Tafsir

Tafsir Al Azhar: Perempuan Berbenteng Surga

4 Mins read

Salah satu diskursus yang tidak pernah redup dari perdebatan era kekinian adalah perihal kesetaraan peran laki-laki dan wanita. Tidak jauh dari perdebatan tersebut timbullah perang pemikiran yang telah menggurita dalam khazanah keilmuan masa kini.

Kubu pertama adalah mereka yang terang benderang telah mengibarkan bendera pemikiran bahwa laki-laki adalah penguasa mutlak tanpa campur tangan peran perempuan. Kubu pertama sendiri dulunya merupakan warisan dari budaya jahiliyah yang menganggap wanita adalah makhluk yang lemah, yang seringkali ditindas serta dibatasi hak pribadi dan ruang publiknya.

Kemunculan Feminisme

Akibat perlakuan kubu pertama, seringkali kubu selanjutnya merasa perlu menjadi antitesis dari kubu pertama. Berbeda dengan kubu pertama, kubu kedua menganggap wanita setara dengan laki-laki dalam berbagai hal, termasuk kepemimpinan. Mirisnya mereka banyak mengadopsi nilai-nilai feminisme Barat seutuhnya, meski dalam beberapa hal justru sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Perang pemikiran diatas rupa-rupanya sudah ada dan menjadi siklus pertunjukan yang sering dinikmati semua orang dari berbagai kalangan dan generasi. Islam sendiri adalah agama pertengahan. Islam justru mampu menjadi penawar sekaligus solusi yang baik dalam isu kesetaraan atas kedua kubu ekstrim tersebut.

Ulama kontemporer asal Mesir yang fatwanya sering menjadi rujukan, yakni Syekh Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa tetap dilebihkan satu tingkat pada lelaki atas kaum perempuan dalam hal kepemimpinan dan tanggung jawab dalam keluarga. Tentu saja dengan adanya tanggung jawab itulah lelaki akan lebih banyak memiliki kewajiban dibanding wanita.

Tidak kalah dari Ulama Mesir, pendapat Ulama Nusantra tentu patut dipertimbangkan dalam menggali khazanah keilmuan dalam memahami konteks peran laki-laki dan perempuan. Salah satu Ulama Nusantara yang tidak luput menyorot persoalan ini adalah Buya Hamka. Ulama Kebanggaan Muhammadiyah tersebut membahasnya secara menarik dalam Tafsir Al Azhar-nya yang beliau tulis sendiri dalam sebuah penjara.

Baca Juga  Pentingnya Membaca Al-Qur’an Secara Tartib Nuzuli

Buya Hamka membahas dalam Tafsirnya, tepatnya dalam Surah An-Nur. Surah An-Nur sendiri banyak membahas masalah perempuan, sampai-sampai Umar bin Khattab pernah berkata : “Belajarlah (wahai laki-laki) surat At-Taubah dan ajarkan istri-istri kalian surat An-Nur”. Surat At Taubah sendiri mengajarkan keberanian, jihad, kemurnian iman dan kemunafikan, surat yang menakutkan bagi orang munafik. Sedangkan surat An-Nur lebih kepada berisi adab-adab keluarga, rumah tangga dan suami istri.

Tipe-tipe Perempuan Menurut Buya

Dalam tafsir Al-Azhar Q.S. An-Nur ayat 4-5 sendiri, Buya Hamka mula-mula menjelaskan tentang dua macam tipe perempuan, yakni Muhshanat dan Ghafilat. Perempuan Muhshanat digambarkan Buya Hamka sebagai perempuan baik-baik dan terhormat. Mereka adalah perempuan yang terbenteng, aman damai dalam rumah tangganya, setia, santun pada anak-anaknya, dihormati orang rumah serta tetangganya.

Fokus menjadi isteri yang setia yang pengasih, jujur dan dan pandai bersyukur atas nikmat yang diperoleh dalam keluarganya. Atas kebaikan istrinya, suaminya tidak lagi bermata belakang (berkhianat) serta memiliki kepercayaan penuh pada istrinya. Buya Hamka menamai perempuan berkepribadian diatas sebagai Muhshanat, yakin Perempuan yang terbenteng.

***

Untuk perempuan berikutnya, Buya Hamka menamainya dengan Ghafilat. Perempuan Ghafilat sendiri dianggap sebagai gambaran atas perempuan yang lengah. Segala kelengahan tentu saja mengarah pada perbuatan yang tercela, meski tanpa sadar sebagian perempuan menganggapnya sebagai sebuah kelebihan bahkan pujian.

Perempuan ini sama sekali tidak memperhatikan orang-orang disekitarnya. Dianggap baiknya semua orang, hingga tidak menyadari jika ada mata-mata jelalatan memandangi tubuhnya. Ia tidak menyadari bahaya dan pengaruh orang-orang di sekitarnya.

Pun sampai saat ini masih terasa perempuan-perempuan yang lengah dari agamanya. Beberapa perempuan menelan mentah-mentah pil feminisme yang diciptakan orang barat. Muncullah kritik atas teori etika modern yang menekankan pada nilai-nilai rasionalitas, serta merendahkan emosi karena dinilai mengganggu rasio.

Baca Juga  Demokrasi Taqwa: Sebuah Pemikiran Politik Buya Hamka

Sering dalam diskursus mereka mengajukan pertanyaan etis tentang kasus-kasus yang berkaitan langsung dengan emosi dan pengalaman atas kepemilikan tubuh perempuan, seperti aborsi, seksualitas, konton pornografi dan pakaian. Bahkan pernah suatu ketika beberapa perempuan berdemo mereka membentangkan spanduk bertuliskan ”Bukan Baju Gue Yang Porno Tapi Otak Lo !”.

Sekilas pernyataan tersebut nampak benar, bagi mereka yang telah terdogma paham feminis. Seolah-olah kalimat tersebut memiliki tafsir “ Jika terjadi kekerasan seksual atau pemerkosaan, posisi perempuan adalah korban sehingga tidak boleh disalahkan (victim blaming). Yang salah justru lelaki, karena otak merekalah yang porno.

Padahal analogi mudahnya ibarat seseorang yang menaruh emas atau harta yang ditutup oleh sesuatu yang transparan. Semua orang tentu melihatnya, apalagi tanpa sebuah pagar dan satpam. Tentu hal ini menarik perhatian maling atau bahkan mereka yang sebelumnya tidak bernafsu pun, pada akhirnya tergoda. Disinilah kita bisa melihat bahwa lagi-lagi kaum feminis gagal paham. Benar-benar fatamorgana. Suatu yang kotor pun bagi mereka terlihat suci.

Perempuan yang Utama

Bandingkan paham fatamorgana kaum feminis dengan pemaparan Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar. Setelah menjelaskan Mushhanat dan Ghafilat, Buya Hamka menyebutkan lebih spesifik lagi tentang perempuan Mushhanat. Dalam tafsirnya Buya Hamka mengerucutkan lagi menjadi perempuan “Imaadul Bilad’. Mereka para perempuan yang tergolong Imaadul Bilad didefinisikan dengan begitu indah dan mulianya.

Mengutip dari Tafsir Al-Azhar, Imaadul Bilad adalah tiang-tiang negara. Bagi Buya Hamka, perempuan demikian yang disebut ibu-ibu yang di telapak kakinya terletak Syurga. Padanya terdapat penghargaan atas istri yang setia dan Ibu yang pengasih. Merekalah guru pertama sebelum manusia masuk kedalam gelanggang hidup yang luas.

Baca Juga  Abd al-Karim Hamidi: Peletak Pendekatan Maqasid Alquran

Dan apabila seorang laki-laki pulang dari medan perjuangan hidup, ke dalam penjagaan perempuan demikianlah mereka akan mencari ketentraman jiwa. Dari dialah didapat “sakinah” (ketenangan) hati yang tetap serta hilanglah keraguan seorang lelaki.

Tentu peran serta perempuan yang digambarkan Buya Hamka jarang diketahui oleh para feminis. Sebagian mungkin masih terdogma atas perkataan “Perempuan karir lebih utama dari perempuan yang hanya mengurusi rumah tangga”. Padahal islam tidaklah sesempit pandangan kaum feminis. Islam bebas menempatkan perempuan asal sesuai dan tidak menyalahi syariat.

Pesan Kyai Dahlan Terhadap Perempuan

Ingatlah kisah KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) saat bertanya pada anak-anak muda perempuan Muhammadiyah. “Apakah kamu tidak malu jika auratmu dilihat kaum lelaki?” tanya Ahmad Dahlan. Anak-anak perempuan serentak menjawab malu. Kyai lanjut bertanya, “Jika kalian malu mengapa jika kalian sakit pergi ke dokter laki-laki, apalagi ketika hendak melahirkan anak ? Jika kalian benar-benar malu, hendaknya kalian terus belajar dan jadilah dokter, sehingga akan ada dokter perempuan untuk kaum perempuan”, tukas KH. Ahmad Dahlan.

Demikianlah gambaran sekilas keadilan Islam dalam kesetaraan peran laki-laki dan perempuan.

Sebagai penutup rasanya benarlah pepatah arab mengatakan : An nisaa imadul bilad. Faman aqomaha faqu Annisa’ ‘imadul bilad,idza sholuhat sholuhal bilad wa idza fasadat fasadal bilad. Khoirul bilad khoiruhu nisa,wa afsadul bilad afsaduhu nisa. (Wanita adalah tiang negara,apabila wanitanya baik maka negara akan baik dan apabila wanita rusak maka negarapun akan ikut rusak. Baiknya negara karena baiknya wanita dan rusaknya negara karena rusaknya wanita)

Avatar
5 posts

About author
Bekerja di UMSurabaya
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *