Antara Mengetahui dan Memahami
Yang perlu diketahui lebih dulu adalah perbedaan antara “mengetahui” dengan “memahami”. “mengetahui” di sini hanya sebatas tahu dan belum tentu mengerti, seperti orang yang memiliki banyak pengetahuan tapi belum tentu juga punya banyak pemahaman.
Sedang “memahami” lebih cenderung ke semacam kemampuan seseorang untuk merasakan semua yang dirasakan atau dialami oleh orang lain. Hemat penulis, “memahami“ memakai hati dan mengetahui dengan kepala.
“Memahami” juga baru populer dan bermula setelah bapak hermeneutik modern yakni Schleiermacher (1768-1834) memberikan jalan untuk membawa Hermeneutika dari sempit ruang kerjanya.
Seputar Hermeneutika
Hermeneutika sendiri pada awalnya hanya sebuah diskursus interpretasi atau penafisran teks-teks filologis dan kitab suci. Namun, cara pembacaan Hermeneutika klasik terhadap teks ini masih terkesan literalis atau tektstual. Sehingga, sangat berpengaruh dalam membentuk pemahaman kelompok ekstremis, fundamentalis, hingga corak pemikiran mereka yang cenderung radikalistis.
Namun, Hermeneutika modern telah merubah fokusnya setelah Schleiermacher mampu membawa Hermeneutika ke sebuah dialog antara penulis dengan penafsir. Hermeneutika milik Schleiermacher juga bisa dibilang lahir sebagai bentuk kritis dari para literalis.
Hermeneutika di sini tidak lagi sekedar sebuah aktivitas interpretasi kitab suci yang cenderung tekstual dan hanya bertujuan untuk menangkap sebuah “data” belaka, melainkan telah menjadi sebuah seni memahami dalam segala ungkapan (maksud penulis).
Tak berselang lama, Hermeneutika kemudian dikembangkan oleh William Dilthey (1833-1911) salah satu tokoh filsuf hermeneutik yang perlu kita ulas di sini. Konsep Hermeneutikanya pun sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat dari perjalanan hidupnya. Di mana, banyak sekali diwarnai oleh politik monarki dan industrialisasi besar-besaran.
Sehingga, ia memfokuskan Hermeneutikanya untuk memahami ungkapan bathiniyah dari manusia dan masyarakat sekaligus menjadi sebuah dasar dalam ilmu pengetahuan sosial-kemanusiaan (Budi Hardiman, Seni Memahami, 2015:97).
Hermeneutika yang Memproduksi Makna
Dan yang perlu digaris bawahi di sini adalah Hermeneutika milik Schleimacher ataupun Dilthey masih dalam upaya untuk memproduksi sebuah makna yang dimaksud oleh si penulis. Lain halnya dengan Martin Heidegger (1889-1976) yang bersikap lebih radikal dari kedua (Schleiermacher dan Dilthey) pendahulunya tersebut.
Di mana, ia tidak lagi membicarakan makna yang ada di balik sebuah teks, melainkan menjadikan eksistensi kita sendiri sebagai target utamanya. Dengan kata lain, cara kita bereksistensi sangat menentukan arah pemahaman kita.
Martin Heidegger Fenomenologi Masuk ke dalam Ranah Hermeneutika
Martin Heidegger menjadikan fenomenologi sebagai metode dari Hermeneutikanya, ia masuk ke dalam diskursus Hermeneutika dengan mengusung konsep dari ontologi yakni konsep “ada”.
“Ada” di sini dalam artian bukan sebuah yang tampak, melainkan sesuatu yang meliputi segala hal atau lebih tepatnya kita mengenalnya dengan sebutan “situasi”.
Demikianlah mengapa Heidegger lebih memilih memakai kata Dasein (ada di sana), mendunia, dan berada dalam dunia (Richard E Palmer, 1969:128).
“Ada di sana” dalam arti pertama, tempat kita sudah ditentukan dan tidak bisa dirubah, maka kita bisa dibilang unik. Yang kedua, keterlemparan kita ke dalamnya atau berada begitu saja, nama lainnya adalah sebuah takdir.
Pengalaman akan “berada begitu saja” inilah yang kemudian menjadi pusat Hermeneutikanya Heidiegger dengan istilah “Faktisitas (keterlemparan)”.
Martin Heidegger dan Hermeneutika Faktisitas
Di samping itu, Hermeneutika Heidegger juga akrab dikenal dengan Hermeneutika Faktisitas. Dikarenakan baginya “memahami” bukanlah aktivitas yang kognitif, melainkan suatu faktisitas (keterlemperan) manusia.
Di mana, manusia tidak bisa menolak hal yang demikian, Hermeneutika faktisitas sendiri bertujuan untuk menafsirkan “bagaimana manusia memahami dan bukan sekedar cara memahami melainkan sebagai cara manusia mengada. Dengan manusia mengada inilah sebagai bentuk wujud dia akan memahami.
Sepintas, Edmund Husserl mendeksripsikan fenomenologi sebagai sebuah upaya untuk mensketsakan hal-hal tersebut sebagaimana saat kita menghayati atau mengalaminya, sebelum hal-hal ini sendiri telah kita rumuskan dalam pikiran kita sendiri.
Di sini “hal-hal” itu dalam artian adalah bukanlah sebuah realitas yang telah lama dirumuskan oleh ilmu pengetahuan dan filsafat. Melainkan, realitas yang dihayati jauh sebelum ilmu pengetahuan dan filsafat mendeskripsikannya (Imalia Dewi Asih, Sebuah Cara Kemballi ke Fenomena, 2005).
Heidegger mengatakan dengan tegas bahwa antara fenomenologi dan Hermeneutika adalah sebuah satu kesautan, sebab bila fenomenologi adalah “yang menampakkan diri”.
Maka, ia juga termasuk aktivitas interpretasi. Dengan membuang semua hal yang telah dirumuskan oleh ilmu pengetahuan dan membiarkan “yang terlihat” dapat dilihat melalui diri kita sendiri dan cara dia memperlihatkan dirinya sendiri.
***
Dengan kata lain, kita memahami sebuah objek tanpa harus memaksakan kerangka pemikiran dan konsep-konsep kita ke dalamnya. Jika yang terlihat adalah “ada”, maka hal itu disebut ontologi, dengan demikian antara fenomenologi dan ontologi pun dua diskursus filsafat yang sangat dekat (Martin Heidegger, Being and Time, 2001: 55).
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan secara seksama bahwa yang dimaksud oleh Heidegger adalah kita memahami hal-hal sebagaimana ada mereka tanpa memasukkan konsep atau kerangka berpikir kita ke dalamnya. Dengan lebih dulu memahami keberadaan diri kita sendiri sebagai manusia yang bereksistenialis.
Contoh kecilnya seperti, sebagai orang Jawa haruslah memahami betul “kejawaan” diri kita sendiri, karena dikhawatirkan “kejawaan” ini nantinya akan terlibat dalam sebuah pemahaman yang menjadi pra-konsepsi (yang akan dipahami)’.