Tajdida

Menyalakan Pelita di Tengah Kutukan Kegelapan: Refleksi 17 Tahun JIMM

6 Mins read

PADA 6-7 Maret 2020 lalu, Universitas Muhammadiyah Malang menyelenggarakan “Kolokium Nasional Interdisipliner Cendekiawan Muda Muhammadiyah.” Kegiatan ini sesungguhnya merupakan agenda rutin Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) sejak jaringan ini lahir pada tahun 2003. Jika diamati secara lebih dekat, dalam perjalanannya yang hampir tujuh belas tahun, terdapat hal-hal yang tetap dan berubah dalam jaringan ini. Hal yang tetap dan berubah itu, tentu terjadi karena zaman yang berubah memerlukan perubahan strategi dan pola gerakan.

Mata Rantai JIMM dan Patronase Intelektual

Hal yang tak berubah dari perjalanan jaringan ini adalah mata rantai dan patronase intelektual. Sebagai sebuah jaringan yang tumbuh dalam wilayah kultural Muhammadiyah, sesungguhnya JIMM tidak bisa disebut benar-benar terlepas dari sentuhan struktur. Pada saat Jaringan ini berdiri, kehadiran Buya Syafii Maarif dan Haedar Nashir, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, merupakan sebuah legitimasi kultural dan sekaligus struktural. Dalam perjalanan waktu, meskipun kehadiran Jaringan ini menuai kontroversi di ruang-ruang struktural dan kultural Muhammadiyah, sebenarnya terdapat tokoh-tokoh Muhammadiyah yang dengan caranya masing-masing menjadi patron intelektual dan memberikan dukungan kepada JIMM.

Selain Moeslim Abdurrahman yang memang menjadi Bapak Ideologis JIMM, tokoh-tokoh seperti Din Syamsuddin, Muhadjir Effendy, Amin Abdullah, Munir Mulkhan, Abdul Mu’ti, Marpuji Ali, dan Syafiq A Mughni, Biyanto di Jawa Timur, juga memberikan dukungan yang berarti. Muhadjir Effendy, semasa menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, maupun ketika kini sebagai pejabat negara, terus menunjukkan dukungannya. Menjelang akhir masa jabatannya di UMM, Muhadjir bahkan menyatakan dalam salah satu kegiatan JIMM, bahwa ia akan memberikan pesan khusus kepada penggantinya di UMM untuk terus merawat jaringan ini. Alasannya, dalam organisasi besar seperti Muhammadiyah, kehadiran kelompok pemikir mutlak diperlukan.

Setelah tongkat kepemimpinan UMM beralih, dukungan UMM kepada jaringan ini tetap sama. Terhitung telah dua kali kegiatan JIMM dengan sponsor UMM berlangsung pada masa pasca-kepemimpinan Muhadjir. Bahkan dalam satu kesempatan, Fauzan, Rektor UMM saat ini, menyatakan bahwa seharusnya kegiatan-kegiatan olah intelektual diselenggarakan lebih kerap lagi. Mengamini pernyataan Fauzan, Nazaruddin Malik, Wakil Rektor II UMM, bahkan secara eksplisit menyebutkan, UMM siap terus mendukung kegiatan semacam ini lebih dari sekali dalam setahun. Demikian pula Syamsul Arifin, Wakil Rektor I, memberikan dukungan moril yang sangat penting dalam berbagai analisis ilmiahnya. 

Selain UMM, beberapa PTM juga turut berperan dalam mendukung kegiatan untuk tetap menjaga mata rantai intelektual Muhammadiyah ini terus tersambung. Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dengan patronase Marpuji Ali dan Maarif Jamuin, memberikan fasilitas bagi kegiatan olah pikir kaum muda ini. Demikian pula Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), melalui tangan Hilman Latief, juga terlibat dalam kegiatan semacam ini.

Baca Juga  Haedar Nashir, Pelopor Moderasi Keindonesiaan

Din Syamsuddin memberikan dukungan, antara lain, dalam bentuk pemagangan intelektual bagi aktivis JIMM di berbagai kegiatan intelektual yang ia gagas, maupun dalam berbagai lembaga di mana Din berada. Sementara, dalam kapasitasnya sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir telah dua kali menghadiri kegiatan JIMM di Malang. Dalam kegiatan terakhir di Malang, Abdul Mu’ti, sekretaris umum PP Muhammadyah; dan Amin Abdullah, pemikir Muhammadiyah yang selalu menawarkan ragam pemikiran segar, turut hadir memberikan dukungan. 

Usai memaparkan pikiran-pikirannya, Amin Abdullah mendapatkan satu pertanyaan penting dari Budi Asyhari, seorang aktivis senior Jaringan ini. “Apakah Pak Amin bersedia menjadi mentor dan patron intelektual bagi JIMM?” demikian tanya Budi Asyhari. Memang secara faktual, sepeninggal Moeslim Abdurrahman, belum ada tokoh Muhammadiyah yang secara day-to-day menjadi mentor intelektual JIMM. Menanggapi pertanyaan itu, Amin Abdullah menjawab diplomatis. Bahwa dengan ia hadir dalam forum itu, sesungguhnya itu merupakan bukti bahwa ia bersedia menjadi mentor dan patron intelektual bagi JIMM. Jika tidak berkenan, kata Amin lebih lanjut, pastilah ia tidak akan hadir.

Kesadaran dan Orientasi Baru

Meskipun menuai kontroversi, minat kader muda Muhammadiyah terhadap komunitas pemikir seperti JIMM ini, ternyata tidak surut. Ini merupakan bukti, bahwa sesungguhnya dari waktu ke waktu, gerakan intelektual dalam JIMM sebenarnya mengalami dinamika yang menarik untuk diperhatikan. Secara lebih khusus, saya mengamati ada tiga perkembangan penting dalam gerakan JIMM belakangan ini.

Pertama, regenerasi intelektual. Diakui atau tidak, sentuhan tangan Moeslim Abdurrahman dalam mendidik secara langsung generasi awal JIMM, telah membuahkan hasil. Tentu keberhasilan generasi awal JIMM ini bukan semata-mata karena faktor JIMM dan Moeslim Abdurrahman. Tetapi doktrin ilmiah dan semangat yang disuntikkan oleh Moeslim Abdurrahman secara reguler kepada mereka memberikan satu kondisi bagi lahirnya iklim untuk terus maju. Selain itu, tantangan Moeslim telah melahirkan kompetisi internal di kalangan generasi awal JIMM. Maka, kini kita menyaksikan nama-nama generasi awal JIMM itu telah mengalami kemapanan intelektual dan struktural. 

Misalnya, Zakiyuddin Baidhawi dan Hilman Latief, tak hanya telah berhasil meraih gelar tertinggi dalam dunia akademik sebagai guru besar, tetapi juga memegang posisi akademik penting di lembaganya masing-masing. Demikian juga Zuly Qodir di UMY, Anjar Nugroho di UM Purwokerto, Said Ramadhan di UHAMKA, Hilaly Basya di UMJ, dan Muthoharun Jinan di UM Surakarta. Ahmad Najib Burhani, Alpha Amirrachman, Muthoharun Jinan, Tuti Alawiyah, dan Ai Fatimah Nurfuad, berhasil meraih gelar doktor dari universitas-universitas terkemuka di dunia. Sementara Ahmad Fuad Fanani dan Andar Nubowo, tengah berjuang di Australia dan Perancis untuk meraih gelar doktornya masing-masing.

Baca Juga  Integrasi Islam dan Ilmu di Era Revolusi 4.0

Sambil terus menekuni dunia intelektual dan aktivisme, Abd. Rohim Ghazali, Fajar Riza ul Haq, David Krisna Alka, dan Moh. Shofan, juga merambah perjuangan lewat jalur politik; atau Hilmi Faiq yang menekuni bidang media dengan menjadi jurnalis di sebuah media terkemuka di tanah air. Tak juga kalah penting adalah Piet Hizbullah Khaidlir, yang kini berkhidmat di sebuah pesantren di Lamongan, Jawa Timur.

Dalam satu perbincangan, Fajar Riza ul Haq menyentakkan kesadaran saya akan tanggung jawab kaderisasi ini. Ia menyatakan bahwa generasi pertama JIMM yang dibimbing langsung oleh Kang Moeslim, memikul tanggung jawab untuk melanjutan kaderisasi intelektual kepada mereka yang lebih muda. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, kaderisasi dan regenerasi intelektual di JIMM memang telah berlangsung.

Maka setelah nama-nama generasi awal itu mapan dalam kiprahnya masing-masing, nama-nama yang lebih muda juga bermunculan. Misalnya, Ilham Mundzir, Nazhori Author, Subhan Setowara, Azaki Khoirudin, Hasnan Bachtiar, Nafi’ Muthohirin, Ilham Bustiyanto, Yana Syafri, Wahyudi Akmaliah, Yulianti Muthmainnah, dan Fahmi Syahirul. Ini merupakan bukti bahwa perkaderan intelektual kultural JIMM berjalan dan menuai hasil. 

Kedua, JIMM berusaha mempersempit jarak dan menghapus dikhotomi dengan organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah. Terdapat kesadaran baru bahwa JIMM tidak hanya bertumpu kepada ketersediaan kader dari berbagai ortom Muhammadiyah, tetapi juga harus membaur dan menciptakan kerjasama yang selaras dengan berbagai ortom. Ini bukan hanya untuk menepis anggapan eksklusivisme intelektual yang dalam konteks tertentu sering dilekatkan kepada JIMM, tetapi juga berkaitan dengan strategi diseminasi kader dan diversifikasi potensi kader Muhammadiyah.

Atas kesadaran itu, tidak seperti sebelumnya, Kolokium Nasional di UMM yang baru saja berlangsung itu, juga menghadirkan tiga ketua organisasi otonom Muhammadiyah tingkat pusat, yaitu Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah (Sunanto), Ketua Umum PP Nasyiatul ‘Aisyiyah (Diyah Puspitarini), dan Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Najih Prastiyo). Lebih dari itu, peserta-peserta dari ortom tingkat daerah juga dihadirkan.

Ketiga, mengambil langkah nyata untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah. Kritik paling keras dan sering yang ditujukan kepada kalangan intelektual adalah bahwa mereka lebih banyak berbicara pada ranah abstrak dan tak membumi. Dalam konteks ini, saya ingin mengambil analogi dari cara Hajriyanto Y Thohari menggambarkan transformasi politik Amien Rais dari highpolitics ke politik praktis.

Baca Juga  Literasi Khutbah Jumat: Agar Tidak Membosankan dan Temanya Itu-itu Saja

Publik mafhum, bahwa Amien Rais adalah pencetus gagasan highpolitics atau politik adiluhung. Yakni berpolitik pada level nilai dan bukan pada tingkat perebutan kuasa atau menduduki jabatan-jabatan tertentu. Maka ketika Amien Rais mendirikan partai politik dan memimpinnya. Bahkan menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, banyak pihak mempertanyakan politik adiluhung Amien Rais. Namun, Hajriyanto Thohari punya jawaban jitu. Ia menyatakan Amien Rais tetap menjalankan highpolitics, tetapi highpoliticsberkaki.

JIMM: Intelektualisme Berkaki

Dengan analogi ini, saya ingin menyatakan bahwa lambat laun, JIMM sebenarnya tengah mempraktikkan intelektualisme berkaki. Moeslim Abdurrahman menyebutnya dengan intelektualisme yang memihak. Apakah bukti kaki-kaki intelektualisme JIMM itu? Kaki intelektualisme JIMM itu sebenarnya bersumber dari pilihan sikap: “daripada terus-menerus mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan pelita.” Betapapun terang cahaya yang dihasilkan pelita sangat terbatas, tetapi itu jauh lebih baik dibandingkan membiarkan kegelapan terus berlangsung. Maka di tengah aneka problem keumatan, JIMM berusaha menurunkan refleksi intelektual itu pada ranah praktis. Terus-menerus melempar retorika, apalagi yang disertai makian, tak akan memberikan kontribusi apa-apa, selain kebisingan.

Tak banyak yang mengetahui bahwa JIMM di Yogyakarta, kurang lebih dua belas tahun ini terlibat dalam pendidikan bagi kalangan masyarakat marginal di Gunungkidul. Melalui Padepokan SumbuPanguripan, mereka berusaha memberikan akses pendidikan dan literasi. Demikian pula, pada saat tantangan dunia digital juga dihadapi Muhammadiyah, dan sinyalemen ketertinggalan Muhammadiyah dalam bidang dakwah digital menggaung di mana-mana, sekelompok aktivis JIMM dengan inisiatif Muarif dan Azaki Khoirudin segera mendirikan sebuah portal yang terbukti mampu menjadi saluran alternatif bagi kreativitas kader muda Muhammadiyah yakni ibtimes.id. 

Demikian pula di Malang, sejumlah aktivis JIMM menggagas saluran dakwah digital yang menawarkan Islam yang bercorak terbuka, rasional dan toleran (channel youtube “islamaktual”). Bahkan mereka mendirikan gazebo sebagai pusat pembelajaran bagi kalangan masyarakat terpinggirkan dan dakwah komunitas. Meskipun suara sinis kerap ditujukan kepada mereka (misalnya, kaum intelektual kok ngajar ngaji dan ngurus TPA), tetapi pilihan itu tetap dijalankan.

Sekali lagi, inilah orientasi baru gerakan JIMM, yakni menggabungkan intelektualisme dan aktivisme, atau intelektualisme berkaki (meminjam istilah Hajriyanto). Karena JIMM bersifat notorious (terkenal karena hal yang kurang baik), maka apapun yang lahir dari JIMM tidak pernah sepi kritik. Namun, sama-sama menuai kritik, dikritik karena berbuat sesuatu jauh lebih mulia, ketimbang dikritik karena tidak melakukan apa-apa.

Avatar
37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *