Inspiring

Kiai Usman, Pendekar dan Wakil Ketua Muhammadiyah Pertama di Surabaya

2 Mins read

SURABAYA – Masjid Sholeh itu masih berdiri kokoh. Meski baru dilakukan pemugaran, bentuk dan arsitekturnya terjaga. Guratan-guratan bangunannya menyimpan kebesaran pendirinya: Kiai Usman.

Bagi kalangan Muhammadiyah, nama Kiai Usman sangat familiar. Sepak terjangnya sangat diperhitungkan. Beliau merupakan wakil ketua Muhammadiyah pertama di Surabaya, mendampingi Kiai Haji Mas Mansur yang menjadi ketua.

Hidupnya ia abdikan di persyarikatan. Keluarganya, anaknya, menantunya, semua diarahkan untuk menjadi aktivis Muhammadiyah. Tetangganya, para pemuda sekitar masjid Sholeh pun ia didik untuk memperkuat agama, Muhammadiyah, dan negara.

Menurut cerita Hari Mukti (77), kakeknya, Kiai Usman menikah dengan Na’Ma, salah satu perempuan yang ikut memprakarsai Aisyah di Surabaya. Dalam menjalin kehidupan rumah tangga, mereka berdua dikaruniai dua anak: Ali Toha dan Dewi Aisyah. Kelak Dewi Aisyah menikah dengan Mat Yasin Wisatmo, aktivis Muhammadiyah yang ikut berjuang dalam melawan Belanda pada 10 November 1945.

Kiai Usman dikenal sebagai pribadi yang bersahaja, namun tegas. Ia sangat tegas dalam menegakkan kebaikan, inisiator gerakan ma’ruf, dan selalu baik antar sesama.

Masa Remaja Kiai Usman

Kiai Usman lahir di desa Perning, Mojokerto, pada tahun 1873. Bersama keluarga dan saudaranya, ia habiskan masa kecilnya di Bumi Majapahit tersebut hingga masa remaja.

Saat remaja, beliau berpindah ke Surabaya. Belum ditemukan bukti kuat umur berapa Kiai Usman berpindah. Hal yang pasti, masa remaja beliau berpindah ke Surabaya untuk bekerja dan mengikuti saudaranya yang sudah lebih dahulu berpindah ke kota Pahlawan.

Di Surabaya, dan saat itu Indonesia masih dijajah Belanda, Kiai Usman berprofesi sebagai penjahit konveksi. Mendirikan perusahaan pakaian bagi para tentara Belanda dan para karyawan-karyawan perusahaan.

Baca Juga  Muhammadiyah Milik Semua

Beliau menggarap pekerjaan konveksinya itu dengan beberapa karyawannya di rumahnya sendiri: gang 1 Peneleh, Kali Asin, Surabaya.

Jalan Pengabdian di Muhammadiyah

Kedatangan KH. Dahlan yang kedua di Surabaya, membuahkan hasil besar: berdirinya Muhammadiyah Cabang Surabaya pada tanggal 1 November 1921. Kiai Haji Mas Mansur sebagai ketua dan Kiai Usman sebagai wakil, dibantu pendiri-pendiri lainnya.

Setelah Muhammadiyah berdiri, Kiai Usman semakin fokus dalam berjuang di Muhammadiyah. Selain profesinya sebagai penjahit, Kiai Usman juga turun tangan mendidik murid dan pemuda di masjid Sholeh, yang satu tahun kemudian, tepatnya pada 1922, ia dirikan bersama tetangga masjid lainnya. Lokasinya di gang sempit Kaliasin VIII/9 RT 14 RW 11 Kedungdoro, Kec. Tegalsari Surabaya.

Tahun 1922 Masjid Sholeh diresmikan oleh KH Syuja’, utusan KH Ahmad Dahlan mewakili Hoofdbestuur Muhammadiyah. Itulah masjid pertama milik Muhammadiyah di Surabaya. Dari sinilah dakwah persyarikatan menyebar.

Selama tahun-tahun perjuangan dan Indonesia di bawah bayang-bayang Belanda, Kiai Usman banyak melatih bela diri para pemuda untuk nantinya melawan Belanda.

Saat itu, di daerah Kaliasin tidak ada yang mengerti Muhammadiyah. Baru setelah dakwah Kiai Usman melalui pendekatan belajar agama dan belajar bela diri, banyak yang kemudian “kesemsem” dengan Muhammadiyah.

Kiai Usman mengisi masjid itu dengan membuka sekolah rakyat untuk anak-anak kampung. Juga menggelar pengajian, mengajar ngaji, dan melatih silat anak-anak Kaliasin. Dia memang pendekar silat.

Karena Silat, Dianggap Orang Sakti

Karena jadi guru silat, kata Hari, kakeknya dianggap orang sakti. ”Suatu hari ada pemuda Masjid Sholeh diserang oleh seseorang yang tidak dikenal. Akibatnya opname di rumah sakit,” ceritanya.

Jamaah masjid marah, ingin mencari dan membalas perlakuan itu. Namun Kiai Usman melarang. Jamaah diajak shalat tahajud dan berdoa meminta agar penyerang disadarkan.

Baca Juga  Pendidikan Inklusif: Strategi Wujudkan Manusia Adalah Sama

”Tak berapa lama, datang seseorang di antar keluarganya ke rumah Kiai Usman. Orang itu meminta maaf karena dia kesakitan di sekujur tubuhnya. Dia mengaku telah menyerang pemuda masjid,” tuturnya.

Sayang, Kiai Usman belum menyampaikan kemerdekaan Indonesia. Di usianya yang ke-65, beliau dipanggil Allah Swt. Ia meninggal pada tahun 1938.

Namun, meski ia belum merasakan kemerdekaan bersama pejuang lainnya, ia sudah menikmati kebahagiaan. Sebab anak didik setelahnya, banyak yang berjuang membela agama, Muhammadiyah, dan negara.

Sumber: Wawancara dengan Hari Mukti, Aktivis Muhammadiyah sekaligus cucu dari Kiai Usman

Editor: Zahra

Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *