Perspektif

Menggandrungi Buku, Tak Berarti Harus Jadi Profesor dan Menerbitkan Karya Ilmiah!

4 Mins read

Manusia hidup sekali dan sesudah itu mati. Begitu pikir kita. Mungkin itu adalah kaidah yang paling ajeg dalam sejarah. Kenyataannya, kita melihat, mendengar, dan membaca orang-orang hidup lalu mati. Jika itu adalah realitanya, maka pikirkan baik-baik hidup seperti apa yang mau Anda jalani ini. Kecuali Anda menganggap itu semua tidak terlalu penting.

Karena hidup ini sekali saja, dan sesudahnya adalah kematian, tampaknya kita harus memilih harus “tenggelam” di lautan apa dalam hidup ini. Anda bisa tenggelam dalam kebiasaan bersolek, tenggelam dalam kecemburuan, dan tenggelam dalam pertengkaran. Atau, Anda bisa tenggelam dalam buku.

Saya merasa buku adalah penemuan terbesar peradaban manusia. Ia berisi ide, ucapan, dan tulisan manusia. Sebenarnya, tulisan, ucapan, dan ide adalah pertanda revolusi kognitif spesies kita (Harari, 2014).

Diawali dengan lukisan-lukisan tapak tangan di gua-gua, hingga deretan karya ilmiah di perpustakaan raksasa, buku telah menemani jalannya hidup kita sebagai binatang cerdas.

Literasi Bangsa Kita

Berkaitan dengan buku, saya tidak tertarik membahas rendahnya kualitas dan kuantitas literasi bangsa kita. Itu semua sudah jelas. Yang punya akal akan merasa malu. Yang tidak peduli mana mungkin tahu malu.

Saya justru yakin bahwa ada banyak orang di negeri ini yang sangat menguasai budaya literasi, mendirikan perpustakaan, menjadi profesor riset lembaga penelitian, mengajar di kelas-kelas, menerbitkan jurnal ilmiah, dan menulis buku. Mereka tenggelam dalam buku.

Tapi, apakah tenggelam dalam buku harus berarti menjadi seperti itu? Pasti jawabannya tidak. Sebab, ada juga orang-orang biasa, yang bekerja mencari nafkah, bangun pagi pulang sore, tapi begitu antusias dalam membaca setiap kali ada kesempatan.

Dia membeli buku satu demi satu, menumpuknya di meja rumah, membacanya sepulang kerja, merenungkan setiap kali membaca, dan shalat setiap kali adzan. Tentu saja, membaca baginya membuat ia sadar betapa kurang pengetahuannya. Dan itu membuat ia makin sendu bersujud di hadapan Tuhan.

Baca Juga  Posisi Perempuan dalam Kemerdekaan Bangsa

Meski tidak harus berujung pada praktik shalat dan sujud, membaca tetaplah luar biasa. Saya sendiri juga membaca Richard Dawkins yang tidak sujud kepada Tuhan. Apa salahnya? Buku-bukunya adalah karya ilmiah besar. Baca saja, nikmati, pahami, dan jika Anda tidak setuju, dunia tidak akan kiamat.

***

Tapi saya yakin satu hal. Mereka yang tekun membaca karena ingin mengetahui yang belum diketahui, maka tidak akan menjadi sombong dan jumawa menganggap buku ini halal dan buku itu haram. Mereka yang membaca akan merunduk, merendah, dan bersujud. Seperti padi. Makin berisi makin merunduk.

Di sini kita harus memberi hormat yang paling besar kepada ibu dan bapak yang bekerja keras siang dan malam untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan adalah bagian utama dalam budaya literasi.

Para orangtua yang menginvestasikan uangnya untuk pendidikan anaknya harus kita hormati. Berkat merekalah setiap tahun kita punya siswa, santri, dan mahasiswa.

Dan dari anak-anak itu muncul satu per satu orang yang getol membaca, meneliti, dan menulis. Semua profesi yang Anda kenal bersandar pada pendidikan dan budaya literasi. Dokter, guru, dan insinyur; bahkan tukang cukur perlu belajar, meski bukan dari buku. Sebab inti belajar adalah belajar. Buku adalah sarananya. Tapi sebaik-baik sarana. Begitulah kira-kira.

Buku juga menjadi tempat agama, budaya, filsafat, ideologi, dan sains disimpan. Di mana Anda menyimpan emas? Bisa di sebuah kotak brangkas. Di mana Anda simpan uang? Bisa di bank atau bawah bantal. Di mana Anda simpan makanan? Bisa di kulkas. Di mana manusia menyimpan agama, filsafat, dan sains? Di buku.

Kitab suci, jurnal, tesis, dan disertasi adalah spesies dari genus yang sama, yakni buku. Agama adalah unsur penting dalam hidup manusia — kecuali yang menolaknya, dan itu tidak apa-apa. Kita simpan ia di buku supaya bisa kita baca ketika kita lupa. Meski fisik buku dan fisik manusia terpisah, tapi ketika ia dibaca dunia kita menjadi satu juga.

Baca Juga  Buya Hamka yang Mengubah Hidup Kami

Mengapa Harus Membaca Buku?

Anda mau bertemu Musa, Yesus, Muhammad, Buddha, Konfusius, Galileo, Newton, dan Darwin? Maka silakan bertamu ke rumah mereka. Mereka menunggu Anda di Bible, Al-Qur’an, Analek, Principia, dan Origin. Membaca adalah budaya mereka, dan kini kita membaca mereka. Tapi ada satu hal yang belum diungkap di sini. Untuk apa sebenarnya kita membaca?

Jawabannya bisa macam-macam. Tapi, satu jawaban yang bisa Anda pertimbangkan adalah: manusia membaca untuk menemukan gambaran yang lebih baik dan jelas tentang hidupnya ini. Tanpa gambar yang jelas kita tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi, sedang apa kita di sini, apa yang harus kita lakukan, dan ke mana kita akan pergi.

Bayangkan seorang bajak laut. Dia berada di tengah samudera yang luas dan ganas. Meski kapalnya besar, layarnya kuat, dan krunya banyak, tanpa alat-alat navigasi seperti peta dan kompas, mereka akan kebingungan di tengah laut.

Buku adalah peta dan kompas. Kita membaca supaya kita mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Untuk itu juga kita bertamu ke rumah para guru tadi.

Hari ini kita kebanjiran buku. Mulai dari buku biasa hingga buku digital. Kita juga disajikan satu bentuk baru sarana membaca: media sosial. Media sosial dengan lihai juga menjadi media membaca dan media literasi.

Mungkin, jika diteliti ulang, sebenarnya tingkat literasi masyarakat Indonesia itu sangat tinggi. Andai saja yang diteliti itu literasi di media sosial, bukan membaca buku. Ya, membaca media sosial, status, like, dan follow. Jika itu yang diteliti dan diukur pasti kita juaranya.

Memilih Tenggelam di Mana

Akhirnya, silakan Anda pilih untuk tenggelam di mana. Hidup adalah tenggelam. Kita saat ini tenggelam di bawah langit dan atmosfer. Kita tenggelam dalam sistem tata surya kita. Kita tenggelam dalam sistem galaksi bima sakti.

Baca Juga  Gejayan Memanggil Lagi: Sebuah Ikhtiar Memaknai Demonstrasi Mahasiswa

Jika hari ini Anda lebih memilih tenggelam dalam rutinitas makan, minum, tidur, mandi, kerja, nonton dan makan lagi, sangat disayangkan karena Anda tidak sempat merasakan manisnya tenggelam dalam buku.

Jika hari ini Anda tenggelam dalam rasa benci, permusuhan, rasa curiga, cemburu, intoleransi dan persaingan, maka sayang sekali, karena Anda tidak sempat belajar rendah hati dan merunduk seiring membacanya.

Seiring membaca buku Anda akan tahu ada ide-ide besar dalam karya-karya besar. Dan Anda akan tahu ada pikiran-pikiran sempit yang disebarkan meski ia berlandaskan kitab suci, filsafat, ataupun sains.

Jadi, bacalah buku, tenggelamlah dalam buku, dan akal serta hati kita akan menjadi tahu dan mengerti apa dan bagaimana sebenarnya dunia yang kita tempati ini.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds