Tajdida

Belajar Moderasi Beragama Melalui Peristiwa Isra’ Mi’raj

3 Mins read

Sebagai salah satu peristiwa penting dalam agama Islam, tak heran apabila setiap muslim di penjuru dunia selalu merayakannya dengan euforia semangat riang gembira, dan dengan cara yang berbeda-beda pula. Tak terkecuali di Indonesia.

Dalam kitab al-Ayah al-Kubra fi Syarh Qishshah al-Isra karangan Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Jalaluddin As-Suyuti menerangkan bahwa, peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Senin tanggal 27 Rajab, tepatnya 10 tahun dari periode diutusnya Nabi Muhammad Saw atau satu tahun sebelum hijrahnya Nabi.

Tentang Isra’ Mi’rajnya Nabi terdapat dua kubu yang saling sengketa sampai saat ini. Satu kubu meyakini perjalanan tersebut hanya dialami oleh ruh Nabi saja. Sedangkan yang satu meyakini baik ruhani maupun jasmani (ruhan wa jasadan) Nabi turut mengalami fenomena luar biasa tersebut. Namun yang masyhur dan mujma’ ‘alaihi (disepakati para ulama’) adalah pendapat kedua, atas dasar surat Al-Isra ayat pertama (QS. Al-Isra: 1).

Momen Isra’ Mi’raj boleh dibilang sebuah anugerah dan ujian. Anugerah bagi Nabi dan seluruh umat muslim di seluruh dunia karena mendapat perintah salat lima waktu.

Di mana, ibadah salat lima waktu adalah puncak kenikmatan spiritual tertinggi manusia saat berkomunikasi atau menghadap dengan Tuhannya (Allah). Terlebih lagi, dari redaksi-redaksi hadis, diketahui bahwa di akhirat kelak ibadah yang pertama kali dihisab adalah salat.

Tapi Isra’ Mi’raj juga bisa dikategorikan sebagai ujian, dalam artian keimanan umat Islam sedang diuji dengan fenomena luar biasa yang secara akal dan logika manusia pada umumnya sangatlah susah diterima.

Bagaimana tidak, untuk membayangkan seseorang manusia yang dengan singkat waktu hanya semalaman mampu berpindah tempat begitu jauhnya: dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestina) dan kemudian ke Sidratul Muntaha (langit tingkat 7), rasanya perlu keimanan yang teramat kuat sehingga bisa yakin dengan kuasa Allah itu.

Baca Juga  Isra' Mi'raj di Mata Sains

Rasionalisme dan Empirisme

Rasa isykal (menentang) yang muncul dalam benak seseorang tidak lain akibat dari naluri alamiah manusia yang cenderung rasionalisme dan empirisme. Tolak ukurnya yakni selalu yang bersifat materi atau apa-apa yang bisa ditangkap oleh panca indera saja. Maka untuk membayangkan sosok Nabi sebagai manusia mengalami kejadian seperti itu, sangat sulit untuk diterima.

Padahal seandainya, jika kita sampai tidak percaya pada peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi, barang tentu akan berpengaruh pada kenikmatan ibadah salat kita atau bahkan lebih jauh bisa berpengaruh terhadap rasa keyakinan dalam keberislaman kita. Karena Isra’ Mi’raj termasuk dari rentetan penerimaan perintah salat dari Allah.

Jika terdapat ketidakpercayaan terhadap prosesnya, maka tentu akan berpengaruh terhadap kemantapan hati saat melaksanakan salat. Atau bahkan secara tidak langsung timbul tuduhan bohong kepada Nabi karena sudah mengarang cerita. Tentu hal tersebut sangatlah tidak mungkin karena Nabi statusnya adalah makhluk mulia yang ma’shu>m (terjaga dari cela).

Di sinilah sisi keimanan umat Islam diuji. Di mana, satu sisi harus meyakini sesuatu yang materi, dan sisi lain juga harus mengakui adanya entitas imateri. Sehingga dengan begitu, peristiwa Isra Miraj akan bisa lebih mudah diterima dengan sepenuh hati tanpa ada rasa ragu (skeptic) yang bisa merusak kejernihan hati.

Wasathiyyah (Moderasi Beragama)

Keyakinan yang semacam itu akan berdampak baik. Menyelaraskan antara sesuatu yang fisik dan sesuatu yang non fisik adalah salah satu bentuk implementasi dari sikap Wasathiyyah (moderasi beragama).

Penjelasan terkait keharusan keseimbangan antar-keduanya pernah dikemukakan M. Quraish Shihab dalam Wasathiyyah: Wawawasan Islam tentang Moderasi Beragama (2019). Dalam karya itu, Pak Quraish memaparkan bahwa hakikat Wasathiyyah dalam aspek akidah Islam adalah mempertemukan dimensi gaib yang tidak terjangkau oleh akal dan panca indera dengan kenyataan yang dapat dijangkau oleh indra dan akal.

Baca Juga  Apakah Majelis Tarjih Lebih Hebat dari Imam Mazhab?

Dalam Islam sendiri, terdapat banyak anjuran untuk berkeseimbangan. Itu merupakan realitas yang tidak terbantahkan. Realitas normatif ini dapat dijumpai di banyak sumber teks suci, baik al-Qur’an (Al-Baqarah: 143) maupun hadis Nabi. Nabi misalnya menegaskan bahwa “sebaik-baik persoalan adalah yang tengah-tengah” (khayr al-umur awsatuha).

Sesuatu yang tidak seimbang dan berlebih-lebihan menurut Pak Quraish akan berdampak buruk: berawal dari tindakan fanatik, radikal yang nantinya akan berujung pada kutub ekstremitas dan berbuah kerusakan.

Melihat Isra’ Mi’raj Ditinjau dengan Kaca Mata Epistemologi Abid Al-Jabiri

Sebagaimana juga dalam pendekatan epistemologi Abid Al-Jabiri, sebuah pengetahuan haruslah menyintesiskan antara pengetahuan irfani, bayani, dan burhani. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Apabila terlalu irfani saja, maka dampaknya adalah mistisisme: hanya percaya pada sesuatu yang mistis dan intuisi, dan menafikan unsur pemaknaan teks nas kitab suci serta penggunaan rasio.

Apabila terlalu bayani saja, akan melahirkan individu yang ortodoks dan radikalisme. Hanya berpedoman pada kebenaran tekstual dan menafikan unsur intuisi dan logika. Sedangkan jika terlalu burhani saja, maka akan menjadikan individu yang sangat rasionalis dan empiris tanpa tersentuh unsur pemaknaan nas-nas teks kitab suci dan petunjuk illahi.

Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti yang dijelaskan dalam karya Kritik Nalar Arab Muhammad ‘Abid al-JabiriBayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non-fisik (furu’) kepada yang asal. Irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani kepada Tuhan dengan penyatuan universal. Sedangkan burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

Keseimbangan sangatlah penting dalam segi apapun, khususnya dalam beragama dan berpengetahuan. Dengan catatan, harus pula diimbangi dengan pengetahuan, kebijaksanaan dan kedewasaan yang mampu membendung adanya sikap-sikap yang bisa membuat kerusakan.

Baca Juga  Mengapa Muhammadiyah Tidak Bermadzhab?

Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita belajar dan menyadari bahwa dari peristiwa Isra’ Mi’raj saja, sudah menunjukkan akan keniscayaan moderasi beragama. Dengan begitu rasanya tidak berlebihan apabila menyebut program moderasi beragama adalah tindakan yang tepat dalam usaha untuk mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin fi kulli zaman wa makan. Insyaallah.

Editor: Yahya FR

Yoga Irama
4 posts

About author
Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds