Perjalanan hidup manusia menelusuri ruang dan waktu yang panjang. Susah-senang, bahagia-derita, kaya-miskin, sakit-sehat, dan dimensi lainnya menjadi batu-ujian untuk melihat skill manusia dalam menerima dan bangkit mengatasi problematika hidupnya masing-masing.
Manusia senantiasa diliputi kegelisahan, kegalauan, kecemasan, dan ketakutan (phobia) terhadap sesuatu yang belum pernah dimasuki dan yang belum pernah dilalui masa sebelumnya. Sehingga, ia mencari tumpuan pengharapan. Bisa saja kepada orang tua, teman, kolega, atasan, dan yang utama adalah kepada Tuhan.
Dalam dunia yang fana ini, manusia umpama musafir kelana yang berjalan di padang pasir tandus, bekal seadanya, dan yang utama menjadi pengharapannya adalah air. Oase itulah yang diharapkan sang musafir.
Oase berarti sumber mata air di padang pasir, daerah subur di padang pasir. Manusia modern pun sedang mengalami hal yang sama. Dentuman mesin, hiruk-pikuk masa manusia yang mencari penghidupan masing-masing, bisingan kendaraan yang lalu lalang, hantaman krisis ekonomi-politik, wabah Covid-19, dan kecemasan dan ketakutan lainnya, membuat manusia mencari tempat bersandar untuk menopang hidup yang tiada kepastian. Maka “suplemen” dan “gizi-murni’ yang dibutuhkan adalah sesuatu yang bersifat spiritual, baik dari agama maupun non-agama.
Problematika Alienasi Metafisik Manusia Modern
Menurut Kamus Ilmiah Populer, spiritual adalah segala yang mencakup nilai-nilai kemanusiaan yang non-material, seperti: kebenaran, kebaikan, kesucian, dan cinta; rohani; kejiwaan; intelektual. Spiritualisme adalah perwatakan; penjiwaan. Spiritualisme sama dengan keyakinan spiritisme (pararer); aliran filsafat yang bercorak kerohanian (lawan materialisme). Spiritualistis ialah bercorak kejiwaan; kerohanian. Spiritualitas yakni kerohanian, kejiwaan; kehidupan rohani (Syahrul Ramadhan, 2010: 407).
Manusia modern, secara ekonomi berlimpah dari berbagai sumber penghidupan dalam pemenuhan materi. Secara politik, berjibaku meraih prestise pada jenjang jabatan untuk pepenuhan hajat ambisi dan kursi. Secara sosial, mendapat tempat terhormat dari status sosial yang diraih untuk simpati minimal warga di lingkungan tempat tinggal. Dan, secara teknologi, sudah serba “wah” dengan segala “aksesoris” kendaraan dan perangkat teknologi canggih.
Namun, kenapa terjadi problematika alienasi metafisik pada manusia modern? Padahal, mereka punya uang untuk mencari pembimbing spiritual. Mereka punya jabatan dengan mudah mendapatkan “guru-spiritual”. Mereka punya status sosial yang tinggi dengan cepat mampu mendatangkan “orang-suci” untuk mendeteksi dan mendiagnosa fisik dan psikis mereka. Dan, mereka punya kendaraan mewah dengan singkat mampu dating ke rumah para “motivator-spiritual” untuk membangkitkan aura keceriaan yang tulus pada siapapun.
Menurut Kuntowijoyo dalam buku Muslim Tanpa Masjid, kenyataan bahwa spiritualisme juga menjadi bagian dari sejarah modern, menunjukan bahwa manusia itu bukan makhluk satu dimensi. Meskipun spiritualisme tidak berari agama yang melembaga, tetapi setidaknya itu memberi indikasi bahwa masih ada peluang untuk agama. (Kuntowijoyo, 2001: 197).
***
Beberapa tahun terakhir, banyak berita tentang “orang penting” (tokoh) yang mendekati kelompok, sekte, “padepokan”, lembaga, pelatihan spiritual, kursus “goya”, dan segala pemberi harapan keterpulihan psikolagis pada anggota/jamaahnya. Namun, terkadang adalah yang sampai mengklaim pimpinannya sebagai “Nabi”, “Jibril”, “Ustadz”, “Kiyai”, “Syekh”, “Tuan Guru”, dan pelabelan lainnya.
Secara sosilogis, manusia sering mudah terkesima dan gampang kagum pada hal-hal yang bersifat mistik dan spiritual yang dianggap mampu membawanya kepada alam bawah sadar sebagai “penganut” kesucian, yang dijanjikan surga dengan memberikan uang, dijanjikan keselamatan dengan bergabung bersama di “padepokan” penyiar “kebenaran”. Sehingga mereka rela meninggal keluarga, rumah, memberikan “upeti”, dan bersama-sama tinggal di “tanah yang di janjikan” dan di “padepokan” benteng huru-hara kiamat!
Karena itu, tugas bersama agama ialah meyakinkan manusia bahwa spiritualisme modern berarti pencarian kembali nilai-nilai agama. Spiritualisme tanpa agama itu bukan makanan sehari-hari manusia; memang bergizi, tetapi itu pil bukan makanan. Spiritualisme ada dalam semua agama, tetapi agama jauh lebih kaya ketimbang sekadar spiritualisme (Kuntowijoyo, 2001: 197).
Sebuah tugas kemanusiaan bagi lembaga/institusi agama dan pemerintah untuk menyelamatkan orang-orang yang “khilaf” dalam menapaki jalan spiritulisme yang melenceng dari esensi ajaran agama. Tokoh-tokoh agama merupakan gerda terdepan dalam menyelamatkan kemanusiaan yang bersifat spiritualisme tersebut.
Tanpa peran konkrit dari ormas keagamaan dan kepemudaan kasus sosok yang mengklaim sebagai “juru selamat”, Imam Mahdi, dan “padepokan” spiritual akan banyak penganut dan pengikutnya, apalagi di tengah krisis moral, resensi ekonomi, dan wabah pandemic Covid-19 saat ini.
Spiritualisme Islam: Esensi Syahadat Tauhid dan Syahadat Sosial-Kemanusiaan
Agama pada mulanya membuat manusia terasing, karena agama menarik manusia ke “atas”. Tetapi agama juga punya kemampuan untuk membawa kembali manusia ke bawah, karena agama berdimensi sosial-ekonomi. Sementara itu, spiritualisme membawa manusia ke “atas” tanpa membawanya kembali ke “bawah”. Spiritualisme agama juga mencegah kontradiksi budaya, karena spiritualisme akan tetap terkontrol (dalam Islam sufisme dikontrol oleh syariah) (Kuntowijoyo, 2001: 197-198).
Persoalan spiritualisme merupakan persoalan yang metafisik. Bagi penganut agama tentu harus memahami esensi pesan langit firman Tuhan dan sabda Nabi. Ajaran yang bersifat dogma, doktrin, ritus, tidak dapat dipahami yang secara tekstual belaka. Subtansi ajaran agama harus bisa dipahami teks, konteks, dan kontekstualisasi pada kehidupan nyata di setiap zaman.
Spiritualisme bukan hanya ada dalam setiap agama, spiritualisme juga ada dalam budaya. Kemampuan memasuki alam spiritualisme membutuhkan bimbingan pada orang-orang yang memiliki ilmu yang mumpungi. Dari pandangan Islam spiritualisme sering dikaitkan dengan ajaran tasawuf (syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat). Yang perlu dibbawah bimbingan Mursyid, Syekh, dan terlembaga dalam berbagai Tarekat.
Spiritualisme Islam sesungguhnya memiliki “inti”, yakni esensi syahadat tauhid yang teraplikasi dalam syahadat sosial-kemanusiaan. Tauhid ritual merupakan wilayah privasi sang hamba dalam wujud ritus ibadah mahdah, sedangkan tauhid sosial-kemanusian adalah wilayah public dalam wujud ibadah ghairu-mahdah.
Level pengetahuan dan pemahaman yang dipelajari sungguh-sungguh dan melalui bimbingan ahli agama (ulama), maka sang hamba akan tercerdaskan, tercerahkan, dan dapat meneguhkan spiritualismenya dalam kehidupan nyata. Kematangan spirtualisme dalam Islam melahirkan kebijakan (kearifan) dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Itulah puncak dari spiritualisme Islam, yakni ma’rifat: level kebijaksanaan!
Hijrah Rohaniah: Mengembalikan Oase Spiritualitas Kaum Beriman
Sebagaimana dijelaskan Kuntowijoyo, agama semakin diperlukan dalam dunia modern, karena agama memberi makna yang lebih besar (Tuhan itu Maha Besar). Selain itu, juga mempunyai fungsi terapetik (Tuhan itu Maha Penyembuh).spiritualisme, baik yang teistik maupun yang kosmik, tidak mempunyai kekuatan seperti agama.
Bagi spiritualisme, otoritas masih terletak di dalam diri manusia. Jadi manusia akan kehilangan sesuatu, yaitu the will to believe. Tanpa agama, planet bumi hanya patut dihuni robot-robot yang tak berjiwa. Kemanusiaan tanpa agama ialah kemanusiaan tanpa masa depan.
Selanjutnya, dengan uniformasi kebudayaan, suatu bangsa akan kehilangan raison d’etre. Uniformitas hanya baik untuk pabrik, sarana transportasi, sarana telekominikasi, mesin, dan toserba yang perlu efisiensi, tetapi membosankan untuk sistem simbol (Kuntowijoyo, 2001: 198).
Spiritualisme yang “dangkal” hanya menjadikan rasa kehampaan bagi sang hamba. Esensi akal, nafsu, nurani dan rohani yang belum menemukan tempat “berlabuh” dan “bersauh”, akan gamang, galau, gelisah, dan gejala psikis lainnya.
Fenomena hijrah zaman sekarang yang hanya sebatas “aksesoris”, seperti: hijab, jenggot, jidat hitam, celanan jingkrang, cadar, dll belum begitu mampu menaikkan frekuensi spiritualisme keislaman pengikutnya. Sesuatu yang paling esensial adalah hijrah rohaniah. Inilah yang akan mengembalikan oase spiritualitas kaum beriman. Spirit tersebut dijelaskan Ibnu Atha’illah al-Iskandari, yakni: “Apa yang tersimpan di kedalaman batin, akan tampak pada penampilan lahir.”
Tentu spiritualisme Islam tidak hanya asyik masygul di alam ketuhanan saja tanpa turut serta dalam masalah-masalah sosial-kemanusiaan di sekelilingnya. Iman fungsional merupakan perpaduan antara tauhid ritual dengan tauhid sosial-kemanusiaan. Sekaligus merupakan sinergi antara syahadat tauhid dan tauhid sosial-kemanusiaan. Nabi Muhammad Saw pun sebagai Nabi dan Rasul tidak hanya “kaya” secara spiritualisme Islam dalam wujud ritus ibadah mahdah. Akan tetapi, beliau juga “wah” dalam ibadah ghairu–mahdah dalam wujud sosial-kemanusiaan. Jadi spiritualisme Islam bukan hanya pristise pencapaian sebagai mistiskus, namun merupakan kearifan kata dan laku yang tidak didustai.
***
Sebagaimana dikutip dari buku Buya Ahmad Syafii Maarif, Al-Qur’an dan Realitas Umat. Di mata Iqbal, Muhammad tidak bisa disandingkan dengan seorang mistik yang ingin menyatu dengan Tuhan, sebagaimana pengakuan Abdul Quddus dari Gangoh:
“Muhammad telah mikraj ke langit yang tertinggi dan kembali. Saya [Abdul Quddus] bersumpah demi Tuhan bahwa sekiranya saya telah mencapai titik itu, saya tidak akan pernah kembali.”
Agak sedikit sinis, Iqbal memberi komentar, “Si Mistik tidak ingin pulang dari ketenangan ‘pengalaman menyatu’ itu; dan bahkan jika ia sungguh kembali, sebagaimana mestinya, kepulangannya itu tidak punya makna banyak bagi umat manusia umumnya.
Kembalinya Nabi bersifat kreatif. Ia kembali untuk memasukkan dirinya ke dalam gerak dan ayun waktu dengan maksud untuk mengentrol kekuatan-kekuatan sejarah, dan dengan cara itu untuk menciptakan sebuah dunia cita-cita yang segar.”
Muhammad bergerak dan berjuang secara sungguh-sungguh dalam putaran ruang dan waktu. Pernah kalah dalam Perang Uhud, tetapi cita-cita mulianya tetap panas, dan pada akhirnya Berjaya dalam membangun peradaban yang adil dan imbang (Ahmad Syafii Maarif, 2010: 38-39).
Secara rohaniah, siapapun manusianya yang ada di atas dunia ini, ia sudah memiliki perjanjian primodialisme dengan Tuhannya sejak di alam rahim. Sejak alam rahim semua manusia telah berkomitmen pada syahadat tauhidnya.
Pada kehidupan di alam dunia inilah, manusia menyambung ke bembali “tali-batin” spiritualisme kepada esensi ajaran Islam, sehingga sang hamba tidak menderita, takut, galau, gelisah dan gejala psikis lainnya. Sebagaimana pesan Langit yang difirmankanNya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-A’raf {7}: 172).
Editor: Yahya FR