Pramoedya Ananta Toer merupakan sastrawan yang fenomenal pada zamannya. Begitu pula dengan Buya Hamka, beliau juga merupakan seorang ulama yang termasyhur di Indonesia. Namun siapa sangka, kedua tokoh ini pernah terlibat dalam suatu peristiwa.
Kisah Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer ini saya dapatkan dari buku yang berjudul “Ayah”, terbitan Republika, yang ditulis oleh putra kelima Buya Hamka, yaitu Irfan Hamka. Beginilah kisah Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer.
Fitnah Pramoedya terhadap Buya Hamka
Pada saat awal tahun 1963, dunia sastra Indonesia sempat terjadi sebuah kehebohan. Kehebohan yang terjadi pada dunia sastra Indonesia pada waktu itu, datang dari dua surat kabar harian ibukota, yaitu surat kabar yang bernama Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur. Surat kabar Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur, merupakan surat kabar yang berbau komunis (Irfan Hamka, 2013: 263).
Sekitar awal tahun 1963, kedua surat kabar tersebut pernah memberitakan di halaman pertama mereka, bahwa karya Buya Hamka yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”, merupakan hasil dari jiplakan atau plagiarisme. Berita fitnah seperti itu dimuat dalam surat kabar Harian Rakyat yang ditulis oleh seseorang yang bernama Panji Kusmin (Irfan Hamka, 2013: 263).
Sama halnya dengan surat kabar Harian Bintang Timur. Dalam lembaran Lentara, mereka juga memuat serta mengulas bagaimana Buya Hamka mencuri karangan asli dari pengarang seorang pujangga Prancis yang bernama Alvonso Care.
Dan lembaran Lentera yang ada pada Harian Bintang Timur itu diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer, yang dikenal juga sebagai seorang sastrawan.
Kedua surat kabar komunis yang salah satunya diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer tersebut, selama berbulan-bulan lamanya menyerang Buya Hamka dengan cara melalui tulisan-tulisan yang berbau fitnah.
Namun, Buya Hamka tetap tenang-tenang saja dalam menghadapi berbagai fitnah yang berasal dari Ki Panji Kusmin dan Pramoedya Ananta Toer yang ditujukan kepadanya tersebut (Irfan Hamka, 2013: 264).
Fitnah yang ditujukan kepada Buya Hamka tersebut juga mempunyai pengaruh kepada keluarga beliau. Karena berita fitnah yang beredar itu, keluarga Buya Hamka mengalami ejekan dan sindiran dari orang-orang.
Salah satu anggota keluarga Buya Hamka yang mengalami ejekan dan sindiran tersebut adalah Irfan Hamka, beliau adalah putra kelima dari Buya Hamka. Waktu itu, beliau (Irfan Hamka) masih duduk di bangku SMA.
Kedatangan Putri Pramoedya pada Buya
Kemudian setelah beberapa waktu berlalu, Pramoedya Ananta Toer ditahan di Pulau Buru. Penahanan Pramoedya Ananta Toer tersebut merupakan buntut dari pusaha kudeta PKI pada tanggal 30 September 1965. Namun beberapa tahun kemudian, Pramoedya Ananta Toer dibebaskan, kemudian ia kembali melakukan kegiatannya lagi seperti biasa.
Lalu pada suatu hari, Buya Hamka kedatangan dua orang tamu, satu laki-laki, dan satu perempuan. Si perempuan merupakan orang pribumi, sedangkan tamu yang laki-laki adalah orang keturunan Cina. Si tamu perempuan tersebut memperkenalkan dirinya kepada Buya Hamka, namanya adalah Astuti, sedangkan tamu yang laki-laki namanya adalah Daniel Setiawan.
Setelah memberitahu namanya, Astuti mengatakan bahwa ia adalah anak sulung dari Pramoedya Ananta Toer. Sontak hal tersebut membuat Buya Hamka menjadi agak terkejut.
Astuti menjelaskan, kalau maksud kedatangannya menemui Buya Hamka adalah untuk menemani kekasihnya Daniel masuk Islam; dan belajar ajaran agama Islam dengan Buya Hamka atas anjuran dari ayahnya, yaitu Pramoedya Ananta Toer.
Setelah itu, Buya Hamka tanpa sedikit pun keraguan menerima permohonan dari tamunya tersebut. Daniel yang merupakan calon menantu Pramoedya Ananta Toer, pada akhirnya dibimbing langsung oleh Buya Hamka membaca dua kalimat syahadat dan diajarkan ajaran agama Islam oleh beliau.
Buya Hamka dalam pertemuannya dengan putri sulung dan calon menantu Pramoedya Ananta Toer itu; sama sekali tidak menyinggung sikap dan perbuatan Pramoedya Ananta Toer terhadapnya beberapa waktu yang lalu. Benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa (Irfan Hamka, 2013: 264).
Bentuk Permohonan Maaf dan Pengampunan
Dari peristiwa tersebut, menurut Dr. Hoedaifah yang tertuang dalam majalah Horison 2006. Hal yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer dengan mengirim calon menantu dengan ditemani putrinya kepada Buya Hamka, merupakan permohonan maafnya secara tidak langsung kepada Buya Hamka. Atas sikap dan perlakuannya kepada Buya Hamka pada saat di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat (Irfan Hamka, 2013: 265).
Dan secara tidak langsung pula, Buya Hamka telah memaafkan Pramoedya Ananta Toer dengan bersedia membimbing dan mengajari calon menantunya tentang ajaran agama Islam.
Dari peristiwa tersebut, kita dapat melihat kemurahan hati dari Buya Hamka yang sangat dalam. Begitu mulianya hati beliau, sehingga mau memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepadanya selama berbulan-bulan.
Editor: Zahra