Di sebuah ruang kelas yang lantainya masih berupa tanah dan dindingnya mulai mengelupas, seorang guru berdiri tegak di depan papan tulis reyot. Di hadapannya, puluhan pasang mata anak-anak menatap penuh harap. Mereka bukan sekadar murid; mereka adalah mimpi-mimpi kecil yang sedang bertumbuh dalam keterbatasan. Inilah wajah pendidikan Indonesia—negeri yang kaya akan budaya dan sumber daya, namun masih menyimpan luka dalam dunia pendidikannya. Tulisan ini akan mengulas lebih lanjut, bagaimana pemerintah melalui, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia (Kemendikdasmen RI), melakukan implementasi kebijakan sentralisasi pendidikan. Kebijakan itu bermaksud untuk melakukan pemerataan guru di Indonesia.
Pada tahun 2024, data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa rata-rata lama sekolah masyarakat Indonesia masih di angka 9,22 tahun. Di Jakarta, angka itu melonjak hingga 11,5 tahun, namun di Papua Pegunungan hanya sekitar 5 tahun. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah kesenjangan, ketidakadilan, dan ketimpangan yang menjelma dalam kehidupan nyata ribuan anak bangsa.
Sekolah-sekolah di pelosok negeri banyak yang rusak. Hampir setengah dari bangunan sekolah dasar di Indonesia mengalami kerusakan sedang hingga berat. Bayangkan anak-anak belajar di ruang kelas yang atapnya bocor saat hujan, kursi-meja yang reyot, dan fasilitas pendukung yang nyaris tidak ada. Mereka datang bukan karena diwajibkan, tetapi karena berharap bahwa pendidikan akan membawa mereka keluar dari siklus kemiskinan dan ketertinggalan.
Penulis sadar, pendidikan sejatinya memerlukan konsistensi. Ia bukan panggung untuk pencitraan, melainkan ladang panjang yang butuh pemupukan sabar dan perencanaan matang. Terlalu seringnya perubahan kurikulum membuat sistem pendidikan Indonesia kehilangan arah. Ia berjalan, tetapi tidak menuju tujuan yang pasti. Inilah isu yang selalu mencuat kala kabinet silih berganti, termasuk yang dirasakan oleh Abdul Mu’ti saat ini selaku Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Republik Indonesia.
Pemerataan Guru Seluruh Indonesia
Namun, di balik bergantinya kurikulum serta berbagai narasi negatif terkait gagasan-gagasan Pak Mu’ti, ada satu ide beliau yang menurut penulis menjadi harapan atas berbagai permasalahan pendidikan di negeri ini: sentralisasi pendidikan. Sebuah terobosan baru yang sebenarnya merupakan “barang lama” peninggalan Orde Baru. Sekilas, bangsa ini tampaknya masih menyimpan trauma ketika mendengar kata “sentralisasi”—sebuah diksi yang memunculkan bayang-bayang dalam benak mereka yang hidup pada zamannya: terkontrol, seragam, terkunci, dan terpusat.
Di masa itu, pendidikan tidak hanya dianggap sebagai sarana mencerdaskan bangsa, tetapi juga sebagai fondasi untuk membentuk identitas nasional. Maka dibuatlah sistem yang terpusat, terorganisasi, dan seragam dari Sabang sampai Merauke. Dalam ruang kelas yang hampir serupa di seluruh penjuru negeri, murid-murid berdiri tegak menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, membuka buku pelajaran yang sama, mempelajari sejarah yang sama, dan menumbuhkan rasa cinta tanah air yang sama.
Ide serupa kini digaungkan kembali oleh Pak Mu’ti. Dalam wawancaranya dengan Tempo, ia menyampaikan bahwa pengelolaan guru ASN secara terpusat akan mampu mengatasi masalah rekrutmen, pembinaan, hingga distribusi tenaga pengajar yang kerap tidak merata di tiap daerah. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh realitas distribusi guru yang timpang: sebagian daerah kekurangan guru, sementara daerah lain justru kelebihan.
Pemerataan dan Kesetaraan Pendidikan
Walaupun ide sentralisasi pendidikan menyimpan kenangan yang kurang menyenangkan, gagasan Pak Mu’ti ini tidak sepenuhnya dipandang negatif oleh para pengamat. Salah satunya, Ketua Guru Belajar Foundation, Bukik Setiawan, menyebut bahwa dengan kembali memusatkan sistem pendidikan, pemerintah akan lebih mudah mengatasi persoalan pemerataan guru.
Hingga saat ini, penerapan desentralisasi dalam dunia pendidikan membuat pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi memiliki wewenang masing-masing dalam mengurus jenjang studi yang berbeda. Akibatnya, pendidikan di negeri ini terkesan terfragmentasi dalam pengelolaannya. Belum lagi perbedaan wewenang antara Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Kementerian Agama.
Namun, kita juga perlu berkaca pada masa lalu: bahwa penerapan sistem yang seragam justru menyimpan ketimpangan dan ketidakadilan. Daerah terpencil tertinggal karena disamaratakan dengan kota besar. Anak-anak di pelosok belajar sejarah bangsa, tapi tak mengenal sejarah desanya sendiri. Guru di kampung mengajarkan ekonomi pembangunan, padahal sawah dan ladangnya sendiri tak pernah dijadikan contoh.
Abdul Mu’ti dan Sistem Kerja Kolektif
Gagasan Pak Mu’ti terkait sentralisasi pendidikan rencananya akan dimasukkan dalam draf RUU Sistem Pendidikan Nasional yang tengah disusun oleh DPR. Berbeda dari draf RUU lain yang beberapa waktu terakhir menimbulkan kontroversi karena minim partisipasi publik, penyusunan draf RUU ini justru melibatkan ratusan guru, kepala dan staf dinas pendidikan, serta akademikus dari seluruh Indonesia.
Masih dalam laporan Tempo, pengumpulan para pemangku kepentingan ini dilakukan untuk membahas perubahan sistem pendidikan yang akan diterapkan pada tahun ajaran 2025/2026. Selain melibatkan banyak pihak, metode yang digunakan pun mencerminkan semangat gotong royong dan berpikir kritis: Focus Group Discussion (FGD). Para peserta dibagi ke dalam kelompok, dan di akhir sesi, tiap kelompok menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi kepada pemerintah.
Solusi Pemerataan Guru
Dalam dunia yang sering memuja kompetisi, Pak Mu’ti, menurut penulis, justru membawa angin segar: ia percaya pada kolaborasi, bukan dominasi. Baginya, kemajuan bukan hasil dari ego yang menang, tetapi dari tangan-tangan yang saling menguatkan. Ia memaknai gotong royong bukan sekadar warisan budaya, tetapi sebagai etika hidup—sebuah jalan yang menggabungkan kekuatan, membagi beban, dan menyatukan tujuan. Pandangan ini ia sampaikan dalam tausiah pada acara Silaturahmi Akbar Warga Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo, Sabtu, 3 Mei 2025.
Ia sadar bahwa membangun negeri tidak bisa dilakukan seorang diri. Maka ia memilih menjadi jembatan, bukan menara. Ia membuka ruang dialog, merajut simpul-simpul kebersamaan, dan mengajak semua pihak duduk bersama—bukan untuk saling mendominasi, tetapi untuk saling memahami.
Begitulah Abdul Mu’ti—tokoh yang tidak hanya berbicara tentang nilai, tetapi juga hidup dalam nilai-nilai itu. Dalam langkahnya yang tenang, kita bisa belajar arti kebijaksanaan. Dalam sikapnya yang inklusif, kita melihat wajah Islam yang sebenar-benarnya: penuh kasih dan kedewasaan.
Editor: Assalimi