Inspiring

Siti Hayinah: Literasi untuk Kemajuan Perempuan

5 Mins read

Durhaka sekali, orang yang berani menghalang-halangi perempuan belajar dan melarang kaum istri mengetahui tulis baca… Nyatalah mereka yang mengharamkan ini, bertabuh di ujung lidah, bergandang di ujung bibir, demikianpun katanya itu salah dan alasannya lemah. (Siti Hayinah)

Kekecewaan Hayinah pada orang yang menghalangi perempuan untuk belajar tersebut dinyatakannya secara tegas dalam tulisan bertajuk ‘Kepentingan Lectuur Perempuan’, yang disampaikannya pada pidato Kongres Muhammadiyah Bagian ‘Aisyiyah ke-21 di Makassar Tahun 1931. Pidato tersebut sekaligus menunjukkan perhatian dan komitmen Hayinah pada pentingnya pendidikan atau pengajaran bagi perempuan. Bahkan berkat kepedulian dan kiprahnya, tidak berlebihan jika Hayinah dapat ditahbiskan sebagai tokoh literasi perempuan.

Pembelajaran Dasar Kemajuan Perempuan

Menurut Hayinah, dalam Islam, perintah untuk belajar melalui kemampuan baca dan tulis tidak mengenal perbedaan jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama diharuskan untuk menuntut ilmu. Dalam pandangan Hayinah, jika ada sebagian laki-laki yang tidak suka melihat istrinya pandai, lebih dikarenakan istrinya kemudian tidak suka ditindas dan diperlakukan sekenanya. Jadilah ia melarang perempuan belajar atau tidak suka memilih istri yang terpelajar.

Jika demikian yang terjadi, menurut Hayinah, tidak akan majulah bangsa manusia. Hayinah bahkan tak segan mengingatkan jika terdapat ulama yang berani mengharamkan istri belajar membaca dan menulis, karena Rasullullah sendiri justru mendorong perempuan untuk belajar.

Ia lantas mengimbau, “Wahai saudara-saudara, tuntutlah ilmu, belajarlah segala pengetahuan. Janganlah menunjukkan halangan sebab tuanya, karena umur itu di dalam belajar bukan apa-apa.” Hayinah meyakini bahwa pembelajaran merupakan sendi atau landasan bagi kemajuan manusia. Tak heran jika bangsa-bangsa maju menghasilkan banyak buku sebagai simbol kemajuan pengetahuan.

Saat itu, Hayinah memang mengakui mulai banyak tumbuh bibliotheek atau semacam perpustakaan. Namun ia menyayangkan masih minimnya bibliotheek yang dipunyai oleh kaum muslimin, apalagi bibliotheek khusus perempuan. Hayinah mengajak agar kaum perempuan gemar membaca buku dan mengadakan tempat membaca buku bagi perempuan. Tetapi, menurut Hayinah, membaca saja tidak cukup karena harus diimbangi dengan mengamalkan apa yang sudah dibaca atau dipelajarinya, bahkan harus lebih besar tinimbang bibliotheek dan banyaknya bacaan itu sendiri.

Lectuur perempuan dapat diupayakan pula melalui keberadaan orgaan atau media yang diterbitkan oleh organisasi termasuk ‘Aisyiyah. Hayinah mengungkapkan, bahwa orgaan dapat berfaedah sebagai media penghubung dengan segala bangsa, meluaskan pengetahuan dan peradaban, mengasah ketajaman fikiran, media menyuarakan aspirasi, bahkan dapat dijadikan tolak ukur kemajuan bangsa.

Baca Juga  Tafsir-Menafsir Islam dan Negara : Posisi Bahtiar Effendy?

Siti Hayinah dan Suara ‘Aisyiyah

Hayinah pun mengibaratkan media organisasi sebagai ‘central leiding’ atau panduan yang memberikan suluh, memperkuat komitmen gerakan, selain juga menyampaikan berita resmi maupun keputusan kongres dan pimpinan sebagai acuan pelaksanaan program organisasi, bahkan menjadi kekuatan propaganda ‘Aisyiyah.

‘Aisyiyah sendiri memiliki orgaan yang hingga kini masih terbit, yaitu Suara ‘Aisyiyah. Terbit pertama tahun 1926 atau 1335 H. Itu berarti, berdasarkan penanggalan hijriyah, usia Suara ‘Aisyiyah  sudah mencapai 97 tahun atau berusia 94 tahun tahun jika mengacu pada penanggalan miladiyah. Hayinah telah mengelola Suara Aisyiyah sejak tahun pertama majalah ini terbit. Dalam Suara Aisyiyah nomor 4, tahun pertama (1927), nama Siti Hayinah sudah tercantum sebagai pengurus bersama Siti Wakirah, Siti Wardhiah, dan Siti Barijah.

Pada kepengurusan Suara Aisyiyah 1938, Siti Hayinah telah menjadi hoofdredactrice atau Pemimpin Redaksi. Baru pada tahun 1952, ia memutuskan menyerahkan tampuk kepemimpinan redaksi pada generasi berikutnya. Kepeduliannya pada keberlangsungan Suara ‘Aisyiyah salah satunya tampak dari ajakannya tanpa henti pada pimpinan dan warga ‘Aisyiyah untuk menghidup-hidupi Suara ‘Aisyiyah.

Ketika Suara Aisyiyah berada dalam situasi yang diistilahkannya, “hidup segan, mati tak mau”, dengan tegas ia menawarkan pilihan, “Marilah Soeara ‘Aisjijah itu kita hidupi betul-betul… kalau tidak, baiklah kita bunuh saja mati-mati dan kita tanam dalam-dalam.” Hayinah berharap betul atas kemajuan media yang dikelola oleh dan untuk perempuan sebagai bagian dari lectuur perempuan. Ia tak menginginkan nasib Suara ‘Aisyiyah sebagaimana nasib beberapa media Muhammadiyah, seperti Menara Ampel dari Surabaya, Annida dari Semarang, Soerija dari Blitar, Al-Chair dari Bondowoso, Wewarah Islam dari Solo, Kemauan Zaman Minangkabau, Soeara Siswo Projo Solo, Menara Koeddoes, Seruan Muhammadiyah Banjarmasih, dsb.

Siti Hayinah, Tokoh Literasi Perempuan

Di depan peserta kongres, Hayinah menyerukan, ‘sepulang dari kongres ini wajiblah Cabang menambah gerakannya dengan membuka bibliotheek dan leeskring bagi kaum perempuan’. Tak hanya itu, ia berharap dapat dikembangkan badan yang mengusahakan terbitnya surat kabar atau majalah bagi perempuan, juga penerbitan kitab. Hayinah meminta kaum perempuan gemar mencari ilmu dan memperbanyak bacaan, berlangganan surat kabar maupun majalah, dan mengajak perempuan untuk menulis. Hajinah pun mengingatkan tabiat Aisyiyah untuk menyemangati Cabang, ‘selangkah berpandang surut, setepak pantang kembali’.

Dari tulisan yang disampaikan dalam pidatonya, tampak bahwa Hayinah senang membaca dan mengikuti perkembangan media perempuan. Ia menyebut beberapa penulis perempuan dari Mesir, seperti Qadariyah Husein, Balsim, sampai Anisah Mei. Rupanya, Siti Hayinah juga membaca surat kabar seperti Al-Mar’atul Misriyah, Shihhatul ‘A-ilah, dan beberapa lainnya.

Baca Juga  Siti Noordjannah Djohantini, Sang Aktivis Perdamaian Anak

Hayinah adalah seorang intelektual perempuan pada masanya, suka membaca, menulis, mahir berpidato di depan khalayak, aktivis ‘Aisyiyah pada peduli pada nasib perempuan, dan menggiatkan literasi perempuan. Jika membaca tulisan Siti Hayinah, akan tampak ciri khasnya, yakni senang memakai perumpamaan atau majas, seperti “tegak-tegak tantak”, “bangun-bangun rubuh” sehingga membuat tulisan Hayinah lebih ‘menggigit’. Kesadaran Hajinah tentang pentingnya pendidikan perempuan tidak lepas dari perjalanan hidupnya sebagai kader muda Kiai Dahlan dan Siti Walidah. Ia mengalami langsung reformasi pendidikan perempuan oleh K.H. Ahmad Dahlan yang dimulainya dari kampung Kauman.

Pendidikan dan Aktivitas Organisasi

Siti Hayinah lahir di Yogyakarta pada tahun 1906. Dia putri Haji Mohammad Narju, pengusaha batik sukses dan aktivis Muhammadiyah. Hayinah termasuk kader perempuan yang mendapat didikan langsung dari KH Ahmad Dahlan dan Siti Walidah, istri Dahlan. Putri Haji Narju ini termasuk generasi kedua dari kader-kader KH Ahmad Dahlan yang mengenyam pendidikan di Sekolah Netral (Neutraal Meisjes School). Dia seangkatan dengan Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Badilah.

Selain mengenyam pendidikan formal di Sekolah Netral, Siti Hayinah pernah masuk Holland Inlandsche School (HIS) dan Fur Huischoud School di Yogyakarta. Siti Hayinah mendapatkan pendidikan agama secara non formal dari ayahnya, Haji Narju, dan pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh Nyai Ahmad Dahlan.  

Siti Hayinah terlibat aktif di ‘Aisyiyah sejak ia masih muda. Pada tahun 1925, dalam usia 19 tahun, ia yang memang telah dipersiapkan sebagai kader pemimpin ini telah mendapat kepercayaan sebagai sekretaris Hoofdbestuur Muhammadiyah bahagian ‘Aisyiyah. Posisi sekretaris jelas bukan jabatan yang bisa dipegang oleh sembarang orang. Tanpa kecakapan khusus dan wawasan luas, Siti Hayinah jelas tidak akan mendapat amanat besar ini.

Berkat kecakapannya pula, istri dari Mohammad Mawardi Mufti ini dipercaya menjadi ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah lima periode. Dirinya kerap dipercaya mewakili ‘Aisyiyah dalam kegiatan di internal mapun eksternal Muhammadiyah. Mawardi merupakan guru Muhammadiyah dan pernah menjadi Ketua Majelis pengajaran pada masa kepemimpinan Ki Bagus Hadikusuma.

Penyatuan Gerakan Perempuan

Siti Hayinah adalah satu di antara dua perempuan representasi ‘Aisyiyah, yang menjadi anggota pimpinan Kongres Perempuan Indonesia Pertama, yang berlangsung dari tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini digelar kurang lebih 14 tahun setelah ‘Aisyiyah berdiri. Siti Hayinah mendapat kehormatan untuk berbicara di depan khalayak kongres. Pidatonya yang cukup popular diberi judul: ”Persatuan Manusia.” Tema itu sangat kontekstual dengan semangat persatuan yang tengah digadang-gadang dalam penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia perdana.

Baca Juga  Ruh, Modal Utama Seorang Guru

Menurut Siti Hayinah, persatuan merupakan alat untuk mencapai tujuan utama, seperti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Jalan menghadirkan persatuan ditempuh melalui saling bergaul, berhubungan, memelihara persaudaraan, mendirikan perkumpulan, dan membicarakan hal-ihwal yang perlu dilakukan bersama. “Sudah tidak khilaf lagi bahwa damai, persatuan, itulah suatu perkara, perkara mana tentulah semua  manusia mengakui akan kebaikannya, karena memang persatuan ini adalah suatu alat yang dapat menghasilkan maksud yang besar, begitu pula menjadi sendi bagi manusia untuk mencari bahagia, sejahtera, kesenangan, kemakmuran.”

Ia menyambut baik usaha untuk mempersatukan perserikatan perempuan. Ini terbukti ketika salah satu putusan kongres berhasil menyepakati untuk mendirikan badan permufakatan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Dalam usulan yang diajukan Aisyiyah kepada kongres, tercantum poin, supaya KPI menjadi suatu badan perhimpunan perkumpulan perempuan se-Hindia Timur agar menjadi perantara persatuan perkumpulan satu dengan lainnya.

***

Persatuan gerakan perempuan se Hindia Timur ini sejalan dengan cita-cita ‘Aisyiyah yang gerakannya telah menyebar di berbagai daerah di Hindia Timur.  Salah satu putusan penting lainnya dari Kongres adalah menerbitkan surat kabar yang diusulkan ‘Aisyiyah di samping beberapa organisasi lainnya. Di sinilah peran penting Siti Hayinah. Bersama lima orang lainnya, ia terpilih sebagai anggota redaksi surat kabar Isteri keluaran PPI.

Sejalan dengan pandangannya seputar persatuan manusia, menurut Hayinah, manusia harus saling berhubungan dan berdamai, sehingga rukun dan terwujud persatuan. Dalam tulisannya yang lain tentang ‘Di mana Pusatnya Perdamaian Kita’, Hayinah menyatakan bahwa nilai-nilai perdamaian yang menjadi penopang persatuan juga menjadi bagian dari ajaran Islam.

Ia mengingatkan, bahwa Islam menyeru umatnya agar berbudi tinggi, berbuat baik kepada sesama manusia dengan akhlak yang utama, dan berbuat adil bahkan kepada orang yang memusuhi dan menyakitkan hati. Ia berpesan sebagaimana Islam mengajarkan, ‘janganlah melakukan kedzaliman atau bersikap tidak adil karena perbedaan agama.’ Perbuatan tidak adil, ungkap Hayinah, dapat menimbulkan keributan sehingga tidak terwujud perdamaian.

Editor: Nabhan

Avatar
6 posts

About author
Redaktur Majalah Suara Aisyiyah
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *