Falsafah

Pendekatan Filosofis dalam Kajian Agama

6 Mins read

Agama adalah bagian dari kehidupan manusia, baik manusia itu sebagai individu, maupun masyarakat. Oleh sebab itu, maka agama juga menjadi salah satu objek kajian dalam lingkungan perguruan tinggi. Bahkan, untuk melanjutkan kehidupan agama di tengah-tengah manusia, perguruan tinggi turut berperan dalam mendidik calon-calon guru agama.

Disebabkan posisinya sebagai objek kajian, maka agama juga harus berhadapan dengan alat-alat bedah di lingkungan perguruan tinggi. Alat bedah ini hanya kata kiasan saja. Maksudnya adalah metode dan pendekatan ilmiah. Salah satu pendekatan yang ada adalah pendekatan filosofis.

Reza Aslan dalam God: A Human History (2015) menyatakan bahwa; karena lebih sering dikaitkan dengan keyakinan subyektif masing-masing pemeluknya, agama tidak mudah untuk diteliti, sebagaimana meneliti, misalnya, anatomi tubuh manusia, proses fotosintesis, atau pemikiran politik dan ekonomi.

Sementara itu, Karen Armstrong dalam A History of God: The 4000-Year Quest of Judaism, Christian, and Islam (1993) menekankan ciri agama yang juga kental dengan klaim kebenaran dalam dirinya sendiri. Sehingga, seringkali penelitian terhadapnya dikhawatirkan akan merusak status benar dan sakral dari agama.

Agama Ditinjau dari Berbagai Aspeknya

Meskipun demikian, sepanjang sejarah, selalu saja ada orang yang akan mempertanyakan agama, atau beberapa aspek darinya. Al-Jabiri dalam syarahnya atas kitab Al-Kasyfu ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqa’id al-Millah (2019), menyatakan bahwa demikian itulah yang dilakukan para ulama dan ilmuwan pada masa-masa awal perkembangan Islam. Mereka meneliti Islam dari berbagai aspeknya.

Di Indonesia, salah satu ilmuwan besar Islam, Harun Nasution, membahas tema ini dalam karyanya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (2011). Misalnya, ulama atau ilmuwan Muslim dari kelompok ahli kalam, akan menelaah Islam (ajaran-ajarannya dalam Al-Quran dan hadits Nabi) dari sudut pandang atau aspek teologis. Mereka berusaha menjelaskan kebenaran Islam dengan menggunakan dalil-dalil rasional.

Selain itu ulama dari kelompok ahli filsafat juga melakukan studi terhadap ajaran-ajaran Islam. Tapi, karena filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang cakupannya paling luas, maka, sebenarnya studi para filsuf ini terhadap Islam bukan satu-satunya perhatian mereka, seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi dalam salah satu magnum opus-nya, Ihsha’ al-‘Ulum (1995).

Para filsuf berbeda dengan ahli kalam, ahli fikih, ahli tafsir, dan ahli hadits. Mereka yang disebut belakangan ini hanya menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai satu-satunya objek studi, meski dengan dimensi dan sudut pandang yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, Nurcholish Madjid dalam Islam Doktrin dan Peradaban (1992), menjelaskan bahwa studi Islam sepanjang sejarah selalu bersinggungan dengan beragam pendekatan. Secara alamiah, ini pula yang menghasilkan multi-tafsir dan multi-interpretasi mengenai agama Islam itu sendiri.

***

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Barat. Di sana agama juga didekati dengan cara yang beragam. Terutama setelah masuknya pemikiran filsafat Yunani yang dipelajari dari filsuf Muslim, agama dan gereja di Barat mulai mendapatkan tantangan. Dogma gereja yang bertahan ratusan tahun, yang menjaga status quo mereka sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem teokrasi, mulai menemui kritik dari filsafat. Jonathan Lyons menjelaskannya secara baik dalam The House of Wisdom: How the Arabs Transformed Western Civilization (2010).

Ini kemudian membuat beberapa tokoh mulai mengadopsi filsafat sebagai alat untuk menafsirkan agama. Filsafat digunakan bukan hanya untuk mengkritik keyakinan Bible, melainkan juga untuk membela keyakinannya. Saat itulah mulai muncul teolog-teolog Kristen garis depan seperti Thomas Aquinas.

Baca Juga  Menemukan Kebahagiaan Hakiki ala Socrates

Singkat cerita, seiring berkembangnya peradaban manusia, agama yang merupakan bagian penting baik dalam sistem pendidikan, politik, sosial, maupun ekonomi, tidak bisa luput untuk memperoleh kritik dan studi dari filsafat. Hal serupa terjadi di Indonesia. Bahkan, pandangan kritis dan mendalam atas agama, menyebabkan agama di Indonesia mampu membumi dan menjadi bagian penting kebudayaan dan kepribadian bangsa. Demikian pandangan Abdul Hadi W.M. dalam Cakrawala Budaya Islam (2016).

Sementara itu di Barat, tradisi perguruan tinggi di sana semakin memberikan ruang bebas bagi penelitian terhadap agama, kata John R. Hinnells dalam The Routledge Companion to the Study of Religion (2005). Penelitian mendalam terhadap agama tentu saja akan semakin menambah pengetahuan manusia, dan pengetahuan yang bertambah dipercaya akan mendorong kemajuan dalam hidup.

Lahirnya Filsafat Agama

Akhirnya agama pun ditelaah sedemikian rupa, salah satunya menggunakan pendekatan filosofis. Menurut Amsal Bakhtiar dalam Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (2009), pendekatan ini adalah penelitian atas agama dengan menggunakan cara pandang, paradigma, dan gambaran-dunia (weltanschauung) yang ada dalam tradisi filsafat; seperti kritis, radikal, bebas, dan menyeluruh.

Dalam tradisi perguruan tinggi dan intelektual di Barat, upaya memahami agama melalui pendekatan filsafat turut melahirkan disiplin filsafat agama. Filsafat agama adalah sebuah disiplin yang membahas agama dengan menggunakan filsafat (Hinnells, 2005).

Tapi, aspek agama yang dibahas tentu bukan seluruhnya, melainkan hal-hal yang bersifat esensial dalam agama, seperti ajaran tentang Tuhan, jiwa manusia, awal dan akhir alam semesta, serta kehidupan setelah mati. Disertasi Sir Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysics in Persia (1908) adalah contoh baik dari penelitian filosofis yang membahas ajaran esensial agama ini. Pada bagian ini kita akan membahas lebih jauh apa yang dimaksud dengan filsafat agama.

***

Filsafat adalah sebuah proses berpikir yang sistematis dan radikal. Sebagai ilmu, filsafat memiliki objek material dan formal. Bagi filsafat, objek materialnya adalah segala sesuatu yang ada (everything as existence). Segala yang ada ini berlaku bagi eksistensi material maupun immaterial. Yang material adalah alam fisik dan empiris, sedangkan yang immaterial adalah alam metafisik (Bakhtiar, 2009).

Baca Juga  Teori Psikoanalisis (1): Agama yang Penuh Libido

Sebagian filsuf membagi objek material filsafat dalam tiga bagian, yaitu: sesuatu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal bagi filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh (holistik), rasional, radikal, bebas, dan obyektif, tentang segala sesuatu yang ada, supaya manusia bisa memahami hakikat sesuatu tersebut (Bakhtiar, 2009).

Sebenarnya, agama bisa diperbandingkan dengan filsafat, karena keduanya memiliki sudut pandang yang agak berbeda. Jika filsafat adalah sebuah sistem pencarian kebenaran, maka agama adalah sistem kepercayaan yang sudah memiliki kebenarannya. Jika filsafat masih mencari-cari, maka agama (mengaku) sudah mencapai dan memiliki.

Sebagai sebuah sistem kepercayaan, agama mempercayai adanya Tuhan, dan manusia terhubung sedemikian rupa dengan sosok Tuhan tersebut. Pokok persoalan yang dibahas agama adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Aslan, 2015). Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya merupakan aspek metafisika. Sedangkan manusia sebagai makhluk dan bagian dari alam termasuk dalam kategori fisika (Al-Farabi, 1995).

Jika filsafat mengkaji agama, itu artinya filsafat membahas agama baik dari segi metafisik maupun fisiknya. Dalam perkembangan studi agama, titik tekan pendekatan filsafat atas agama lebih kepada aspek metafisik, sebab, aspek fisik akan lebih terang lagi diuraikan dalam disiplin-disiplin ilmu empiris seperti biologi, psikologi, sosiologi, dan antropologi.

Meski begitu, produk-produk hukum kitab suci juga bisa menjadi perhatian filsafat, seperti penelitian yang dilakukan Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi tentang hukum Islam, dalam karya besarnya, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu (1938).

Cara Filsafat Mendekati Agama

Pendekatan filosofis dapat diketahui dari objek formal filsafat terhadap agama. Mereka adalah: sudut pandang yang menyeluruh, rasional, objektif, bebas, dan radikal tentang pokok-pokok agama. Yang dimaksud dengan pendekatan menyeluruh adalah usaha menjelaskan pokok-pokok ajaran agama secara umum, tidak mengenai ajaran agama tertentu saja. Pendekatan menyeluruh juga berarti suatu proses untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang suatu masalah yang dibahas.

Agama tidak dibahas secara parsial dan terpilah-pilah, tetapi mencakup semua pemikiran dan ajaran. Pembahasan mengenai Tuhan misalnya, tidak saja dikemukakan pendapat yang mendukung adanya Tuhan, tetapi juga pendapat yang meragukannya dan bahkan juga yang menolaknya (Bakhtiar, 2009). Selain itu, Tuhan yang dibahas bukan hanya Tuhan dalam tradisi agama Yahudi, Kristen, dan Islam saja, melainkan dari semua agama (Armstrong, 1993).

Berikutnya, pendekatan objektif. Ia adalah pendekatan yang sesuai dengan realitas objektif, dengan meminimalkan subjektivitas pengamat. Ini adalah pendekatan yang sangat diperlukan dalam studi agama, karena pada dasarnya dimensi subjektivitas dalam agama sangatlah kuat. Belum lagi, karena secara empiris, banyak pengamat dalam studi agama adalah penganut salah satu agama.

Kendati sulit menafikan subjektivitas ini, tetap saja pembahasan filosofis atas agama perlu dilakukan dengan upaya objektivitas yang tinggi. Demikian pendapat Kim Knott dalam Inside, Outside and the Space in-between: Territories and Boundaries in the Study of Religion (2008).

Baca Juga  Spiritualitas Kemanusiaan: Menemui Tuhan yang Hilang

***

Selanjutnya, pendekatan bebas. Harun Nasution, dalam Falsafat Agama (1991) mengatakan bahwa pendekatan ini mengambil dua bentuk. Pertama, membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat pada ajaran-ajaran dan tanpa ada tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama.

Kedua, membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran ajaran-ajaran agama, atau sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidak bertentangan dengan logika. Dalam pembahasan semacam ini seseorang masih terikat pada ajaran agama.

Terakhir, pendekatan radikal. Ia merupakan pembahasan yang mendalam tentang sesuatu, dengan tujuan sampai ke akar dan hakikat objeknya. Misalnya, pembahasan tentang yang gaib, dikaji dari awal proses timbulnya kepercayaan itu dalam sejarah umat manusia, dan mengapa kepercayaan itu muncul; faktor-faktor apa yang membuat seseorang memeluk agama, dan apa juga yang membuat seseorang tidak beragama. Buku Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (2014) adalah contoh bagus untuk penelitian yang menggunakan pendekatan radikal ini.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa filsafat agama pada dasarnya adalah pembahasan yang mendalam tentang ajaran dasar agama. Ajaran dasar yang paling pokok adalah tentang Tuhan. Karena itu, Tuhan merupakan pembahasan paling penting dalam filsafat agama (Aslan, 2015).

Dalam filsafat agama, Tuhan dibahas tidak saja dari segi argumentasi yang mendukung eksistensinya, melainkan juga argumentasi sebaliknya. Dari para pendukung eksistensi Tuhan, muncul argumentasi seperti ontologis dan kosmologis. Sementara para penganut ateisme juga membawa argumentasi seperti materialisme dan positivisme (Bakhtiar, 2009).

***

Selain itu, masalah perjumpaan manusia dengan Tuhan atau eskatologi, juga dibahas dalam filsafat agama. Eskatologi merupakan bagian yang penting dalam sistem ajaran agama. Sebab, kepercayaan ini mendorong manusia untuk lebih erat menjalin hubungan dengan Tuhannya (Nasution, 1991).

Seandainya hari kebangkitan tidak ada, maka pertanggung jawaban dan perjumpaan dengan Tuhan pun tidak ada. Ini semua bisa jadi penyebab agama tidak dapat mengikat dan memikat manusia. Adanya hidup sesudah mati inilah yang menjadikan sistem nilai dalam sebuah agama menjadi hidup, merasuki pemeluknya, dan menjadi daya tarik bagi manusia lainnya (Harari, 2014).

Akhirulkalam, dengan status sebagai negara dengan masyarakat yang religius, dalam arti dekat dengan nilai-nilai agama, maka bangsa Indonesia perlu memahami agamanya secara lebih baik lagi. Salah satu caranya adalah menggunakan pendekatan filosofis seperti dijelaskan di atas. Jika Anda tanya, untuk apa; maka jawabannya adalah untuk membuat kita, sebagai manusia, tidak salah memahami agama, dan tidak salah menggunakan agama, baik dalam kehidupan privat maupun publik.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds