Perspektif

Gus Baha: Cara Mudah Menjadi Waliyullah

3 Mins read

Pada dasarnya manusia tidak lepas dari kebutuhan dasar seperti, makan dan minum. Ini bukan hanya perkara fisik, namun dibalik aktivitas makan dan minum terdapat kedalaman makna spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam al-Qur’an, tepatnya pada surah al-A’raf ayat 31, Allah Swt berfirman, “Makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”. 

Ayat ini, menurut tafsir Ibnu Abbas yang dikutip oleh Imam Bukhari, mengajarkan bahwa kita boleh menikmati apa yang ada, asalkan menghindari dua hal, yakni kesombongan dan berlebih-lebihan (Purbo, 2024). Bahkan Menurut Gus Baha melalui makan dan minum seseorang bisa mencapai derajat kewalian.

Pengertian Waliyullah

Waliyullah merupakan gabungan dari lafadz “wali” dan “Allah”. Kata “wali” adalah bentuk mufrad (singular), sedangkan bentuk jamak-nya (plural) adalah “awliya”. Waliyullah artinya kekasih Allah. Jadi bentuk jamak-nya “awliya” Allah (para kekasih Allah). Dikatakan kekasih Allah karena ia sangat dekat dengan Allah, sehingga Allah menjadi pemelihara dan penolong bagi kekasih-Nya.

Abu Qoasim Abdul Karim al-Qusyairi mengartikan wali dengan pengertian akif dan pasif. Pengertian aktif yaitu orang yang melakukan kepatuhan kepada Tuhan secara terus-menerus. Sedangkan pengertian pasif adalah orang yang penjagaannya diurus oleh Allah dan urusannya senantiasa dilindungi oleh-Nya.

Teori perwalian dalam kalangan sufi baru muncul pada kahir abad IX M/III M ketika Sahl al-Tusturi, al-Kharraj, dan Hakim al-Tirmidzi menulis tentang itu. Dalam hal ini waliyullah adalah orang yang dekat dengan Allah. Beriman kepada semua yang diajarkannya, sungguh-sungguh dalam menjalankan segala perintahnya dan menjauhkan diri dari larangannya. Para waliyullah adalah orang-orang yang suka berbuat baik, berlaku adil, bersabar, senantiasa bersyukur, bertawakkal, dan mencintai kesucian (Badrudin, 2019).

Baca Juga  Bully di Sekolah, Mengapa Jangan Dianggap Enteng?

Ada beberapa macam kedudukan waliyullah, yaitu. Pertama, Wali Quthub, yakni seorang penghulu tertinggi, hanya ada seorang pada setiap masa. Pada masanya dialah yang memimpin dan menguasai semua wali di seluruh dunia. Sebagaimana Syekh Abdul Qodir al-Jailani. Kedua, Wali al-Autad, berarti tiang atau pasak. Jumlah wali ini pada setiap masa empat orang. Masing-masing menguasai wilayah barat, timur, utara, dan selatan. Ketiga, Wali Al-Nujaba, berarti yang mulia. Jumlah mereka dalam suatu masa delapan orang. Wali ini selalu disukai oleh orang, dimana-mana mendapatkan sambutan baik dan tidak merasa dirinya wali.

Selain wali-wali yang disebutkan di atas, menurut Gus Baha dalam pengajiannya via Youtube (Channel Santri Gayeng) berjudul, “Nikmatilah Kopimu” terdapat juga yang namanya Wali Athfal. Athfal itu jamak dari thiflun (anak kecil), yakni wali yang tidak mau memikirkan dunia sama sekali. Kegiatannya hanya bermain seperti anak kecil, bermain lapar pulang, makan, bermain lagi. Meski kelihatannya secara fisik bermain, namun di dalam hati dan bentuk spiritualitas mereka memiliki tauhid yang tinggi, yakni mereka tahu bahwa urusan mereka ada di tangan Allah. Sehingga hatinya tidak pernah resah, susah dan takut.

Tidak pernah resah dan takut merupakan ciri-ciri seorang wali. Sebagaimana dikatakan oleh Gus Mus bahwa ciri seorang wali adalah, “balane Gusti Allah, kuwi ora duwe wedi ora duwe susah” (ciri seorang wali, temannya Allah, itu tidak memiliki rasa takut dan rasa susah) (Najmuddin, 2016).

Menjadi Wali Lewat Makan dan Minum Menurut Gus Baha

Dalam beberapa pengajiannya via Youtube (Channel Santri Gayeng) Gus Baha sering membahas kehidupan sehari-hari yang ujungnya bermuara pada satu titik, yakni menguatkan tauhid. Dimana dalam setiap keseharian kita mengandung kebesaran, rahmat dan kasih sayang Allah. Salah satu kegiatan sehari-hari manusia adalah makan.

Baca Juga  Gus Baha’: Sebaik-Baik Ibadah adalah Kerja

Makan menurut Gus Baha bukan sekedar aktivitas fisik, sebab menurut Gus Baha sebagaimana dalam pengajiannya mengatakan: “itu ada orang jadi wali karena sering makan, karena setiap makan dirinya selalu ingat, ya Allah betapa dhoif-nya (lemah tidak kuat). Saya yang katanya presiden, rektor, orang penting, pejabat, orang kaya, ternyata kalau tidak makan lemas. Apa hebatnya makhluk yang bergantung makhluk yang lain, yakni makanan”.

Karena memiliki rasa betapa lemahnya dan kecil di hadapan Allah, sehingga para wali-wali itu kalau makan sadar dirinya lemah. Betapa dirinya bergantung pada makanan, sesuatu yang tergantung itu artinya tidak hebat tidak tuhan. Sehingga untuk menjadi wali mendapat ridhonya Allah itu sebenarnya sederhana.

Gus Baha mengingatkan bahwa seharusnya rasa syukur itu tidak memerlukan syarat yang berat-berat, artinya jangan tunggu sukses dan mewah dulu baru beryukur. Makan dan minum merupakan tindakan yang sederhana namun merupakan bagian dari proses spiritual menjadi wali Allah. Sering kali kita lupa untuk bersyukur atas nikmat sederhana, seperti makanan yang kita santap setiap hari.

Bahkan dalam beberapa kesempatan Gus Baha mengatakan, “hendaknya orang itu berpikir, bahwa nikmat Allah bermacam-macam. Ada nikmat lahir dan nikmat batin, nikmat lahir itu seperti bisa ngopi. Sedangkan nikmat batin bisa membayangkan hal-hal indah yang penuh kebaikan. Selalu memikirkan pemberian-pemberian atau nikmat Allah, jadi sepanjang hidupnya hanya memikirkan nikmat, bukan memikirkan kesusahan, ruwet”.

Kesederhanaan dalam bersyukur adalah kunci untuk mencapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Dengan bersyukur atas hal-hal kecil, kita dapat merasakan kedamaian batin dan kebahagiaan sejati.

Daftar Referensi

Purbo, N. (2024, Agustus 11). Ternyata Bisa jadi Wali Jalur Makan Minum, Penjelasan Gus Baha. Diambil kembali dari liputan6.com.

Baca Juga  Cara Menangani Korupsi dalam Al-Qur'an

Badrudin. (2019). Waliyullah Perspektif al-Qur’an: Penafsiran Ibnu Taimiyah tentang Kekasih Allah. Serang: Penerbit A-Empat.

Najmuddin, A. (2016, Oktober 30). Gus Mus: Ciri Waliyullah itu Tidak Takut dan Susah. Diambil kembali dari nu.or.id.

Editor: Soleh

Related posts
Perspektif

Konsep Waktu Ibadah di Era Kalender Hijriah Global Tunggal

5 Mins read
Sejak diperkenalkan konsep Kalender Islam Global Turki 1437/2016 atau Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) berbagai respons bermunculan, baik pro maupun kontra. Pada…
Perspektif

Tak Perlu Fanatik Buta pada Nasab

3 Mins read
Sudah dua tahun terakhir, publik kita diriuhi dengan kebingungan demi kebingungan. Publik sudah cenderung lama berputar dalam lingkaran  ambiguitas, ujaran tidak mengenekan…
Perspektif

Jalan Terjal Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua

2 Mins read
Dunia pendidikan sejatinya merupakan ranah di mana integritas dijunjung tinggi. Namun, berbagai praktik di lapangan masih menunjukkan tantangan pendidikan yang serius, khususnya terkait karakter-karakter…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *