Fatwa

Hukum Memelihara Anjing Menurut Muhammadiyah

2 Mins read

IBTimes.ID – Kendati tidak berkiblat pada satu mazhab secara khusus, Muhammadiyah tetap memiliki manhaj (lajur beragama) yang disusun secara hati-hati, musyawarah dan teliti oleh para ulamanya melalui Majelis Tarjih dan Tajdid.

Oleh karena perbedaan kaidah dan metodologi penetapan hukum (istinbath) syari’at dan fikih, Muhammadiyah adakalanya pada sebagian urusan keagamaan berbeda dengan mayoritas umat Islam di Indonesia yang bermazhab Syafi’i.

Termasuk soal masalah hukum memelihara Anjing, Muhammadiyah kerapkali lebih longgar dan berbeda dengan mayoritas penganut mazhab Syafi’I yang ketat perkara najis dan anjing.

Dalam buku Resolusi Konflik Islam Indonesia (2007) misalnya, Thoha Hamim menyebut bahwa Muhammadiyah memandang anjing bukan golongan khinzir karena itu tidak mengandung najis mughalladzah, sedangkan NU berkebalikan.

Soetjipto Wirosardjono dalam Agama dan Pluralitas Bangsa (1991) bahkan menyebut kedekatan Muhammadiyah dengan mazhab Maliki menyebabkan orang Muhammadiyah yang sudah terdidik tinggi biasanya bisa mentolerir orang yang memelihara anjing.

Tak jarang, mubaligh Muhammadiyah tercatat beberapa kali bersilang pendapat secara keras dan tajam dengan mubaligh Syafi’iyah terkait masalah anjing, sebagaimana direkam oleh Nur Syam dalam Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal.

Maka tak heran jika kerap ditemukan tokoh Muhammadiyah selaku muslim taat tapi memelihara anjing seperti Kiai Mas Mansur, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (periode 1937-1943).

Kiai Mas Mansur Memelihara Anjing

Darul Aqsha dalam Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan Dan Pemikiran (2005) mencatat kisah menarik terkait murid langsung Kiai Kholil Bangkalan sekaligus murid Kiai Ahmad Dahlan ini yang memelihara anjing betina jenis Keeshond hadiah dari pemilik restoran Molenkamp langganan Sukarno di Pasar Baru, Jakarta.

Anjing Keeshond adalah ras anjing berukuran sedang dan termasuk golongan yang memiliki bulu panjang dan lebat, terutama pada bagian leher. Keputusan menerima dan memeliharanya tak ayal dipertanyakan oleh banyak tokoh agama.

Baca Juga  Meluruskan Bacaan Takbir Hari Raya: Bukan Walilla-Ilhamd tapi Walillahilhamd

Menurut Aqsha, Kiai Mas Mansur menjawab bahwa anjing adalah binatang mulia yang menemani ashabul kahfi lari dari kejaran raja zalim. Dia juga bertanya kembali bahwa di Mekkah juga banyak anjing berkeliaran sehingga tak boleh asal menghukumi secara sepihak.

Salah satu pendiri Nahdlatul Ulama KH Abdul Wahab Hasbullah pun sempat kelimpungan dan melompat ketika bertamu ke rumah Kiai Mas Mansur, anjing Keeshond itu sengaja dilepas oleh anak Kiai Mas Mansur yakni Ibrahim.

Di kemudian hari, ketika hendak melahirkan, anjing yang biasa tidur bersama Ibrahim itu dihadiahkan kepada dr. Soeharto, staf Mas Mansur di Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang kemudian menjadi dokter pribadi Soekarno.

Hukum Memelihara Anjing Menurut Muhammmadiyah

Jamak diketahui bahwa kendati satu dua tokoh Muhammadiyah memelihara anjing, fakta itu hanya mampu menjadi khazanah. Bukan sumber hukum itu sendiri.

Apalagi, dalam memutuskan hukum, Majelis Tarjih menggunakan sistem ijtihad jama’iy, yang mana pendapat perorangan dari anggota majelis, tidak dapat dipandang kuat dibanding pendapat organisasi.

Dari laman www.fatwatarjih.or.id mengenai hukum memelihara Anjing, Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa anjing boleh digunakan dalam kebutuhan penting dengan konteks manfaat seperti menjaga lahan pertanian, menggembalakan hewan ataupun berburu.

Larangan Aniaya Pada Anjing

Dalam perkembangan kontemporer, anjing boleh digunakan untuk menjaga rumah atau menjadi hewan pelacak. Oleh karena itu, agama Islam cenderung melarang memelihara anjing di luar kepentingan itu. Jika pun memelihara untuk menjaga rumah, anjing harus diperhatikan kebersihannya agar tidak memberi bekas najis pada barang-barang di dalam dan sekitar rumah.

Akan tetapi, kenajisan anjing tidak lantas membenarkan seorang muslim berlaku zalim dan aniaya. Dalam kaidah yang lebih umum, dengan mengacu pada sumber-sumber muktabar, Majelis Tarjih mencatat Islam melarang manusia menyakiti binatang, menyiksa, atau bahkan sekadar menelantarkannya.

Baca Juga  Batas-Batas Kesenian dalam Islam

Islam mengajarkan bahwa berbuat baik dan lemah lembut harus dilakukan kepada siapa saja, termasuk kepada binatang seperti anjing dengan batas-batas interaksi yang dipedomani oleh fikih dan syari’at.

Selengkapnya baca disini

Avatar
1447 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Fatwa

Meluruskan Bacaan Takbir Hari Raya: Bukan Walilla-Ilhamd tapi Walillahilhamd

1 Mins read
IBTimes.ID – Membaca takbir ketika hari raya merupakan salah satu sunnah atau anjuran yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Anjuran tersebut termaktub di…
Fatwa

Menggibahi Orang Lain di Group WhatsApp, Bolehkah?

2 Mins read
Di era banjirnya informasi yang tak dapat terbendungkan, segala aktivitas manusia nampaknya bisa dilacak dan diketahui dari berbagai media sosial yang ada….
Fatwa

Fatwa Muhammadiyah tentang Tarekat Shiddiqiyyah

4 Mins read
IBTimes.ID – Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, tarekat adalah jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, keadaan dan atau tiang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds