Feature

Sisi Lain Hamka, Sang Kosmopolitan Sejati

4 Mins read

Siapa yang tidak kenal dengan Buya Hamka. Pastinya kalian sudah tidak asing lagi dengan seorang tokoh dari tanah Minangkabau yang serba bisa ini. Hamka biasa dikenal sebagai seorang Ulama, atau Cendekiawan, juga dikenal sebagai Sastrawan, Budayawan, dan masih banyak lagi.

Hamka adalah tokoh pertama yang dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa atau gelar kehormatan dari Universitas paling terkemuka di dunia Arab, yaitu Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.

Hamka pun adalah seorang manusia yang mengatakan meng-ada-kan kemanusiannya. Ia menyadari hadirnya tantangan-tantangan dan memilih untuk berlayar ketika kehidupannya mulai abstrak di matanya. Semua berawal dari keluarga.

Seperti halnya penulis lain yang melahirkan karya besar setelah pergi dari rumahnya, Hamka pun demikian. Ia makhluk yang berjalan, manusia yang berpetualang, belajar dan terus belajar dari petualangannya. Begitulah Hamka seorang kosmopolitannya, sampai-sampai lahir pertanyaan tentang Hamka dan pertentangannya atas dugaan makar terhadap Soekarno.

Hamka adalah sebuah awal yang akan mengenangkan Namanya lebih lama daripada nyawa yang melekat di raganya. Hamka menjelma menjadi manusia yang terkenal karena menulis, karena berpidato. Namanya tertulis di buku-buku orang lain, menjadi inspirasi dari sebuah perjalanan.

Ia menginspirasi dari sebuah perjalanan ideologi dari makna merantau. Ia manusia yang berpergian untuk menemukan jati dirinya. Ia kemudian juga seorang anak yang merindukan kampung halamannya, pulang membawa perubahan yang ditentang. Hamka masih terus berjalan walau sudah tiada, Hamka akan terus menjadi inspirasi bagi penerus-penerus muda.

Berkenalan dengan Hamka Kecil

Prof. Dr. Abdul Malik Karim Amrullah sangat dikenal dengan nama tenarnya, Hamka. Salah satu dari beberapa sastrawan yang lengkap juga ulama dan intelektual berdasar Pendidikan formal dari sekolah paling dasar hingga paling tinggi. Pemikirannya juga sarat akan filsafat, khususnya tasawuf.

Perjalanan kehidupannya dimulai dari kelahrannya di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Seorang kosmopolitan yang hidup pada berbagai masa dan berbagai dunia intelektual. Ia juga merupakan orang yang ditempa oleh keadaan.

Baca Juga  Tafsir Al Azhar: Perempuan Berbenteng Surga

Situasi yang dianggapnya sulit diubahnya menjadi sebuah kesempatan untuk menjadikan dirinya dikenal hingga saat ini. Perkenalan dengan Hamka, maka kita harus mulai dari ayahnya yaitu Haji Rasuk, atau Abdul Karim Amrullah. “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” sebuah penamaan yang berusaha menjadi penerus.

Namun, beda dengan Hamka yang setelah perceraian kedua orangtuanya, Haji Rasul, ayahnya memberi julukan si Bujang Jauh. Bertolak dari nama itulah, kisah perjalanan seorang hamka menjadi “Hamka” dimulai.

Zaman Hamka tumbuh adalah zaman yang masih dikuasai metafisika. Bukan berarti metafisika tak ada. Pada zaman itu pemahaman logika terpental oleh metafisika yang tidak mau berpikir maju, yang semua disangkut pautkan dengan takhayul.

Kejadian ini membuat Hamka geram, dimana wabah penyakit malaria terjadi di sekitar pesantren tempat Ia mulai menjadi santri. Semua wabah ini dikaitkan dengan roh halus oleh masyarakat Minang yang berwujud Harimau. Hamka muda tak percaya dengan hal itu, Ia memilih untuk bersikap kritis dengan kejailannya.

Pada suatu malam, Ia mendandani dirinya seperti roh harimau. Ia tak memakai baju kecuali celana pendek, mencoreng-coreng mukanya, menggaris-garis tubuhnya dengan kapur. Maka tampaklah Ia seperti harimau dan menirukan suaranya kemudian menjahili para santri dengan berpura-pura menjadi roh harimau. Tanpa sadar dan sengaja, Ia telah menjadi seorang pemikir yang hebat keluar dari zona nyaman.

Kenakalan yang Mengubah Pola Pikir Hamka

Selain kenakalan ini, perjalanan hidupnya sebagai si Bujang Jauh menuntunnya menjadi seorang pembaca. Bermula ketika seorang guru dari sekolahnya, Zainuddin Labau El Zunusy, membuka bibliotek, tempat penyewaan buku. Sepulang sekolah Ia memilih untuk berada di sana, membaca buku terutama karangan-karangan balai Pustaka, cerita cina, dan karya terjemahan Arab. Ia pun menjadi kreatif karena bacaannya.

Pernah suatu ketika ia mengirim surat cinta kepada perempuan-perempuan yang disukainya dengan surat-surat yang terinsipirasi dari bacaannya. Kepiawian Hamka dalam menulis tak hanya sebatas itu. Ia pun mulai menuliskan kembali cerita-cerita yang pernah dibacanya menjadi versinya sendiri dengan sistem ATM (Amati Tiru Modifkasi).

Baca Juga  Debat HAMKA dan Sam Parlin: Benarkah Tuanku Imam Bonjol Orang Bodoh?

Seorang Tokoh, Jim Jamusch, pernah berkata “Curi dari mana saja hal yang menginspirasi atau menarik imajinasimu…Jika kamu lakukan ini. Karya dan (Curianmu) akan menjadi otentik.”

Perkataan tersebut serupa dengan perilaku hamka dengan mencuri ide-ide dari bacaan-bacaannya. Ia telah mengubah mengubah karya otentik pemikiran-pemikiran filsafat yang membuat hegemoni barat sebagai kritik. Tasawuf dari perjalanan hidupnya yang menjadikan filsfuf yang menyelami banyak perjalanan dengan membuat Ide seperti seorang Kosmopolitan.

Selain kenakalan, Hamka juga menampakan pemberontakannya terhadap lingkungan dan ayahnya. Yang karena kebiasaan membacanya Hamka ternyata menguras uang sakunya dan menuai kritik dari ayahnya. Kritik itu berusaha mengurung pemikiran Hamka si Kosmopolitan.

Ada kegemaran lain yang lama-kelamaan menjadi kebiasaan baginya. Ia mulai mengilhami musik sebagai sebuah penggerak dalam kehidupannya. Dalam tulisan-tulisannya, dalam penafsiran-penafsirannya. Musik mengalir sebagai darah dalam kehidupannya. Bukan berarti ia pintar memainkan musik, Ia hanya seorang pendengar yang setia. Nama musik itu adalah Kaba, sebuah aliran musik yang digunakan untuk menceritakan dongeng-dongeng Minangkabau.

Sebagai “Si Bujang Jauh” Hamka adalah seorang makhluk sosial yang tak membeda-bedakan dengan siapa Ia bergaul. Ini adalah contoh nyata Hamka seorang Kosmopolitan yang tidak memandang perbedaan. Hamka tak merendahkan perbedaan dan memilih untuk bergaul dengan siapa saja. Ia mempelajari kehidupannya sebagai makna terhadap hasrat sosial masyarakat yang majemuk.

Perjalanan Hamka ke Tanah Jawa

Berjalanlah Hamka ke tanah Jawa, Ia sedang menunjukkan sebuah konsep dasar dari hijrah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Pada tahun 1924, Ia berhasil berangkat ke Jawa pertama kali. Ia datang ke Yogyakarta. Di kota itu, tempat para perantau menemukan rumah keramahannya, sampailah Ia di rumah Marah Intan.

Disana Ia bertemu pamannya saudara dari Ayahnya, Jafar Amrullah. Kemudian, perjalanan tasawufnya pun semakin meningkat ketika Ia akhirnya diamanahkan untuk mengaji kepada Ki Bagus Hadikusumo. Tafsir Al Quran adalah apa yang Hamka pelajari bersama Ki Bagus Hadikusumo.

Baca Juga  Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

Hamka yang dulunya sangat memilih untuk mengabaikan mengaji dan terkesan lebih memilih buku-buku umum pun mulai tertarik belajar tafsir. Ia menemukan suatu yang berbeda dari belajar Tafsir Al-Quran dari Ki Bagus Haji Kusumo.

Jika di Minangkabau Ia menemukan suatu aturan yang kaku, terutama ajaran Naqsabandiyah, dalam tafsir ini ia seperti melihat dunia baru. Barangkali yang ditemukan oleh Hamka dalam pembelajaran tafsir ini adalah kemampuan untuk menemukan sesuatu yang tersembunyi dari sebuah kata.

Dari perjalanan bersama Ki Bagus inilah kemudian Ia mengenal Sarekat Islam yang menjadikannya pribadi yang berjiwa nasional yang tidak meninggalkan Islam. Ia menjadi seorang peletak dasar Islam namun tidak mengabaikan keberagaman.

Sebuah pembelajaran besar yang Ia dapat dari HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto ini adalah pengembangan yang lebih lanjut dari makna Hijrah. Pemahaman tentang Islam pun kemudian berkembang. Apa yang selama ini dilaksanakan di Minangkabau sebagai sebuah ritual keagamaan, ibadah Islam, baginya hanyalah semata-mata kurungan. Terlalu statis.

Sementara itu, ketika di Yogyakarta, pertemuannya dengan Tjokroaminoto, pendidikan tafsir dari Ki Bagus dan pemahamannya tentang Hijrah, telah menjadi lentera baginya. Hamka tidak menilai ajaran Islam sebagai suatu yang statis melainkan Islam adalah agama yang dinamis yang bisa mengalir ke sumbu-sumbu pergerakan kehidupan manusia tanpa memberikan paksaan terhadapnya.

***

Dalam perjalanannya Hamka kemudian belajar Bahasa Arab langsung ke tempatnya yaitu Mekkah, untuk memperbaiki tatanan Bahasa arab yang kaku.

Sebagai seorang penulis sekaligus seorang ulama Muhammadiyah, yang dalam perkembangannya nanti akan menjadi seorang pembesar di Minangkabau.  Hamka menyebarluaskan metode Muhammadiyah, menggeser Naqsabandiyah yang dianggap konservatif dan tidak dinamis.

Begitulah Hamka seorang Kosmopolitan yang dalam dirinya terus selalu ingin belajar dan belajar membuka pola pikir yang terbuka dan bisa menerima berbagai perbedaan yang ada. Apapun yang menjadikan seorang Hamka sebagai “Hamka” adalah sebuah permulaan yang akan mengenangkan Namanya lebih lama daripada nyawa yang melekat di raganya.

Editor: Soleh

M Syafrie Ramadhan
3 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (3): Jalur Lintas Tengah Sumatera yang Tak Lagi Sepi

5 Mins read
Palembang, Ahad, 7 April 2024. Pukul 06.00 kami keluar dari Hotel Azza. Destinasi pertama adalah Jembatan Ampera. Malam sebelumnya kami kesini di…
Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (2): Dahsyatnya Mudik Hari Raya Rute Jakarta-Palembang

5 Mins read
Tengah malam di Stasiun Pasar Senen Jakarta, Sabtu 06 April 2024. Tepat pukul 03.05 KA Jayakarta dari Jogja  dan dua penumpang Onti…
Feature

Cerita Mudik Lebaran 2024 (1): Kembali ke Titik Nadir

6 Mins read
Jogja, Rabu 03 April 2024. Pukul 14.00 sebuah mobil memulai perjalanan menuju tempat yang jauh, Kerinci-Sumatera. Sang sopir dilanda rindu kampung halaman. Meski…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *