Perspektif

Keluarga dan Pendidikan Karakter di Kala Pandemi

4 Mins read

Dampak dari Pandemi Covid-19

Di kala pandemi, kita tidak bisa bepergian dengan mudah. Bahkan bisa disebut, kita berhenti bergerak. Sebagian wilayah, harus dikarantina. Itulah salah satu resep untuk meredam penyebaran virus Covid-19.

Karena tidak ada mobilisasi itulah, maka perekonomian lesu. Banyak bisnis mulai kelimpungan untuk mempertahankan diri. Mungkin dikecualikan untuk bisnis digital dan yang berhubungan dengan medis, yang justru sangat menguntungkan. 

Cukup melalui terhentinya mobilisasi dan perekonomian, maka hampir seluruh aspek kehidupan manusia di dunia, menjadi memprihatinkan. Tidak terkecuali untuk pendidikan. Karena diberlakukan “karantina wilayah” atau “pembatasan sosial”, maka para guru dan siswa tidak diperkenankan pergi ke sekolah.

Tidak ada sekolah, berarti untuk sementara waktu tidak ada pendidikan. Tentu bagi proses pembangunan kebudayaan sebuah generasi, terhambat satu atau dua tahun berarti stagnasi yang luar biasa.

Pendidikan yang Masih Berjalan Saat Covid-19

Kita beruntung di saat kegiatan “sekolah” secara fisik ditiadakan, kita masih bisa menyelenggarakan sekolah secara online. Kemajuan sains dan teknologi, telah mendorong berkembangnya instrumen digital (internet dan media online) yang memfasilitasi guru, murid dan proses belajar-mengajar meski di ruang yang berbeda (Google Meet, Zoom, dan lainnya), bahkan di waktu yang berbeda pula (Coursera, EDx, Moocat, LMS, Moodle, Canvas dan seterusnya). 

Pendidikan online ini tentu dianggap tidak sempurna. Memang ada yang kurang rasa-rasanya jika pertemuan antar-manusia tidak terjadi secara material. Ketiga guru tidak bertemu dengan murid secara langsung, ada banyak aspek di dalam pendidikan yang tereduksi.

Aspek psikologis dan perilaku terutama, tidak dapat diidentifikasi, dirasakan dan bahkan ditempa. Ngangsuh kaweruh, tidak bisa dilakukan secara utuh dan menyeluruh.

Secara konkret, pendidikan online memfasilitasi guru dan murid dengan gawai (gadget: android, laptop dan lainnya).  Antara gawai yang satu dengan yang lain, terhubungkan oleh jaringan internet.

Singkat cerita, seorang guru hanya berhadapan dengan layar gawainya dan seolah-olah berjumpa langsung dengan murid-muridnya yang juga sedang menatap layar gawainya masing-masing. Pertemuan yang eksistensial memang terjadi. Tetapi manusia yang direpresentasikan oleh “layar gawai” jelas bukanlah pertemuan yang sejati.

Baca Juga  LGBT Bakal Sulit Jadi HAM, Jika...

Dalam konteks yang demikian, segala hal yang berhubungan dengan “ekspresi hati” melalui aktivitas tertentu, tereduksi habis-habisan. Guru dan murid agaknya susah untuk saling berbagi mengenai welas asih, cinta dan senyuman yang material.

Tidak ada jabatan tangan, tepukan pundak, tepuk tangan yang meriah, bahkan hal-hal yang konyol seperti mengganggu teman, menguap keras, ruang kelas yang gaduh dan ribut, lemparan kapur tulis atau penghapus, sampai hukuman karena terlambat, saat ini menjadi hal yang begitu dirindukan.

Pertemuan tatap muka digantikan dengan tatap layar. Namun, tatap layar ini ada dua jenis. Pertama adalah “siaran langsung” (online streaming webinar). Sementara yang kedua, adalah sejenis learning management system atau disingkat LMS.

Seputar LMS

Apa yang disebutkan terakhir di atas adalah perangkat lunak yang memfasilitasi administrasi, dokumentasi, transfer pengetahuan dan segala fasilitas belajar mengajar tanpa harus ada siaran langsung. Kalau dalam siaran langsung kita bisa menyebutnya aktivitas “interaktif”, pada LMS termasuk pada aktivitas “interpasif”.

LMS disebut media belajar “interpasivitas” karena proses pendidikan terjeda bukan hanya oleh ruangan, namun juga waktu. Para guru atau murid hanya bertemu dengan “jejak digital” yang berupa bahan belajar atau rekaman video serta tugas-tugas tertentu.

Ketika guru membuat dan kemudian mengunggah bahan belajarnya pada jam 7:00 pagi, maka sejak jam itu pula bahan tersebut bisa diakses oleh para muridnya. Kecuali memang terdapat kesepakatan di antara para pihak, pada jam berapa saja bahan tersebut bisa diakes.

Tentu akses yang lebih leluasa, akan memberikan kesempatan (waktu) yang lebih besar pula bagi para murid yang sedang belajar. Mereka akan lebih terfokus dan keingintahuannya yang besar akan semakin terpupuk.

Kecintaan akan ilmu memang mesti difasilitasi dengan pemenuhan hak dan kebebasan untuk belajar yang lebih merdeka. Jadi, murid tidak diwajibkan untuk menyelesaikan pelajarannya dalam satu atau dua jam, tapi menyelesaikan dan bahkan mengembangkannya secara mandiri dalam beberapa hari.

Baca Juga  Unilever, LGBT, dan Tantangan Masyarakat Plural

Bagi murid yang punya passion tinggi pada matapelajaran tertentu, memerlukan waktu belajar dan menikmati passion-nya tersebut melampaui batas-batas yang ditentukan oleh guru, kurikulum dan kebijakan sekolah.

Namun sebaliknya, media belajar interpasivitas ini bisa jadi juga memberikan kemerdekaan yang sebesar-besarnya untuk siapa saja yang malas. Para murid bisa saja menyepelekan pelajaran yang ada dan menunda untuk mengerjakan apa yang harus dikerjakan sampai “deadline” yang ditentukan tiba.

“Sistem kebut semalam” akan menjadi model belajar yang tentu tidak baik. Sikap malas yang terwujudkan pada perilaku suka menunda, disebut prokrastinasi (procrastination). Karakter ini akan menjadi batu sandungan bagi proses pendidikan di kala pandemi.

Bagaimana Cara Menerapkan Pendidikan Karakter yang Baik Bagi Murid?

Satu cara yang bisa diupayakan adalah melakukan pengetatan pada proses pendidikan. Ada bahan yang harus diselesaikan (dibaca dan dianalisis) dalam durasi waktu tertentu.

Ada sikap-sikap yang harus dipenuhi, ketika mengikuti webinar (Misalnya tidak menutup video, berpakaian yang layak dan rapi, tidak ribut, tidak mendistraksi kelas dan seterusnya). Ada jatuh tempo yang pasti ketika mengerjakan tugas individual maupun quiz yang diberikan.

Meskipun demikian, keseluruhan proses ini secara dominan hanya melatih kedisiplinan para murid. Karakter mulia yang sesungguhnya dari para murid, semestinya bisa didapatkan dari rumah, terutama dari orang tua.

Budi pekerti yang mulia mesti dipraktikkan oleh para orang tua, sehingga hal tersebut menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Tentu hal ini agak rumit ketika para orang tua juga harus sibuk memikirkan upaya bertahan hidup, terutama dalam aspek ekonomi. Ketika para pemilik perusahaan sibuk memikirkan efisiensi dan jalan keluar dari resesi. Ketika para karyawan dirumahkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Ketika para wirausaha harus menghadapi job yang sepi.

Ketika para profesional tidak lagi mendapatkan pelanggan, atau sebaliknya. Ketika para dokter dan tenaga kesehatan tertular virus Corona, dan banyak lagi rintangan yang dihadapi di saat pandemi, termasuk para pengelola bisnis pendidikan ketika para konsumennya kesulitan membayar SPP, maka ketika itu pula “para orang tua” menghadapi kesulitan yang berlipat-ganda saat harus menemani anak-anak mereka belajar.

Baca Juga  Guru Madrasah Harus Linuwih

Pendidikan Karakter yang Bisa Dicontohkan Orang Tua

Karakter terbaik yang bisa dicontohkan para orang tua kepada anak-anak mereka adalah karakter tidak mudah menyerah, pejuang sejati, mampu bertahan hidup, bersabar luar biasa, senantiasa fokus pada penyelesaian masalah dan selalu berpikir positif.

Ketika anak-anak mampu memahami bahwa mereka sedang dalam kondisi yang luar biasa dalam pengertian diterpa keprihatinan dan krisis multidimensi, maka itulah yang sebenarnya bisa mendorong mereka untuk kuat dan penuh semangat dalam belajar.

Seorang bapak atau ibu bisa berbagi rasa (mencurahkan suara hatinya) kepada anak-anaknya bahwa kehidupan mereka begitu sulit. Karena itu, dalam suatu ikatan keluarga, mereka harus tangguh dan berani melawan hidup. Mereka perlu bekerjasama dan bergotong-royong dalam rangka menyelesaikan masalah yang dihadapinya saat ini sekaligus menyusun berbagai rencana untuk menaklukkan masa yang akan datang.

Masa depan kehidupan mendatang, bukan di tangan para orang tua, tetapi anak-anak tersebut. Ketika anak-anak menyadari peran dan tanggungjawabnya di masa depan begitu besar, maka ia akan lebih cepat dewasa dalam berpikir, merasa dan bertindak. Dengan demikian, proses pendidikan yang harus ditempuh dengan model apapun ketika pandemik ini, akan dijalaninya dengan penuh tanggungjawab.

Jadi, pada akhirnya, meskipun banyak orang berpikir bahwa pandemi merubah instrumen pendidikan yang berpotensi menggerus pendidikan karakter, nyatanya “karakter” tidak sepenuhnya ditempa oleh proses pendidikan formal.

Kehidupan sehari-harilah yang berperan besar dalam membangun karakter para murid. Dengan demikian, situasi yang serba sulit, krisis, prihatin dan kehidupan yang keras masih sangat berpotensi mendorong terciptanya karakter anak yang unggul dan mulia.

Editor: Rozy

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds