Khutbah

Buletin Jumat: Berdamai Dengan Covid-19

3 Mins read

Ust. Hatim Gazali

Sampai awal tahun 2021 ini, tanda-tanda berakhirnya Covid-19 di Indonesia belum juga tampak. Bahkan, jumlah kasus Covid-19 terus mengalami peningkatan tajam, menembus angka 1 juta. Perharinya, ada penambahan kasus baru mencapai 10 ribu/hari. Rumah sakit penuh, tak dapat menampung kasus baru. Jumlah korban yang wafat karena Covid-19 mencapai angka di atas 25 ribu.

Vaksin memang sudah dimulai digencarkan. Presiden Jokowi menjadi orang yang pertama yang mendapat suntikan vaksin, untuk memberikan rasa aman dan percaya agar seluruh rakyat Indonesia tidak menolak divaksinasi. Pasalnya, tidak sedikit narasi yang menyatakan penolakan terhadap vaksinasi tersebut.

Sekalipun demikian, hadirnya jutaan vaksin ke Indonesia tak bisa menghentikan kecepatan laju penyebaran Covid-19 ini. Persebarannya bisa lebih cepat ketimbang proses vaksinasi. Dampaknya, ke depan, kasus baru tak seketika akan menurun, korban jiwa masih akan terus terjadi.

Lalu, bagaimana sikap kita menghadapi situasi ini? Pilihan terbaik adalah “berdamai.” “Berdamai” berarti ia mengakui dan menerima bahwa Covid-19 ini benar-benar ada, keberadaannya tak bisa disangkal. 25 ribu orang yang wafat karena dipicu oleh Covid-19 ini menjadi bukti kuat.

***

Untuk percaya akan keberadaan Covid-19 ini, sejatinya, tak memerlukan pembuktian sendiri melalui pengalaman langsung; menjadi korban Covid-19, baru kemudian percaya. Tidak perlu. Sama halnya, untuk percaya bahwa 14 abad yang silam diutus seorang nabi bernama Nabi Muhammad S.A.W, seorang muslim tak perlu masuk ke lorong waktu masa lampau untuk mengecek keberadaan Nabi. Buktinya sangat jelas di depan mata; Islam yang kita peluk sekarang.

Setelah menerima dan mengakui adanya Covid-19 ini, maka makna “berdamai” berikutnya adalah mengikuti protokol yang telah ditetapkan, sebagai upaya untuk menghindar menjadi korban Covid-19. Menjaga kebugaran dan imunitas tubuh, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan adalah proteksi diri yang perlu dilakukan oleh setiap rakyat Indonesia.

Baca Juga  Buletin Jumat: Teladan Kebangsaan KH Ahmad Dahlan

Memproteksi diri agar terhindar dari Covid-19 ini wajib dilakukan karena dua alasan. Pertama, menjaga jiwa (hifd al-nafs) adalah salah satu tujuan hadirnya Islam di muka bumi (maqasid al-syariah). Islam menuntut setiap muslim agar menjaga jiwanya juga raganya agar selalu sehat dan tidak sakit. Menjaga diri agar tetap bugar dan sehat ini perlu kita jadikan tujuan agar kita dapat melaksanakan ibadah dan seluruh syariat Allah.

Kedua, tidak menjadikan diri kita sebagai pembawa (career) virus ini kepada orang lain yang dapat menyebabkan orang lain mengalami dampak buruk; sakit dan mati. Surat al-Maidah ayat 32 pun menegaskan bahwa membunuh satu orang diibaratkan sama dengan membunuh seluruh manusia. Ayat tersebut jika dikaitkan dengan Covid-19, maka ketika kita terpapar Covid-19 (baik bergejala maupun tidak) maka kita harus isolasi agar tidak menularkan penyakit tersebut kepada orang lain.

***

Bagi seorang muslim, adanya Covid-19 perlu ditempatkan sebagai salah satu tanda kebesaran Allah. Bahwa, kuasa dan kehendak Allah melampaui kehebatan, kemajuan, kesaktian seseorang dan negara. Sama halnya dengan penyakit pada umumnya, hampir tak ada manusia yang dapat menghindarkan dirinya dari penyakit itu sendiri.

Sebagai salah satu tanda kebesaran Allah, maka adanya Covid-19 ini mestinya menjadi momentum untuk meningkatkan ketauhidan, ketakwaan dan kesabaran. Kita menjadi semakin yakin bahwa tidak ada kuasa yang lebih besar dari kuasa Allah. Tak ada peristiwa di semesta ini tampa kuasa dan kehendak-Nya. Termasuk Covid-19 ini.

Bertakwa kepada Allah tak hanya bersangkut paut dengan jumlah ibadah yang dilakukan setiap waktu, tetapi juga bertalian dengan kehidupan sosial, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam surat Ali Imran ayat 133-135.

Baca Juga  Naskah Khutbah Idul Adha: Haji Mabrur Tanpa Mabur

Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa; (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan mema’afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosanya selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.

Dari ayat di atas kita menjadi tahu bahwa menjadi orang bertakkwa (muttaqin) mengandaikan kerelaan kita untuk berinfaq, membantu orang lain yang kesulitan. Ini menjadi sangat penting dalam situasi pandemi Covid-19 ini. Membantu orang yang terdampak Covid-19 bisa dijadikan salah satu indikator ketakwaan kita kepada Allah.

Ayat di atas juga menggambarkan bahwa orang yang bertakwa juga orang-orang yang dapat menahan amarahnya, sehingga ketika musibah Covid-19 ini menimpa dirinya atau keluarganya, ia tidak meluapkan amarahnya kepada siapapun, apalagi kepada Allah. Musibah yang terjadi pada dirinya justru dijadikan batu uji untuk meningkatkan imannya. Kesabaran menjadi bukti kebertakwaan seseorang.

***

Nabi Ayyub konon diuji dengan penyakit cacar yang dideritanya dalam waktu yang cukup lama. Ada yang menyebutkan tiga tahun, tujuh tahun, dan bahkan 18 tahun. Derita penyakit yang dialami Nabi Ayyub tak menjadikan ia “lari” dari Allah, melainkan justru semakin meningkatkan takwa dan syukur kepada Allah.

Ciri lain dari takwa dalam ayat di atas adalah kerelaan untuk memaafkan kesalahan orang lain. Karena kita perlu sadar bahwa tidak ada manusia yang tak luput dari perbuatan salah. Ciri lainnya adalah tidak melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri. Dalam konteks Covid-19, termasuk dalam perbuatan keji dan menzalimi diri sendiri adalah tidak mematuhi protokol Kesehatan yang ditetapkan, yang dapat menyebabkan dirinya dan orang lain menjadi korban.

Baca Juga  Buletin Jumat: Merawat Tradisi untuk Moderasi

Akhirnya, berdamai dengan Covid-19 bukan saja menerima adanya keberadaan virus ini sebagai salah satu kebesaran Allah, melainkan juga kepatuhan terhadap pelaksanaan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai orang yang beriman, pandemi Covid-19 ini justru dijadikan momentum untuk meningkatkan ketauhidan, ketakwaan dan kesabaran. Karena berdamai dengan Covid-19 dalam konteks keimanan kepada Allah berarti mengambil hikmah atas segala peristiwa yang terjadi pada kehidupan ini, termasuk pandemi Covid-19. Semoga kita dimasukkan ke dalam orang-orang yang betakwa. Amin.

Ust. Hatim Gazali, alumni Pesantren Sukorejo Situbondo, Pemimpin redaksi Islamina.id dan Ketua Umum PERSADA NUSANTARA)

Editor: Yahya FR

Avatar
1339 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Khutbah

Khutbah Idul Fitri: Makna Idul Fitri dan Kemenangan Sejati

5 Mins read
Berikut ini adalah contoh khutbah Idul Fitri yang dapat dipakai untuk memberikan khutbah Idul Fitri di masjid- masjid dan di lapangan. Tema…
Khutbah

Teks Khutbah Idul Fitri: Menggapai Derajat Takwa 

3 Mins read
Berikut ini adalah contoh teks khutbah Idul Fitri yang dapat dipakai untuk memberikan khutbah Idul Fitri di masjid- masjid dan di lapangan….
Khutbah

Khutbah Idul Fitri: Terlahir Kembali Menjadi Manusia Baru

4 Mins read
Berikut ini adalah contoh khutbah Idul Fitri yang dapat dipakai untuk memberikan khutbah Idul Fitri di masjid- masjid dan di lapangan. Tema…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *