Budaya Ngopi
Budaya ngopi dan ngafe tentunya tak asing bagi pemuda di zaman sekarang. Hampir di setiap sudut kota-kota besar, ditemukan warung kopi, tempat ngopi, atau Coffee Shop yang biasanya digunakan oleh para pemuda untuk sekadar ngobrol, menyelesaikan pekerjaan, ataupun mengerjakan tugas.
Coffee Shop atau kedai kopi saat ini sudah lebih dari hanya dari sekadar untuk ngopi, banyak dari pengunjung Coffee Shop yang biasanya melepas penat, menikmati senja ataupun untuk me time.
Lalu bagaimana kopi dan kedai kopi dalam konteks sejarah Turki Utsmani?
Hadirnya Kopi di Negara Utsmani
Ketika Turki Utsmani berhasil menaklukan wilayah Arab di bawah Selim I membuka jalur perdagangan bagi negara-negara Arab pada abad ke-16. Kemungkinan, orang-orang Yaman yang membawa kopi ke Istanbul. Sebelum mencapai Istanbul, kopi oleh pedagang Yaman di bawah dan disebar ke wilayah Utsmani lainnya di negara Arab seperti Damaskus dan Arab.
Tidak mengherankan jika bahasa Turki untuk kopi adalah kahve, yang merupakan berasal dari bahasa Arab, qahwa. Lalu lewat Utsmani, kopi kemudian menyebar ke beberapa negara di Eropa, dan diadopsi menjadi kaffe, caffe, kafe, dan Coffee, semuanya berakar dari bahasa Turki yang menyerap bahasa Arab asli (Kia 2001, 234).
Terlepas dari penentangan keras dari kaum konservatif, popularitas dan konsumsi kopi menyebar dengan cepat. Pada dekade akhir abad ke-16, konsumsi kopi telah menjadi umum, bahkan kota-kota terpencil di Anatolia memiliki kedai kopi. Para pedagang dari Suriah yang memperkenalkan kopi ke Istanbul menikmati untung emas dengan penghasilan ribuan emas.
Yaman sangat menikmati dari keuntungan produksi kopi yang memberikan dampak bagi pembangunan pelabuhannya. Kairo di sisi lain, befungsi sebagai pusat perdagangan kopi dan keuntungan yang diperoleh dari perdagangan ini, meningkatkan poisisi komersialnya di Mediterania Timur.
Munculnya “Coffee Shop” di Istanbul
Sejarawan Mustafa Ali, menulis bahwa kedai kopi pertama di Istanbul dibuka untuk bisnis pada tahun 1552 atau 1553. Sementara sejarawan lain, Ibrahim Peçevi, menyatakan bahwa kopi dan kedai kopi muncul di Istanbul pada tahun 1554–1555.
Pada pertengahan abad ke-17, Coffee Shop ditemukan di setiap sudut kota Utsmani dan bahkan beberapa desa mempunyai satu kedai. Penulis traveller Utsmani abad ke-17, Evliya Celebi dengan sangat bagus menggambarkan Coffee Shop di kota-kota besar, dalam catatanya ada Coffee Shop yang bisa melayani hingga 1.000 pengunjung dalam satu waktu.
Dalam praktiknya kedai kopi di Utsmani tidak hanya sebagai untuk ngopi dan menghisab tembakau, tetapi juga sebagai tempat pertunjukan seni seperti pertunjukan musisi, pendongeng, dan pendongeng yang sedang menghibur bagi para pelanggan.
Coffee Shop juga dikhawatirkan oleh beberapa pihak karena diduga sebagai forum diskusi tentang politik yang beberapa di antaranya bersifat hasutan. Tak jarang juga Coffee Shop menjadi tempat titik awal kumpul untuk melakukan demo (Master: 2009, 138).
Sejarawan Mustafa Ali, mencatat pada akhir abad ke-16, mengamati bahwa di Kairo ada ribuan Coffee Shop. Penyebaran dan munculnya Coffee Shop bukannya tanpa halangan. Kecaman dan larangan muncul dari para Ulama yang menuduh kopi sebagai minuman baru dan merupakan pekerjaan Iblis.
Banyak di antara para ulama memfatwakan bahwa kopi sebagai minuman yang memabukkan setara dengan anggur yang diharmakan dalam Al-Qur’an. Kerajaan dan ulama menjadikan kopi sebagai kambing hitam atas penurunan moralitas publik dan meningkatnya pelanggaran yang tidak bermoral dan munculnya perilaku pemberontakan.
Namun perlawan hadir bagi pendukung minuman ini, mereka menafsirkan hukum yang tercatum dalam Al-Qur’an dan hukum Islam yang menolak menyejajarkan dengan anggur. Justru malah menekankan manfaat dari minum kopi, bagi mereka asalkan tidak menganggu kewajiban agama sehari-hari, tidak ada yang dari menikmati beberapa cangkir kopi untuk konsumsi sehari-hari.
Bermacam Sangkaan kepada Kopi
Pada masa pemerintahan Murad IV, penguasa menindak kedai kopi. Mencela mereka sebagai pusat kegiatan yang melanggar hukum. Banyak kedai kopi akhirnya tutup, dan beberapa peminum kopi dan perokok dieksekusi. Bagi sultan dan para menterinya, kekacauan sosial yang terjadi dan anarki politik yang disebabkan dengan meningkatnya jumlah Coffee Shop .
Pada bulan September 1633, terjadi kebarakan hebat yang membakar ribuan toko di ibu kota. Sultan menafsirkan kejadian itu sebagai tanda murka Tuhan dan menuntut restorasi moral. Akhirnya, penggunaan kopi dan tembakau dilarang.
Coffee Shop yang sebelumnya digunakan sebagai forum diskusi dan mobilisasi sosial, ditutup. Sementara, para pedagang kecil terpukul dengan larangan itu dan para suadagar kaya selamat karena memiliki modal yang cukup.
Meskipun melakukan tindakan represif, negara tidak bisa menegakkan aturan larangan. Pemerintah akhirnya menyadari dan mengakui bahwa impor, distribusi, dan penjualan kopi dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan.
Suleyman II (1687-1698) akhirnya memberlakukan pajak atas penjualannya dan befungsi menambah kas negara. Pemerintah pusat juga meningkatkan keuntungan dari penjualan kopi dengan menolak hak pemanggangan kopi kepada penawar tertinggi (Kia 2001, 237)
Coffee Shop Indah di Istanbul
Di Istanbul pada abad ke-18 dan ke-19, dibagung Coffee Shop yang indah dengan gaya Rococco berornarmen— kayu dibingkai yang dinteriornya diukit dan dicat. Juga dilengkapi dengan kompor dan arang untuk memanaskan kopi.
Disediakan juga sisha untuk merokok dan dekorasi air mancur untuk mendinginkan udara selama musim panas. Sehingga, dengan fasilitas yang sudah disediakan, para pelanggan bisa meminum kopi sambil mendengarkan musik, bercukur, merokok, mendengarkan cerita, atau dongeng.
Bisa juga mereka bertemu dengan teman-teman mereka untuk bersantai. Karena kedai ini memuat ornamen kayu, sehingga rawan dengan kejadian kebakaran yang biasanya terjadi di pusat kota.
Popularitas kopi tidak terbatas di pusat kota kerajaan. Di provinsi yang jauh dari kerajaan, dan di daerah terpencil di Timur Tengah. Meminum kopi dapat menyatukan berbagai anggota suku Arab.
Sebagai kelompok nomaden mereka makan sangat sedikit, terutama ketika kedatangan tamu, yang hanya menyuguhkan roti dan semangkuk susu unta. Ini menjelaskan mengapa mereka kurus dan ramping.
Pengembara Arab menyalakan api unggun yang berasal dengan membakar tamariska, dedalu dab semak gurun lainnya dengan cata menggali tanah di tengah-tengah tenda. Lalu kemudian sang tamu dipersilahkan duduk di karpet yang memisahkan kamar wanita dan pria. Terkadang upacara menyiapkan kopi berlangsung selama satu jam.
Cara Membuat Kopi
Persiapan dimulai dengan memanggang kacang kemudian dihancurkan di atas mortar. Lalu teko kopi sebagai simbol keramahan di tempatkan di abu api unggun hingga mendidih.
Sebuah penghinaan di antara orang Arab jika kopi yang disajikan kepada pengunjung dihidangkan oleh wanita. Putra syekh (kepala suku) menyiapkan kopi sebagai tanda hormat kepada tamu.
Ketika kopi sudah siap, cangkir kosong diserahkan kepada tamu, lalu dikembalikan sembari mengatakan “semoga kamu hidup”.
Kopi kemudian dituangkan ke dalam cangkir oleh tuan rumah dan diserahkan kepada tamu. Biasanya mereka setelah ngopi sambil membicarakan urusan, dan keperluan mereka, sambil merokok dan bergandengan tangan.(Kia 2001, 240).
Editor: Rozy