Sebelum membahas monadologi GW Leibniz, kita perlu mengulas hakikat manusia. Tuhan menciptakan manusia dengan potensi akal dapat mengetahui kebenaran. Melalui bimbingan wahyu, kebermaknaan hidup menjadi terarah dan mempunyai implikasi terhadap kehidupan secara menyeluruh. Proses menuju pada titik kebenaran dalam diri manusia mempunyai sifat dan karakteristiknya tersendiri dibandingkan dengan makhluk lain, sebut saja pada aspek berpikir dan memperhatikan lingkungan sekitar.
Menariknya, lingkungan atau bahasa agamanya ayat kauniyah, tersebar luas di segenap penjuru dunia, menembus luar angkasa. Keteraturan antar entitas lingkungan sungguh menakjubkan, sebagaimana keseimbangan dan keterpaduan entitas yang ada. Pertanyaannya, bagaimanakah kita mengetahui keberadaan entitas, hubungan antar mereka serta apa tujuan dari kesemuanya ini, termasuk siapakah pengendalinya?
Aspek Kebenaran
Menurut pandangan filsafat rasionalisme, pendayagunaan akal sebagai bentuk pengembangan sumber daya manusia, dilakukan dengan cara melatih pola dan sistematika berpikir yang tersistematis, tujuannya untuk menghubungkan data dan fakta secara keseluruhan agar tercapai kesimpulan yang tepat (Suaedi 2016:14). Kerja akal demikianlah akan menuntut pada kebenaran sejati, kebenaran yang tidak akan bertentangan dalam satu waktu. Lebih jauh, manfaatnya akan terasa jika bersinggungan dengan kebenaran wahyu, Agama.
Meskipun terlahir banyak sudut pandang mengenai kebenaran akal –filsafat rasionalisme– dengan agama, setidaknya dalam perbedaan tersebut saling mengisi dan membangun khazanah kebenaran. Adakalanya diantara kedua term tersebut bersifat harmonis, bertentangan, dan cenderung moderat dalam mengambil antar kesepakatan bersama.
Jejak historis ilmuwan sebagai buktinya, seperti pujian yang dilontarkan oleh Imam al-Ghazali terhadap ilmu kedokteran, matematika, industri dan politik. Begitupun Imam Syafi’i menganggap ilmu kedokteran sebagai ilmu yang utama untuk dipelajari setelah ilmu fiqih.
Monadologi G.W. Leibniz
Gottrfied Wilhelm Leibniz, lahir pada tanggal 1 juli 1646, di Leipzig di Jerman, dan meninggal pada 1716 di usia senja sekitar 70 tahun. Di usianya yang masih muda, Ia sempat berkontak dengan pengikut Cartesian seperti Antonie Arnauld, Nicolas Malebranche dan Spinoza, yang sempat dikunjunginya saat di Belanda pada tahun 1675 (Rescher 1991:3–13). GW Leibniz memiliki minat dan kapasitas pengetahuan yang mencenangkan, yakni dalam bidang matematika, fisika, hukum, geologi, logika, teologi, sejarah, yurispudensi, politik, ekonomi, dan filsafat, namun dalam hal filsafat belum menuntaskan pembahasannya.
Lebih lanjut, GW Leibniz, adalah satu diantara para filsuf yang menjelaskan tentang eksistensi Tuhan, Teodicea. Untuk pembuktian entitas, GW Leibniz menguraikan lima argumen secara impliasit dalam karya-karyanya. Namun, di sini berpusat pada konsep monad dengan sudut pandang melalui bukti kosmologis dan keharmonisan yang telah dibangun sebelumnya (Yogiswari 2020:94).
Bukti kosmologis diawali dengan mengamati alam semesta, timbulah pertanyaan bahwa segala yang ada pasti memiliki penjelasan tentang eksistensi atau niscaya, dan niscaya itulah Tuhan, dan segala sesuatu yang ada, eksistensi serta mengada, pastilah disebabkan, dan penyebab itulah Tuhan. Sementara keharmonisan yang telah dibangun sebelumnya, mengartikan bahwa atribut keharmonisan monad berasal dari posteriori, niscaya, berupa tanda-tanda eksistensi Tuhan melalui pengamatan, atas dasar akses rasinonal, baginya, yang mengharmoniskan antar monad sebagai penyebab utama, adalah Tuhan itu sendiri (Yogiswari 2020:94–96).
Karya Tuhan, dengan penyebaran entitas monad diseluruh jagat raya, melalui keharmonisan diantara monad, adalah karya yang luar biasa.
Entitas sebagai Tajali Tuhan
Ayat kauniyah, sebagai bentuk pancaran eksistensi Tuhan, melalui penyebaran seluruh entitas di jagat raya, dapat dipahami dari pernyataan GW Leibniz, melalui diskursus surat-menyurat –kepada temannya– dan tulisan pendek berupa artikel,yang dikutip oleh Lioyd Strickland dari Leyroy Loemker, yakni:
… After leaving the trivial schools, I fell upon the moderns, and I remember at the age of fifteen taking a walk by myself in a grove on the outskirts of Leipzig, called the Rosental, in order to deliberate about whether I should retain substantial forms. Mechanism finally prevailed and led me to apply myself to mathematics. It is true that I did not enter into its depths until after I had conversed with Mr Huygens in Paris. But when I looked for the ultimate reasons for mechanism, and for the laws of motion themselves, I was very surprised to see that it was impossible to find them in mathematics, and that I should have to return to metaphysics. This is what led me back to entelechies, and from the material to the formal, and ultimately brought me to understand, after a number of corrections and improvements to my notions, that monads, or simple substances, are the only true substances, and that material things are only phenomena, albeit well-founded and well-connected.
GW Leibniz, sedang menjelaskan akan mekanisme dan gerak entitas itu tidak dapat ditemukan penjelasannya dalam matematika, hanya saja dapat dipahami pada metafisika. Hal demikianlah yang membawanya untuk kembali padaentelechies, dari materi ke formal, dan akhirnya membawa ia untuk dapat memahami mekanisme dan gerak entitas. Sejumlah koreksi dan perbaikan pada gagasan monad, atau substansi sederhana, adalah substansi atau entitas yang benar, dan bahwasannya benda-benda materi hanyalah fenomena, meski berasalan dan terhubung satu sama lain dengan baik.
Dengan kerendahan hati, G.W. Leibniz merespon permintaan Remond untuk mengklarifikasi monad, dan keinginan Fraguier untuk mensistematiskan filsafatnya, Ia menbalas dengan melayangkan surat berisi:
… And you know, Sir, that these sorts of consideratins require contemplation.
Puisi GW Leibniz: Tuhan sebagai Penulis Terhebat
Terakhir, puisi GW Leibniz, memberikan simbol Tuhan sebagai “penulis terhebat” yang menyebarkan sinarnya ke Bumi dan bintang, bintang menciptakan pikiran dan citranya, serta semua jiwa, melingkupi semua hal. Ia mengklaim bahwa hanya monad saja yang hidup, dan harmoni di antara mereka adalah kesaksian akan kemahakuasaan Tuhan. Dan, puisinya diakhiri bahwa Tuhan mengatur sedemikian rupa segala hal sehingga tindakannya membawa hukuman dan pahala bagi pelakunya (Leibniz dan Strickland 2014:7).
Benang merahnya, ketika merasionalkan alam semesta, dengan begitu banyak terdapat entitas yang ada dan hadir saling mengisi ruang, memunculkan kesan mendalam akan kehadiran Tuhan sebagai Sang Pencipta dan Pengendali. Jalan untuk menempuh pemahaman itu dapat dilakukan dengan berbagai variasi, satu diantaranya adalah pemahaman akan monadologi GW Leibniz.
Namun, dalam hal ini, perlu untuk waspada bagi siapapun dalam memahami monadologi, bagi pemula-awam. Tentunya, karya GW Leibniz adalah karya zaman yang jauh dari zaman kita. Sekarang ini, spesialisasi dan pembagian ilmu menghadirkan situasi intelektual –yang secara radikal– berbeda dari abad ketujuh belas, ketika sains dan filsafat adalah bagian dari satu kesatuan yang utuh, mencakup segala bidang disiplin ilmu. Jadi, setiap individu yang hendak mempelajari, memahami, serta mendalami monadologi, konsekuensinya harus ditelusuri sejak awal sampai akhir, bukan sekedar lingkup filosofis praktis.
Editor: Nabhan