputi Muslim Sunni dan Syiah. Melainkan juga orang Kristen, Yahudi, bahkan agnostic.

Kuru berbicara dengan data. Hal itulah yang membuat tesisnya sulit dibantah. Menurut satu analisis yang dielaborasinya, dari abad ke-8 sampai pertengahan abad ke-11, 72,5 persen ulama dan keluarganya bekerja di bidang perniagaan dan industri.

Kuru melihat para ulama mulai berjarak dengan otoritas negara pada abad ke-7, kala Dinasti Umayyah membangun kekuasaan dengan mempersekusi semua lawan politiknya dengan kekerasan. Konsolidasi kekuasaan dan kekerasan membuat para sarjana Islam kecewa dengan otoritas politik.

Sikap ini terus berlanjut hingga abad ke-9 ketika Dinasti Abbasiyah mengambil alih kuasa. Selama periode itu, empat mazhab Sunni utama dalam ilmu fiqh didirikan oleh para sarjana independen – Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal – di mana mereka semua menolak menjadi abdi negara. Jarak dari otoritas politik, independensi aktivitas intelektual, kemerdekaan berpikir, dan kebijakan negara yang ramah terhadap pedagang dan industri. Menurut Kuru, adalah sebab-sebab historis dan sosiologis bagi periode emas dunia Islam.

Namun semua berubah setelah abad ke-11 tiba. Proses pembalikan bertahap dalam tingkat perkembangan keilmuan dan sosio-ekonomi dimulai antara dunia Muslim dan Eropa Barat. Kuru menyajikan data bagaimana sejak saat itu, secara bertahap, dunia Barat menjadi lebih bebas secara intelektual dan ekonomi dagang, sementara dunia Muslim semakin membatasi gerak intelektual dan pedagang. Terutama pada abad ke-16 hingga ke-18 Eropa Barat mengalami banyak kemajuan sementara dunia Muslim menjadi mandek dan tertinggal di belakang.

Baca Juga  Persoalan Identitas dan Akar Tindakan Kekerasan

Sebab dan Akibat Kemunduran Islam

Perspektif Kuru yang meletakkan dunia Muslim dalam cakupan budaya besar sejarah dunia membantu kita memahami sebab-sebab kemajuan dan kemunduran suatu peradaban. Kemunduran yang melanda kita secara bertahap disebabkan dibatasinya pergerakan kelas intelektual dan pedagang oleh aliansi ulama ortodoks dengan penguasa militer. Maka ketika penjajahan Barat yang meluas di wilayah Muslim dimulai pada pertengahan abad ke-19, kita sebenarnya telah mengalami banyak masalah intelektual, sosio-ekonomi, dan politik.

Di sinilah kita mulai masuk ke bagian yang mengagetkan dari temuan Kuru. Menurutnya kondisi negatif itu mulai berkembang pada abad ke-11 secara multidimensional. Krisis itu ditandai dengan dua hal. Pertama melemahnya rezim ekonomi lama yang bergantung pada ekonomi moneter dan dagang; lalu diikuti menguatnya rezim ekonomi baru yang berdasarkan pemungutan pajak tanah (iqta) dan distribusinya ke para pejabat birokrasi-militer. Feodalisme mulai muncul dan menyusutkan sumber keuangan pribadi para sarjana dan ulama.

Kedua adalah mulai terbentuknya ortodoksi Sunni. Seperti Abed al-Jabiri, Kuru kritis terhadap epistemologi Sunni (dan Syiah di satu sisi) yang cenderung mengedepankan literalisme, determinisme, dan penolakan atas hukum sebab-akibat. Kuru menjelaskan proses evolusi epistemologi Sunni di mana Syafi’i, Asy’ari, dan Ghazali punya peran paling besar dibanding yang lain. Bagi mereka otoritas kebenaran adalah teks. Ini menantang hak berpendapat para filsuf dan ilmuwan yang lebih rasional.

Transformasi ekonomi moneter menjadi ekonomi feodal di era Seljuk pada abad ke-11 menyusutkan sumber keuangan pribadi para ulama, dan membuat banyak di antara mereka mencari pendanaan publik dengan bekerja di pemerintahan. Di saat yang sama, ekspansi politik Syiah memancing reaksi Sunni. Kondisi sosio-ekonomi, agama, dan politik itu memungkinkan munculnya persekutuan ulama dan negara, yang merupakan sebab utama kemunduran.

Baca Juga  Dinamika Politik Muhammadiyah Dulu dan Kini

Menurut Kuru transformasi abad ke-11 berdampak negatif terhadap kehidupan intelektual Muslim abad-abad selanjutnya. Meskipun Muslim terus menghasilkan karya-karya ilmiah dan filsafat di wilayah Utsmani, Shafawi, dan Mughal, kuantitas dan kualitasnya menurun, dan akhirnya mengalami kemandekan. Krisis multidimensi terjadi secara bertahap, membuat kita kehilangan momentum kemajuan dan belum mendapatkannya lagi hingga sekarang.

Data dan Pendekatan yang Kritis

Buku ini menawarkan data dan perspektif kritis dalam memahami kemunduran dan krisis peradaban dunia Muslim. Lewat elaborasi data empiris dari sumber-sumber sejarah Kuru berusaha menunjukkan alasan sosio-historis yang menyebabkan krisis tersebut. Islam sebagai agama terbukti tidak bersalah. Tersingkirnya kelas filsuf dan ilmuwan serta berdirinya lembaga negara yang korup dan otoriter adalah disebabkan oleh aliansi ulama dan negara yang berusaha melindungi legitimasi, hegemoni, status quo, dan sumber daya uang mereka.

Dalam konteks demokrasi, paparan Kuru berperan membangun kultur kewargaan yang baik di tubuh umat Islam. Ia menjelaskan bahwa baik ajaran Islam maupun peradaban emasnya di abad ke-8 hingga abad ke-11, memberikan bukti tentang masyarakat yang pluralis, demokratis, dan berorientasi pada kemajuan. Kuru ingin kita melihat periode tersebut sebagai identitas asli kita. Ia juga ingin kita kritis terhadap pemikiran keislaman yang antikemajuan, antidemokrasi, dan anti akan hak asasi manusia.

Akhirnya buku ini bagi sebagian orang perlu dikritik. Namun bagi sebagian lain adalah bentuk kritik itu sendiri bagi pemikiran dan akhlak kita. Kita harus belajar dari sejarah, karena Allah menyuruh kita mengambil pelajaran dari mereka.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds