Tafsir

Penafsiran Hujan dalam QS. Al-Naba’ Ayat ke-14

5 Mins read

Para pembaca rahimakumullah, artikel ini bermaksud berbagi wawasan sains dalam Al-Qur’an QS. Al-Naba’ ayat ke-14. Pada ayat tersebut terdapat frasa ماءا ثجاجا yang diduga kuat memuat informasi sains.

Frasa ماءا ثجاجا akan diungkap makna tekstualnya. Lain daripada itu, akan digali pula makna kontekstualnya dalam QS. Al-Naba’.

Selain dipaparkan maknanya, pada artikel ini akan dipaparkan pula pesannya, baik pesan deskriptif maupun preskiptifnya. Detail uraiannya sebagai berikut.

Makna Tekstual Frasa ماءا ثجاجا

Frasa ماءا ثجاجا terdiri dari dua kata yakni kata ماءا dan kata ثجاجا. Kata ماءا mempunyai kata dasar ماء, sedangkan kata ثجاجا mempunyai kata dasar ثجاج.

Kata ماء adalah kata benda. Mahmud Yunus (1972)  mengartikannya dengan air. Senada dengan Mahmud Yunus, Ahmad Warson Munawwir (1997) juga menerjemahkannya dengan air. Oleh karenanya dapat, disimpulkan bahwa ماءا bermakna tekstual air.

Kata ثجاج merupakan kata sifat. Kata ثجاج diterjemahkan oleh Ahmad Warson Munawwir (1997) sebagai yang amat lebat. Dengan demikian, kata ثجاجا bermakna tekstual yang amat lebat.

Frasa ماءا ثجاجا merupakan نعت ومنعوت , yakni perpaduan kata sifat dan yang disifati. Kata yang disifati disebut sebagai  منعوت, sedangkan kata yang mensifatinya dikenal sebagai نعت. Dalam frasa ماءا ثجاجا, kata ماءا bertindak selaku منعوت, sedangkan kata ثجاجا berposisi sebagai نعت.

Dengan memperhatikan makna tekstual kata ماءا yang bermakna air dan kata ثجاجا yang bermakna yang amat lebat, serta mencermati jenis frasanya, maka frasa ماءا ثجاجا mengandung makna tekstual air yang amat lebat.

Makna Kontekstual Frasa ماءا ثجاجا dalam QS. Al-Naba’: 14

Penggalian makna kontekstual frasa ماءا ثجاجا dalam QS. Al-Naba’ ayat ke-14 harus memperhatikan keseluruhan kalimat dalam satu ayat. Lain daripada itu, kita seyogyanya juga memperhatikan keterhubungannya dengan ayat-ayat lainnya dalam surah yang sama.

Keseluruhan kalimat ayat ke-14 Q.S. al-Naba’ adalah وجعلنا من المعصرة ماءا ثجاجا. Adapun ayat-ayat yang berhubungan dengan ayat ke-14 adalah ayat ke-15 dan ke-16. Ayat ke-15 QS. Al-Naba’ berbunyi لنخرج به حبا و نباتا , sedangkan ayat ke-16 adalah وجنات الفافا .

Zaini Dahlan (2010) dalam bukunya Tafsir al-Fatihah & Juz 30 mengartikan kalimat وجعلنا من المعصرة ماءا ثجاجا dengan “Dan Kami turunkan dari awan hujan yang mencurah berlimpah”. Sementara itu, Salman Harun (2018) dalam bukunya Secangkir Tafsir Juz Terakhir menerjemahkannya “Dan Kami turunkan dari awan tebal hujan yang mencurah”.

Baca Juga  Apakah Prinsip "Konsen" Dikenal dalam Islam?

Kedua terjemahan di atas berbeda dalam mengartikan kata المعصرات, Zaini Dahlan mengartikannya sebagai awan sedangkan Salman Harun mengartikannya dengan awan tebal. Penulis lebih condong pada makna yang diberikan oleh Salman Harun. Menurut Salman Harun, المعصرات adalah awan yang berproses (berkondensasi) sehingga menjadi tebal.

Namun demikian, baik Zaini Dahlan maupun Salman Harun, sama-sama mengartikan kata ماءا dalam ayat ke-14 QS. Al-Naba’ dengan hujan. Keduanya juga sama-sama mengartikan kata ثجاجا dengan yang mencurah. Penulis setuju dengan makna kontekstual yang diberikan oleh kedua mufassir tersebut. Dengan demikian makna kontekstual frasa ماءا ثجاجا dalam QS. Al-Naba’ ayat ke-14 adalah hujan yang mencurah.

Pesan Deskriptif Frasa ماءا ثجاجا dalam QS. Al-Naba’: 14

Secara deskriptif, frasa ماءا ثجاجا QS. Al-Naba’ ayat ke-14 mengandung pesan agar kita bersyukur atas anugrah hujan. Bagaimana cara agar mensyukuri anugerah hujan?

Menurut penulis, cara pertama mensyukuri anugrah hujan adalah dengan mempelajari ilmu tentang hujan. Ilmu ini termasuk bagian dari ilmu cuaca yang lebih dikenal dengan meteorologi. Di Indonesia, terdapat sekolah khusus yang mempelajarinya yakni Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (STMKG). Selain itu, terdapat lembaga khusus yang mengurusi tentang cuaca yakni Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Sebagaimana termaktub dalam ayat ke-14 dari QS. Al-Naba’ bahwa hujan yang mencurah (ماءا ثجاجا) diturunkan oleh Allah SWT dari المعصرات (awan yang berkondensasi). Di manakah terjadinya المعصرات? Tempat terjadinya المعصرات adalah di atmosfer bumi, yang dalam QS. Al-Naba’ ayat ke-12 diungkapkan dengan frasa سبعا شدادا.

Apakah perubahan cuaca terjadi di semua lapisan atmosfer bumi? Jawabannya adalah tidak. Dari ilmu meteorologi kita memperoleh informasi bahwa siklus cuaca terjadi pada lapisan atmosfer tertentu yakni lapisan troposfer.

Siklus cuaca diawali saat sinar matahari melewati atmosfer bumi. Awal mulanya, sinar matahari berupa gelombang pendek. Sebagian besar gelombang ini diserap oleh bumi, sehingga memanaskannya. Panas dari gelombang pendek sebetulnya tidak terlalu besar, akan tetapi karena melewati medium yang lebih padat daripada ruang hampa, maka gelombang pendek ini mengalami pembiasan, sehingga menjadi gelombang panjang.

Gelombang panjang ini terkenal dengan nama inframerah, di mana suhunya lebih tinggi daripada gelombang pendek. Gelombang inframerah inilah yang membuat suhu di bumi menjadi ideal untuk dihuni.

Pada ayat ke-12 QS. Al-Naba’ telah disebutkan bahwa atmosfer bumi itu mempunyai sifat kuat (شدادا ). Kekokohan atmosfer bumi, salah satunya karena ia mampu menahan gelombang inframerah sinar matahari yang mengenai bumi agar tidak terpantul ke luar angkasa. Bilamana gelombang inframerah ini terpantul ke luar angkasa, maka pada malam hari suhu bumi akan sangat rendah (bisa mencapai -18°C).

Baca Juga  Al-Qur'an Berbudaya, Ikut Al-Qur'an atau Budaya?
***

Alhamdulillah, Allah SWT telah menganugrahkan atmosfer bumi yang di dalamnya ada gas-gas CO2, H2O, dan lain-lain. Gas-gas itulah yang memantulkan gelombang inframerah kembali ke bumi, sehingga suhu bumi pada malam hari tetap nyaman. Demikian dijelaskan oleh YPM Salman ITB (2014) dalam buku Tafsir Salman.

Masih menurut YPM Salman ITB (2014) dalam buku Tafsir Salman, bahwa energi panas gelombang inframerah inilah yang menguapkan air dari permukaan bumi. Uap air tersebut bergerak ke atas menuju lapisan troposfer. Molekul-molekul uap air yang berada di troposfer ini mengambil sebagian panas dari udara, sehingga tekanan udara di troposfer menurun. Penurunan tekanan di troposfer inilah yang menyebabkan uap air mengalami kondensasi (pengembunan) sehingga menjadi awan yang berpotensi hujan (المعصرات).

Kita mengetahui bersama bahwa wilayah Indonesia dikelilingi oleh lautan. Bahkan di antara satu pulau dengan pulau lainnya, diselingi oleh lautan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya penguapan air di wilayah Indonesia sehingga awan mudah terbentuk.

Faktor angin juga mempengaruhi proses kondensasi awan. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia terletak di antara dua samudera, yakni samudera Hindia dan samudera Pasifik. Hal ini berakibat pada kencangnya tiupan angin di wilayah Indonesia, sehingga saat musim penghujan proses kondensasi awan mudah terjadi.

Cara kedua perihal bersyukur atas anugerah hujan adalah dengan memanfaatkannya untuk menumbuh-kembangkan biji-bijian & tumbuh-tumbuhan. Pesan deskriptif tersebut dapat ditemukan dalam kalimat لنخرج به حبا ونباتا pada ayat ke-15 QS. Al-Naba’.

Agar anugerah hujan bermanfaat bagi tumbuh-kembang biji dan tumbuhan, maka diperlukan peran ilmu meteorologi. Model perubahan cuaca sebagai salah satu output ilmu meteorologi akan sangat berguna bagi perencanaan pertanian. Dengan model ini, para petani dapat menentukan kapan dan di mana mereka akan bercocok tanam, serta jenis tanaman yang cocok ditanam (YPM Salman ITB, 2014)

***

Selain digunakan untuk pertanian, hujan dapat pula dimanfaatkan untuk menghadirkan kemanfaatan yang lain. Pesan deskriptif tersebut dapat kita temukan dalam ayat ke-16 dari QS. Al-Naba’ yakni وجنات الفافا. Di sinilah peran inovasi dan kreasi manusia dituntut.

Baca Juga  Nasr Hamid Abu Zayd: Poligami Dilarang dalam Al-Qur'an

Jika dikontekskan dengan Indonesia yang mempunyai dua musim, maka gerakan menabung hujan saat musim hujan menjadi hal yang patut untuk dilakukan. Gerakan menabung hujan dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya menanam pohon, membuat biopori, membuat sumur resapan, dan membuat embung.

Terdapat beberapa pohon yang direkomendasikan untuk ditanam dalam rangka menabung hujan. Pohon-pohon tersebut adalah aren, gayam, kedawung, trembesi, beringin, elo, preh, bulu, benda, kepuh, randu, jambu air, jambu alas, bambu, dan picung.

Beberapa penelitian tentang model biopori juga telah banyak dilakukan. Berbagai model biopori tersebut dapat kita pilih untuk diimplementasikan dalam rangka menabung hujan.

Sumur resapan juga merupakan salah satu metode untuk menabung hujan. Banyak hasil penelitian tentang model sumur resapan. Hasil-hasil penelitian tersebut tentunya memudahkan kita untuk membuat sumur resapan

Embung juga bisa menjadi alternatif cara menabung hujan. Embung selain berfungsi  untuk menampung air hujan, juga bisa menjadi obyek wisata.

Tabungan-tabungan hujan tersebut akan kita tuai saat musim kemarau tiba. Saat musim kemarau, biasanya cadangan air akan berkurang. Dengan bantuan tabungan hujan, in syaa Allah, masalah kekurangan air pada musim kemarau dapat kita minimalkan.

Pesan Preskriptif Frasa ماءا ثجاجا dalam QS. Al-Naba’: 14

Frasa ماءا ثجاجا dalam QS. Al-Naba’ ayat ke-14, selain mengandung pesan deskriptif, juga memuat pesan preskriptif. Penulis menemukan dua pesan preskriptif dalam frasa tersebut. Kedua pesan preskriptif itu adalah tauhid dan inovasi-kreasi.

Pesan preskriptif tauhid dapat kita temukan dari frasa جعلنا. Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa tauhid merupakan nilai dasar Islam, bahkan dikategorikan sebagai nilai dasar mendasar. Sebagai nilai dasar yang paling dasar, maka tauhid harus mensinari nilai-nilai dasar Islam lainnya. Bersama dengan nilai-nilai dasar Islam lainnya, tauhid harus menyinari seluruh relung kehidupan, kapanpun dan dimanapun kita berada.

Selain tauhid, pesan preskriptif selanjutnya adalah inovasi-kreasi. Pesan preskiptif daya cipta tersebut dapat kita peroleh dari frasa وجنات الفافا. Inovatif-kreatif merupakan salah satu nilai tengah Islam dalam bidang mu’amalah. Dengan menerapkan prinsip inovasi-kreasi dalam mu’amalah, maka anugerah Allah SWT yang telah kita terima yang tak terhitung jumlahnya ini, dapat kita syukuri secara optimal. Sebagaimana diisyaratkan dalam surah Ibrahim ayat ke-7, dengan optimalisasi syukur, maka Allah SWT akan menambah anugerah-Nya kepada kita.

Wa Allahu a’lamu bi al-shawab
Semoga bermanfaat.

Editor: Yahya FR

Avatar
35 posts

About author
Staf Pengajar UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Sains dan Teknologi. Santri Pondok Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki Tahun 1991-1997.
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds