Tafsir

Tafsir Al-Insan 1-3: Manusia yang Tidak Penting

4 Mins read

Di kalangan intelektual, khususnya dalam konteks antropologi dan sosiologi, manusia sering disebut sebagai hewan yang berpikir. Hewan yang berpikir ini dikemukakan oleh Aristoteles (384 – 322 SM). Tidak hanya Aristoteles yang menyandarkan eksistensi manusia dengan hewan. Ada juga Ernst Haeckel (1834 – 1919) dan Friedrich Nietzsche (1844 – 1900).

Meskipun manusia itu disamakan dengan hewan, ia memiliki sebuah peran yang sangat penting dalam keserasian hidup yang ada di dunia. Manusia secara perlahan sadar bahwa ada kekuatan dalam dirinya. Oleh karena itu manusia terus menerus berikhtiar mencari keseimbangan antara dirinya dengan alam, bahkan dengan pencipta-Nya. Mereka menyadari ia hadir bukan sekedar fisik, namun juga rohani. Bukan juga sekedar tubuh, namun jiwa yang menghidupkan.

Dalam hal ini, Al-Qur’an memiliki perspektif yang berbeda perihal menjelaskan bahwa manusia bukanlah binatang. Sebab ia diberikan instrumen bahkan potensi untuk merespon alam. Sebagaiman firman Allah:

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”

QS. Al-Hajj: 46

Dari ayat tersebut Allah memberikan dua domain instrumen kepada manusia, yaitu yang berupa fisik seperti mata dan telinga. Adapun yang kedua yaitu hati yang mendayakan segenap intuisi.

Berawal Dari yang Tidak Penting

“Sudahkah datang kepada manusia, suatu waktu daripada masa, yang dia di waktu itu belum merupakan sesuatu yang jadi sebutan?”

QS. Al-Insan: 1

Konten ayat ini adalah pertanyaan. Namun pertanyaan disini meminta perhatian yang kuat. Beribu tahun hadirnya manusia di bumi menjadi persoalan. Diantara semua makhluk yang ada di bumi manusia adalah yang paling istimewa.

Baca Juga  Mencumbui Al-Qur’an Tak Cukup Hanya Dibaca

Dia dianugerahi akal, mempunyai gagasan atas kehendak yang dikerjakan serta ingatan dan kenangan. Tapi tahukah anda bahwasannya manusia menanggapi suatu zaman yang dimana kala itu manusia tidak penting sama sekali? Bahkan manusia belum berarti apa-apa.

Beberapa ahli tafsir, diantaranya Al-Qurtubhi dan termasuk Ar-Razi juga menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan manusia disini adalah Adam as. sendiri. Sufyan Tsauri dan Ikrimah dan As-Suddi, dikatakan bahwa “suatu waktu daripada masa” yang saat itu manusia belum menjadi sebutan sebagai makhluk, ia masih berwujud tanah yang terhampar belum bernyawa diantara Makkah dan Thaif. Kemudian tanah tersebut ditempa menjadi tanah liat yang kering. Hinggalah tiba dia ditiupkan pada dirinya roh.

“Belum merupakan sesuatu yang menjadi sebutan”, artinya menurut mereka tanah tersebut semata-mata hanyalah bertubuh dan berupa, tetapi masih tanah, tidak mempunyai nama dan tidak diingat, tidak ada yang mengetahui untuk apa kehadirannya dan hendak apa yang ia perbuat.

Menurut Yahya bin Salam mengatakan, “Tidak menjadi sebutan dan ingatan dalam kalangan makhluk-makhluk Allah, mesikupun sudah diketahui dan disebut disisi Allah sendiri”.

Makhluk Akhir yang Sombong

Sebagaimana terdapat dalam [QS. Al-Baqarah: 30], manusia baru diketahui di kalangan malaikat karena Tuhan hendak menghadirkan khalifah. Dan disebutkan pula Allah menawarkan kepada seluruh alam raya baik itu langit, bumi dan gunung-gunung. Semua merasa keberatan untuk memikul amanat khalifah, lalu dipikul oleh manusia. Dari sinilah awal munculnya sebutan manusia.

Kemudian Qatadah menafsirkan ayat awal tadi, “bahwa pada mulanya manusia belum mempunyai sebutan, karena diciptakannya manusia di kemudian hari. Yang lebih dahulu dijadikan ialah makhluk yang lain, bahkan binatang-binatang. Manusia diciptakan kemudian.”

Adapun tafsir kontemporer yang berkenaan dengan [QS. Al-Insan: 1] yaitu Sayid Quthub dalam tafsirnya yang tersohor “Fi Zhilalil Qur’an”. Ia menyinggung terkait dengan karakter manusia yang cenderung jumawa, padahal ia adalah makhluk baru di muka bumi dibanding dengan makhluk lainnya.

Baca Juga  Tafsir Al-Manar : Mengucap Hamdallah untuk Syukur atau Bangga?

Realitas memberikan hamparan yang maujud itu terbentang, namun kala itu manusia belum hadir. Lantas bagaimana keadaan alam masa itu? Manusia terkadang sombong dan terlalu menilai diri terlalu tinggi, ia diciptakan dari tanah dan makan pun dari hasil tanah. Toh kenapa ia masih bersifat langit? Manusia pun lupa bahwa alam ini seluruhnya telah ada juga sebelum manusia ada. Mungkin alam ini tak mengira akan muncul makhluk bernama manusia.

Pengujian Manusia

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.”

QS. Al-Insan: 2

Proses penciptaan manusia tidak hanya dijelaskan pada ayat diatas, namun keterangan ini juga terdapat pada ujung Surat Al-Qiyamah. Sehingga Surat Al-Qiyamah dengan sendirinya sambut bersambut dengan pangkal dari Surat Al-Insan, yang satu memperjelas yang lain perihal proses lahirnya manusia dari percampuran antara setetes mani dan induk telur.

“Lalu Kami uji dia”. Setelah meluncurnya tubuh dari perut ibu, maka ia sudah masuk ke tengah alam terbuka ini dia telah kena uji. Terbiasa dengan hidup yang tenang dan suhu yang teratur dalam Rahim ibu seketika berubah. Sejak masa kandungan itu lepas maka ia tidak lepas dari ujian. Kuatkah dia mengarungi hidup, dapatkah dia menyesuikan dengan alam sekeliling. Dian akan merasakan lapar, panas, haus, dingin.

“Maka Kami jadikanlah dia mendengar, lagi melihat.” Dia akan melalui ditengah dinamika alam yang kompleks. Namun Tuha memberikan kepadanya dua alat yang amat penting bagi menyambungkan hidup pribadinya. Maka mata dapat melihat dan mengkontakan pribadi terhadap sekeliling. Adapun telinga dapat membedakan mana suara yang dekat dan mana suara yang jauh.

Baca Juga  Khalifah Ali (9): Menata Ulang Pemerintahan

Berakhir Menjadi yang Penting

Disamping persediaan jasmani berupa pendengaran dan penglihatan, Allah juga memberikan petunjuk jalan sebagai pedoman hidup manusia. “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalannya.” [QS. Al-Insan: 3]. Dengan diberikannya pedoman hidup ini. Seketika manusia langsung dikenal dan berbeda dengan makhluk lainnya.

Binatang pun diberikkan instrumen kehidupan berupa pendengaran dan penglihatan sama hal nya dengan manusia. Namun binatang itu tidak ditunjuki jalan sebagaimana yang diberikan kepada manusia. Bilamana manusia telah mengembara di atas permukaan bumi, bila mendengar melihat alam sekeliling, mengagumkan dan penuh keindahan, mereka dipastikan akan sampai pada kesimpulan bahwa ada sesuatu pencipta dibalih mahligai ini.

Tetapi kasih Tuhan tidaklah hanya sampai pada pemberian wahyu saja. Tuhan sendiri memberikan bimbingan hidup itu dengan menurunkan wahyu serta mengutus Rasul-rasul untuk meperkenalkan adanya Allah Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu petunjuk Allah dapat dibagi atas. 1) naluri, 2) hasil pendengaran dan penglihatan, 3) hasil renungan dan 4) petunjuk Ilahi.

Maka keberadaan petunjuk yang keempat sudah mampu mencakup seluruh petunjuk yang diberikan Tuhan, sehingga makhluk yang tadinya tidak memilili sebutan dan tidak tahu apa tujuan kehadirannya.

Berkat kehadiran petunjuk tersebut telah terangkat martabatnya sangat tinggi, menjadi khalifah Allah di muka bumi, memikul amanat tanggungjawab yang tidak sanggup baik langit, ataupun bumi ataupun gunung-gunung yang memikulnya. Lalu manusia menampilkan bahunya mampu untuk menanggung beban tersebut.

Editor: Yusuf

12 posts

About author
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds