Review

Sebuah Tawaran Memutus Mata Rantai Perkawinan Dini

4 Mins read

Pada bulan September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Revisi ini terfokus pada perubahan batas usia perkawinan, yang sebelumnya ditetapkan minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Namun berubah menjadi minimal 19 tahun untuk kedua jenis kelamin.

Tentu saja, putusan itu disambut positif oleh berbagai pihak, terutama dari kalangan aktivis perempuan. Revisi ini dilakukan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan perihal batas usia perkawinan, yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan itu dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. Meski demikian, dapat kita tangkap, semangat dari pengajuan gugatan uji materi tersebut bukan sekedar perbedaan batas usia perkawinan antara perempuan dan laki-laki.

Lebih dari itu, semangat yang mendasari gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut didasari harapan untuk mengurangi angka perkawinan dini yang masih marak di berbagai penjuru tanah air. Regulasi perkawinan selama ini menjadi instrumen untuk mengendalikan perkawinan yang dianggap tidak ideal dari sisi usia.

Kondisi di Lapangan

Sayangnya, dalam kenyataannya di lapangan, instrumen hukum melalui UU Perkawinan tersebut, tidak cukup efektif dalam mengendalikan pencegahan perkawinan dini.  Selama belasan tahun, di berbagai daerah kerap ditemukan angka perkawinan di bawah batas umur masih tinggi. Baik yang dilakukan secara tidak tercatat ataupun resmi melalui KUA. Perkawinan di bawah umur secara resmi masih bisa dilakukan, antara lain dengan menggunakan instrumen dispensasi perkawinan.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan pada tahun 2018 oleh BPS menunjukkan angka perkawinan anak yang masih cukup tinggi di Indonesia, mencapai 1,2 juta kejadian. Hal ini menjadi yang tertinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara. Faktor penyebab tingginya angka perkawinan di bawah umur di Indonesia antara lain karena adanya tradisi yang masih menganggap perkawinan sebagai cara memperoleh keamanan ekonomi dan sosial, terutama di pedesaan.

Baca Juga  Jatidiri Perempuan Muhammadiyah: Potret dan Perkembangan Aisyiyah?

Masalah perkawinan anak menjadi penting untuk diatasi dan digaungkan bersama. Sebab, tidak saja berkaitan dengan kesiapan reproduksi kedua individu, pengurangan perkawinan anak juga terkait dengan target Indonesia Emas 2045. Yakni target pencapaian Indonesia sebagai negara modern dan makmur. Kita tahu salah satu elemennya adalah kualitas hidup manusia atau Human Development Index (HDI).

Sebab itu, penggunaan instrumen hukum sebagai upaya pengurangan perkawinan dini perlu diimbangi dengan penguatan instrumen lainnya. Antara lain dengan pendekatan sosio-kultural yang selama ini terkesan kurang efektif. Pun yang harus digarisbawahi juga, faktor-faktor yang menjadi pendorong terjadinya perkawinan dini, bisa berbeda di setiap daerah.

Ragam Faktor Penyebab Perkawinan Dini

Dalam konteks ini, kehadiran buku berjudul Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: Melacak Living Fiqh Pernikahan Dini Komunitas Muslim Madura di Kabupaten Jember, menarik untuk disimak. Mengambil studi kasus di salah satu wilayah yang ada di Jember, Jawa Timur, terdapat beberapa temuan menarik disajikan dalam buku ini. Beberapa diantaranya bisa menjadi bahan pertimbangan terutama bagi pengambil kebijakan, serta aktvis gender.

Dengan fokus lokus di komunitas Muslim Madura yang ada di Jember. Satu hal yang menjadi kekuatan dari buku ini adalah bahan-bahannya yang diperoleh sang penulis secara live-in, atau hidup bersama dengan objek studi. Sebab, dengan tingkat pendidikan sebagian masyarakatnya yang secara umum masih terbatas –termasuk penguasaan bahasa Indonesia yang belum merata-, dibutuhkan strategi khusus untuk memahami kondisi sosio-kultural yang mendasari perkawinan dini di masyarakat yang menjadi objek kajian buku ini.

Latar belakang sang penulis, Erma Fatmawati-yang memulai karir sebagai guru di tingkat Madrasah Ibtidaiyah (setara SD) sebelum menjadi birokrat dan dosen- kiranya cukup menunjang dalam proses penggalian data. Sebab, perkawinan dini di masyarakat pedesaan –khususnya pada komunitas Muslim Madura- erat kaitannya dengan pemenuhan hak pendidikan anak.

Baca Juga  Jalan Panjang Penyandang Bipolar

Buku ini juga berbeda dengan anggapan banyak pihak yang mengira perkawinan dini pada anak-anak di pedesaan lebih karena faktor perjodohan dari keluarga atau orang tua. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa perkawinan dini banyak terjadi bukan karena paksaan, melainkan kesadaran dari kedua mempelai.

Faktor budaya yang berkelindan dengan ajaran agama, menjadi faktor pendorong. Walaupun tujuan awalnya tentu amat baik, yakni norma sosial yang menganggap pacaran pada remaja sebagai perbuatan tidak terpuji (maksiat). Sehingga ketimbang melakukan perbuatan seperti berduaan atau berboncengan, akan lebih baik jika muda-mudi desa yang sedang kasmaran tersebut langsung dinikahkan saja.

***

Salah satu faktor utama terjadinya perkawinan di bawah umur adalah adanya dualisme norma hukum yang hidup di masyarakat dan seakan bertentangan satu sama lain. Perkawinan dini yang dianggap sah dalam hukum agama, namun bertentangan dengan aturan hukum negara, menjadi contoh konkret dari dualisme ini. Kondisi ini semakin memperumit situasi dan menuntut adanya penanganan yang tepat agar hak-hak anak dapat dijaga dengan baik tanpa merusak nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan masyarakat.

Praktik pencatatan perkawinan dini ke KUA sebagaimana diurai dalam buku ini, juga patut menjadi perhatian. Salah satunya dugaan praktik “menaikkan usia” dalam dokumen kependudukan tertentu, demi mengakali persyaratan yang ada.

Hal yang mungkin cukup menggembirakan, adalah upaya menggenjot angka partisipasi pendidikan di beberapa wilayah pedesaan yang ada di Jember. Rupanya itu juga berkorelasi lurus dengan pengurangan angka perkawinan dini. Hal ini sekaligus bisa menjadi ikhtiar memutus semacam “lingkaran setan”, yakni praktik di mana orang tua yang masa mudanya menjalani perkawinan dini, cenderung mendorong anaknya melakukan hal yang serupa.

Baca Juga  Moderasi Indonesia (1): Empat Tawaran Haedar Nashir

Pada akhirnya, meskipun buku ini mengambil studi kasus di wilayah yang cukup spesifik di Jember. Rekomendasi kebijakannya bisa menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi kebijakan secara umum. Utamanya, kebijakan pengurangan perkawinan dini di wilayah-wilayah yang terpencil. Sebab, membutuhkan stretegi komunikasi dan pendekatan yang matang, untuk mengkampanyekan pencegahan perkawinan dini di masyarakat pedesaan.

Daftar Buku

Judul Buku         : Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: Melacak Living Fiqh Pernikahan Dini Komunitas Muslim Madura di Kabupaten Jember

Penulis               : Dr. Hj. Erma Fatmawati, M.Pd.I.

Editor                 : Muhammad Fauzinuddin Faiz

Penerbit             : CV. Pustaka Ilmu Yogyakarta

Tahun Terbit      : Februari 2020

Tebal Halaman : 144 halaman + xvii

Editor: Soleh

Muhammad Fauzinuddin Faiz
3 posts

About author
Dosen UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq & Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi dan Publikasi Nahdlatul Ulama
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *