Syah Wali Allah adalah tokoh yang dekat dengan ijtihad. Seiring dengan perkembangan zaman dalam menghadapi persoalan kemaslahatan aktivitas ijtihad sangat diperlukan. Hal tersebut dikarenakan setelah Nabi Muhammad wafat Al-Qur’an dan hadits menjadi peninggalan Nabi. Sedangkan, permasalahan pada saat ini jauh setelah Nabi wafat sangatlah beragam. Oleh sebab itu sangat diperlukan ijtihad sebagai sumber rujukan ketika ditemukan dalil yang jelas. (Badi’, 2013)
Menurut Syah Wali Allah (1385) hakikat ijtihad sebagaimana dipahami menurut pendapat para ulama adalah “pengerahan seluruh kemampuan dalam rangka memperoleh suatu hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci secara umum berasal dari empat sumber, yaitu Alkitab, as-sunah, ijma, dan qiyas.”
Biografi Syah Wali Allah
Ahmad bin Abdurrahim Qut Buddin ad-Dihlawi atau yang lebih dikenal dengan Syah Wali Allah lahir di Delhi pada tanggal 4 Syawal 1114 H / 21 Februari 1703 M. Ia dikenal dengan sebutan Wali Allah karena kebaikan dan kesalehan yang dimilikinya. Ayahnya bernama Abdurrahim adalah seorang sufi dan teolog yang cukup terkenal di India. Seorang pendiri dan guru dari Madrasah ar-Rahimiyyah di Delhi.  (Dahlan e. a., 1996).
Ayahnya mengajarkan pendidikan akademis dan spiritual. Pendidikan Syah Wali Allah dimulai sejak umur 5 tahun di madrasah milik ayahnya sendiri. Di umur 7 tahun, Syah Wali Allah telah menghafal 30 juz Al-Quran. Sampai umur 16 tahun ia sudah memperoleh pengetahuan tentang tafsir, hadis, tasawuf, filsafat Islam, fikih, ilmu kalam, dan politik. Ilmunya dikuasai dengan baik karena kecerdasan otak yang dimilikinya.
Ketika ayahnya pada saat itu meninggal dirinya menjadi pengajar dan mengabdi hingga usia 29 tahun. Di samping itu ia juga tetap menimba ilmu di kota Mekkah dan Madinah bersamaan dengan ibadah hajinya dengan perjalanan selama 14 bulan.
Ijtihad dalam Islam
Ketika Islam pertama kali diturunkan segala bentuk ketentuannya sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits. Nabi Muhammad mengaplikasikan dengan menyesuaikan kondisi masyarakat pada saat itu secara praktis dan tidak terdapat perbedaan.
Ketentuan Islam yang telah diatur sebagaimana mestinya memang ditunjukkan kepada hambanya untuk menjadi tolak ukur atau sebuah rujukan dalam menjalani kehidupan sebagai manusia yang menganut agama Islam (Badi’, 2013). Banyaknya hukum yang telah diberlakukan hingga membuat pentingnya sebuah ketentuan.
Salah satu ciri dari syariat Islam adalah memiliki ketentuan yang mencakup secara luas, maka dari itu Islam memberikan kemudahan bagi penganutnya untuk mencapai kemaslahatan dalam sebuah masalah. Hal ini tak lain agar tatanan kehidupan manusia tidak berujung permusuhan dan kebencian yang dapat merusak hubungan antara manusia.
Banyaknya penafsiran hukum Islam yang berlaku serta beragam, setiap daerah memiliki budaya masing-masing. Oleh sebab itu ijtihad datang dengan konsep yang universal, mencakup semua demi memperoleh suatu hukum syariat yang dapat diterima.
Para mujtahid merumuskan metodologi ijtihad sebagai bahan dasar untuk menggali makna-makna yang terkandung dalam Al-Quran dan hadits yang memiliki pemahaman tersirat dan rahasia. Metodologi ini berfungsi untuk mengembangkan pemahaman dari segi pembahasan dan substansinya.
Karena Syah Wali Allah dikenal sebagai bapak intelektual, maka gagasan ijtihad memiliki hubungan erat dengan penggunaan akal dan nalar dalam suatu permasalahan. Akal mengendalikan seluruh indera manusia. Akal juga mampu memahami syariat lebih rasional, karena menurut dirinya syariat bukan hanya tentang perintah dari Tuhan.
Dalam memahami syariat beliau menjelaskan bahwa syariat memiliki tujuan kemaslahatan manusia. Dalam hal ini-lah tanggung jawab manusia sebagai makhluk untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat.
Pemikiran Ijtihad Syah Wali Allah
Ijtihad adalah ruh yang menghidupkan Islam secara terus-menerus. Jadi aktivitas ijtihad tidak boleh berhenti. Karena Islam selalu mencari bentuk-bentuk yang baru untuk mencapai sesuatu yang direncanakan dan diharapkan.
Bentuk-bentuk baru lahir ketika kemaslahatan dapat diwujudkan pada setiap perkembangannya, menyesuaikan dengan kondisi dan situasi sosial. Maka sangat lazim jika hukum berubah dengan perkembangan zaman, dasar dari perubahan-perubahan ini adalah kemaslahatan manusia.
Menurut Husain Hamid Hasan, dasar dan syariat adalah hikmah dan terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah secara menyeluruh. Tujuan kemaslahatan adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan serta tetap memelihara hukum syara’Â (Hasan, 1971).
Islam dapat berkembang pada masyarakat modern dan juga tradisional. Ketika berhadapan dengan masyarakat modern. Islam dituntut untuk dapat menghadapinya. Dalam hal ini ijtihad kembali menjadi sesuatu yang penting dan diperlukan dalam menyelesaikan segala persoalan yang datang.
Kerangka Ijtihad Syah Wali Allah
Adanya ijtihad masalah-masalah baru bisa diatasi oleh seorang mujtahid. Hukum satu dengan yang lain itu akan berbeda pemahaman jika tidak ada ijtihad. Fakta menunjukkan bahwa hukum harus disertai alasan yang melatarbelakangi atau yang disebut dengan illat, serta adanya rukun dan syarat. Isi kandungan dalam Al-Quran dan hadis tidak bisa dipahami dengan mudah begitu saja. Jika salah memahami isinya maka kesesatanlah yang akan didapat.
Syah Wali Allah menetapkan beberapa cara untuk memahami kandungan hukum dalam Al-Qur’an yaitu dengan memahami seluruh isi yang terkandung, tingkatan makna yang ditunjukan kepada nabi Muhammad, tingkatan makna yang disebutkan sahabat, dan mengenali tempat berlabuhnya suatu hukum.
Analisis dilakukan oleh Syah Wali Allah bertujuan untuk melestarikan ijtihad dengan mengambil petunjuk dari empat sumber yaitu Al-Qur’an, as-sunah, ijma, dan qiyas sebagai rujukan untuk menetapkan suatu hukum. Syah Wali Allah juga manggabungkan pendapat empat madzhab dengan mengambil jalan tengah (Syah Wali Allah, 1385).
Ada dua kerangka ijtihad Syah Wali Allah. Pertama, dengan cara menganalisis perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat islam; Kedua, memahami suatu hukum tidak hanya dengan teks saja namun juga meneliti konteksnya.
Editor: Nabhan