Review

Belajar Memahami Apa yang Disalahpahami

4 Mins read

“Memahami yang Disalahpahami” merupakan buku karya dari Ardiyansyah, sosok kader aktif PCNU Kab. Bekasi dan alumni Prodi Studi agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah. Dalam bukunya, Ardiyansyah menyingkap beberapa topik yang sering disalahpahami dan penuh kontroversi di tengah masyarakat yang seolah terdapat tirai tipis yang menutupi akses informasi sehingga membuat kita tersesat di labirin prasangka dan asumsi.

Kautsar Azhari Noer, Guru besar Studi Agama agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menambahkan dalam kata pengantar tentang kaidah perbandingan agama yang adil oleh Kristen Stendahl, mantan dekan sekolah tinggi Teologi, Harvard University sebagai berikut. Pertama, bandingkan lah yang sama dengan yang sama (compare equal to equal)Kedua, izinkanlah orang lain mendefinisikan diri mereka (allow others to define themselves).

Saya berkesimpulan buku ini sangat cocok untuk awam, karena cakupan bahasan yang luas, namun masih di tataran permukaan. Maka perlu pembahasan yang lebih dalam dengan literatur yang lebih lengkap setelah membaca tuntas. Kendati demikian, buku ini tetap saya rekomendasikan sebagai bacaan di tengah konteks masyarakat yang kian terpolarisasi dan akan sangat relevan untuk membuka wawasan baru.

Mengapa Kita Sering Salah Paham?

Dalam menyoroti akar masalah dari kesalahpahaman di tengah masyarakat, penulis menyebut salah satunya ialah faktor bias sejarah, prasangka budaya, dan interpretasi sempit. Dalam bab 1 “Yang Disalapahami dari Yahudi” dijabarkan tentang stereotip yang melekat ke Yahudi sebagai kelompok jahat dan berambisi mengendalikan dunia.

Stereotip ini berkembang karena trauma kolektif di Eropa atas tragedi pasca holocaust dan propaganda politik, yang selanjutnya menyebar ke tanah arab dan dunia Islam. Ditambah ketegangan antara Palestina dan Israel bagai menambahkan minyak di atas api menguatkan stereotip yang sudah terlanjur secara kolektif di masyarakat.

Baca Juga  "Ber-Tuhan" Melawan Tuhan: Menggugat Paham dan Praktek Keberagamaan Kita

Hal ini merupakan simplifikasi yang berlebihan. Karena perlu kita bedakan antara Judaisme (agama dan suku) dan Zionisme (gerakan politik) agar tidak semua Yahudi digebyah uyah dengan cap sebagai musuh Palestina.

Disamping kesalah pahaman atas kelompok pada bab 1, ada juga kesalahpahaman yang merambat ke tokoh  kelompok agama yang disebut dalam bab 2 “Yang Disalahpahami dari Kristen” yakni Yesus atau Nabi Isa yang dipahami sebagai dua orang yang berbeda.

***

Penulis menjelaskan bahwa kedua tokoh ini ialah sama. Perbedaan ini bersifat linguistik atau dalam lensa bahasa dan budaya yang berbeda. Nabi Isa dilahirkan dari Bangsa Yahudi yang berbahasa Ibrani memanggilnya Yeshua/Y’shua , sedangkan dalam bahasa Yunani Iesous, Kristen Siria barat dan timur memanggilnya Yeshu’ dan Yisho’ dengan aksara Ibrani. Sedangkan dalam bahasa Aram Iesous menjadi Isho yang nantinya akan berubah aksennya oleh orang Arab klasik menjadi Isa. Namun belakangan ini Orang Arab Kristen tidak memanggil dengan sebutan isa, melainkan Yasu’.

Hanya karena dalam pandangan Islam “Isa” sebagai Nabi Allah dan “Yesus” dalam pandangan Kristen sebagai firmanTuhan  yang menjelma menjadi daging manusia untuk menebus dosa umat manusia yang menjadikaannya berbeda secara teologis. Perbedaan pelafalan Isa atau Yesus ialah faktor antropologis dan aksen yang berkembang pada saat itu, serta banyaknya penerjemah yang menggunakan nama sepadan. Maka tidak perlu menjadi sumber ketegangan dengan dipersepsikan secara dikotomis Nabi vs Tuhan karena berbeda dalam doktrin teologis.

Di internal umat Islam juga banyak kesalahpahaman yang sebenarnya tidak perlu akibat ketidaktahuan keragaman pendapat ulama atau fatwa. Dalam Bab 3 “Fikih dan kehidupan sehari-hari”  mengajak pembaca untuk tidak memutlakkan satu pendapat atau ijtihad seperti bunga bank dan Program KB (Keluarga berencana) sebagai pembatasan kelahiran yang haram.

Baca Juga  Bagaimana Gerakan Puritanisme Islam ala Salafi itu Muncul?

Karena kedua hal ini termasuk isu kontroversial yang memiliki ragam pendapat menjadikannya rawan untuk di kalangan muslim sendiri saling menghakimi sesamanya karena memegang pendapat yang berbeda. Penulis menyebut untuk tidak perlu gegabah memvonis dan berdebat karena Islam memiliki keluwesan dalam menyikapi problem sosial.

Mengurai Benang Kusut Kesalahpahaman dengan Hati yang Terbuka

Fokus penulis dalam Bab 4 “Sains dan Islam” ialah membantah mitos  sains bertentangan dengan agama. Penulis menyebut tokoh Islam klasik seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Farghani, Ibnu Al Haitsam dan beberapa lagi yang tidak saya sebutkan dalam review buku kali ini  yang  banyak membawa pengaruh baik ke kehidupan kita hari ini. Hal ini membuktikan bahwa iman tidak mengahalangi untuk berpikir secara rasional. Justru sains bisa menjadi jembatan untuk menambah pemahaman iman kita terhadap Tuhan untuk lebih dalam.

Bila kita membaca Al-Quran secara holistik akan banyak temuan ayat Al-Quran yang relevan dan dapat diverifikasi oleh sains di era modern ini. Seperti dalam Al-Alaq 1-2 yang membahas tentang penciptaan manusia dari segumpal darah, Ar-Rahman 19-21 yang mengatakan dua sungai yang di antaranya tidak bersatu, dan masih banyak lagi yang menunjukkan keselarasan dengan ilmu kedokteran, astronomi, geologi, embriologi, dan masih banyak lagi.

Artinya Al-Quran tidak hanya menjadi panduan kita dalam segi spritual dan moral saja, melainkan juga menyimpan pengetahuan yang dapat dinterpretasikan ke berbagai disiplin ilmu. Di samping itu, penulis juga menekankan akan pentingnya pendekatan rasional dan ilmiah terhadap hadis yang belum sesuai dengan bukti ilmiah seperti soal manfaat meminum kencing unta yang justru bisa menjadi penyebar virus.

***

Penulis juga mengangkat bahasan yang paling sensitif dan tabu di Indonesia di bab terakhir yakni “Filsafat dan Marxisme.” Menurutnya, belajar filsafat tidak otomatis menjadi anti Tuhan, karena mulanya majunya kebudayaan Islam diawali dari dunia filsafat sehingga banyak penemuan yang dihasilkan dan sudah terbukti dalam sejarah. Dalam khazanah Islam klasik ada tokoh filsuf muslim bernama Al Kindi berargumen bahwa Tuhan adalah wujud yang wajib sebagai sumber keberadaan semesta dan haruslah esa karena Tuhan harus independen dalam dirinya dan ciptaannya.

Baca Juga  Sepak Bola adalah Pertandingan Harga Diri

Tuduhan yang sama juga terhadap Marxisme akan melahirkan sekularisme dan ateis, memang Marx yang melahirkan paham ini menyebut agama adalah candu rakyat dan harus diperangi. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena di eropa tempat kelahirannya agama khususnya kristen semakin menjadi eksklusif sebagai alat pemerintah dan di barisan kapitalis.

Berbeda Marxisme di tangan orang Indonesia yang bisa menyesuaikan dengan kearifan lokal yang justru sebagai alat analisis sosial perlawanan terhadap kolonialisme dan kapitalisme. Dalam argumentasi Haji Misbach menjadi seorang komunis tidak perlu melepaskan Islamnya karena membela orang lemah dan tertindas sejalan dengan ajaran Islam.

Di akhir tulisan penulis menulis,  tabir sejarah kiri baik dan buruknya harus dibuka agar bisa dikaji dan di kritis oleh generasi selanjutnya. Sejarah tidak boleh ada missing link (keterputusan) agar bisa diambil pelajarannya.

Biodata Buku

Judul Buku: Memahami yang Disalahpahami

Penulis: Ardiyansyah

Penerbit: PT Elex Media Komputindo

Tahun terbit: 2021

ISBN: 978-623-00-2949-3

Editor: Soleh

Fahris Haria Febrilian
5 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi PDM Kabupaten Pasuruan. Penerjemah Mandarin.
Articles
Related posts
Review

Kisah Hayy ibn Yaqsan Menemukan Tuhan Lewat Akal

3 Mins read
Karya Hayy ibn Yaqzan, yang ditulis oleh filsuf Andalusia Abū Bakr Muhammad ibn Thufail (Ibnu Thufail) pada abad ke-12, merupakan salah satu…
Review

Rendez-vous di Selat Hormuz

5 Mins read
Novel Rendez-vous di Selat Hormuz adalah novel yang bergaya roman detektif. Novel ini menghadirkan kisah seorang pemuda bernama Ali Khadafi yang mengalami…
Review

Kewarganegaraan dan Hal-hal yang Tak Kunjung Usai

2 Mins read
Hingga saat ini, Indonesia masih menghadapi persoalan kewarganegaraan. Salah satu persoalan yang mutakhir ialah pengakuan negara atas status kewarganegaraan para penghayat kepercayaan—yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *