Tajdida

Menggairahkan Gerakan Islam Pencerahan

3 Mins read

Islam berkemajuan bagi Muhammadiyah sebetulnya bukan hal yang baru, melainkan meneruskan perjuangan Kiai A. Dahlan di masa lalu. Dengan semangat mengambil kebaikan di masa lalu dan menciptakan yang terbaik di masa kini, hal itu masih relevan untuk keadaan saat ini. Tetapi, masih perlu merevitalisasinya dengan keadaan di masa sekarang.

Peran Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, filantropi, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, kini mulai kalah bersaing dengan gerakan lain. Padahal, kontribusi Muhammadiyah tidak terbatas pada masyarakat muslim, tetapi juga masyarakat non-muslim. Seperti terlihat pada adanya sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah di Papua dan Nusa Tenggara Timur.

Bersama Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah menjadi organisasi Islam terpenting di negeri ini dan menjadi representasi suara Islam moderat. Di tingkat global, barangkali tak ada organisasi Islam modern yang bisa menandingi amal usaha Muhammadiyah. (Mitsuo Nakamura, Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan, 2016)

Dulu, amal usaha Muhammadiyah menjadi pelopor dalam bidang pendidikan. Namun, kini sebagian dari lembaga pendidikan milik Muhammadiyah terlihat kalah bersaing dengan sekolah internasional, sekolah Islam terpadu, dan sekolah milik yayasan Salafi.

Dalam bidang filantropi, Muhammadiyah juga agak kalah lincah dan gesit dibandingkan organisasi baru, seperti Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Ummat. Rumah sakit Muhammadiyah juga tak berbeda dari rumah sakit pada umumnya yang dikelola dengan motif komersial dengan tarif tinggi (Mitsuo Nakamura, Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan, 2016).

Peran yang Perlu Direvitalisasi

Apa pun opsi peran politik Muhammadiyah di masa depan, yang utama adalah bahwa itu dijalankan atas tujuan dan kepentingan dakwah pencerahan Muhammadiyah, serta perwujudan cita-cita nasional, yakni Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat.

Muhammadiyah tetap pada misi sucinya, mencerahkan peradaban bangsa. Untuk itu, pendekatan politik Muhammadiyah adalah politik tinggi (high politics), yaitu politik adiluhung untuk mengalokasikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, keadaban, dan kemaslahatan, dari ranah hidup kemasyarakatan atau kebangsaan, baik dengan terlibat atau tidak terlibat dalam penyelenggaraan negara. Dengan politik adiluhung.

Baca Juga  Terima Kasih NU, Sebuah Catatan Ramadan

Muhammadiyah tetap pada jati dirinya sebagai gerakan dakwah pencerahan yang berorientasi kultural, dan mengembangkan kedekatan yang sama dengan semua partai politik. Orientasi politik Muhammadiyah bersifat rasional dan ad hoc, sangat tergantung kepada individu dan partai yang akan dipilih (Din Syamsudin, Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan, 2016).

Revitalisasi budaya, yang perlu dijaga adalah semangat mengembangkan pembaruan. Perlu terus merevitalisasi kebudayaan. Jangan takut mengadakan eksperimen besar dalam membangun kebudayaan dan peradaban.

Kreativitas, inovasi, etos ekonomi, dan persoalan urbanisme perlu terus dijaga oleh seluruh amal usaha dan warga Muhammadiyah (Fadjar Sutardi, Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan, 2016).

Yudi Latif (2015) mempertegas bahwa industrialisasi ekonomi tidak perlu ditakutkan. Tetapi, justru harus direbut oleh Muhammadiyah agar mekanisme redistributive justice beralih untuk amal saleh bagi bangsa kita yang terus tertinggal dengan bangsa lain.

Tantangan Muhammadiyah ke Depan

Tantangan ke depan mungkin yang perlu dilakukan Muhammadiyah untuk merevitalisasi indentitas gerakan pendidikan, filantropi, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, penulis sendiri tidak bisa banyak membantu karena bukan pengurus Muhammadiyah.

Kalaupun jadi pengurus, belum bisa untuk merevitalisasi indentitas dan gerakan Muhammadiyah. Mungkin ini hanya sebuah tulisan diagnosis di suatu daerah, dan dapat data dukungan dari tulisan Mitsuo Nakamura.

Namun, untuk bisa bangkit kembali, perlu langkah sistematis dari pengurus Muhammadiyah sendiri, kesadaran warga Muhammadiyah, dan barangkali dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah ataupun kelompok masyarakat yang lain.

Mungkin bisa dimulai lagi, merumuskan kembali teologi al-Ma’un yang selama ini menjadi prinsip gerakan Muhammadiyah untuk membantu masyarakat kurang mampu.

Dalam tulisannya, Mitsuo Nakamura memberikan semacam resep. Semangat ”kembali ke Al-Qur’an dan Sunah” dan semboyan amar ma’ruf nahi mungkar yang menjadi ruh reformasi keagamaan di Muhammadiyah juga perlu mendapat reformulasi pada dimensi epistemologi ataupun proyek kegiatan yang konkret.

Baca Juga  Saat 60 Anggota PKI Bergabung Muhammadiyah Madiun

Cita-citanya yang dituntut  ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dan ”peradaban unggul”  juga perlu dioperasionalisasikan dengan ukuran empiris. Dan, khususnya dalam lingkungan plural, konsep fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) juga mungkin perlu mendapat suntikan lagi dengan darah baru.

Selain itu, perlu diperluas tak sekadar kompetisi sesama warga Muhammadiyah, tetapi juga kompetisi dan kerja sama dengan masyarakat beragama lain. Sebagai sesama manusia yang hidup berdampingan dalam global village pada dunia kekinian(Mitsuo Nakamura, Indentitas Muhammadiyah, 2012).

Revitalisasi Ideologi Muhammadiyah

Tidak hanya masalah amal usaha saja, bahkan ideologi Muhammadiyah juga mulai kalah saing dengan gerakan Transnasional. Hal itu karena mulai menjamurnya organisasi Islam setelah lengsernya Orde Baru. Bahkan menurut Mitsuo Nakamura, NU sekarang lebih dinamis dan reformis.

Tidak hanya itu, bertumbuhnya ideologi lain di internal warga Muhammadiyah. Di organisasi juga terjadi konflik di antara tiga kubu. Kelompok Salafi yang cenderung skriptualis dan konservatif, kelompok moderat yang memadukan puritanisme dan modernisme, serta kelompok liberal yang menganggap Muhammadiyah terlalu kaku dan menghargai keimanan individu.

Banyak penulis Muhammadiyah juga mengkategorikan Muhammadiyah dengan istilah ideologi lain, Seperti MUFI, MUSA, MURSAL dll.

Hal ini, saya kira, karena posisi Muhammadiyah yang memang bersikap tengahan. Karena khair al-umur awsatuha (sebaik-baik urusan ialah yang bersifat tengahan). Prof. Haedar Nashir dalam bukunya Memahami Ideologi Muhammadiyah, 2016, menulis, “Mungkin bagi yang terbiasa di kanan atau di kiri, posisi di tengah itu dinilai tidak jelas, padahal jelas yakni berposisi di tengah.”

Editor: Lely N

Avatar
13 posts

About author
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Nusantara Bekasi | Warga Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *