بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun” (QS. Saba’: 15).
Mendapatkan kehidupan yang baik merupakan keinginan bagi seluruh makhluk hidup yang ada di alam raya ini, termasuk manusia.
Penuh keberkahan dan kebermanfaatan dari apa yang telah Allah SWT anugerahkan untuk dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan.
Namun, tak jarang hal itu terabaikan. Apa yang dilakukan manusia, sadar atau tidak sadar, terkadang menimbulkan kemudaratan.
“Apa yang kita lakukan, maka itu yang akan kita dapatkan” menjadi seolah peringatan bagi kita terhadap konsekuensi dari tindak tanduk yang dilakukan didalam kehidupan ini.
Persoalan lingkungan merupakan persoalan yang besar, dimana dampaknya sangat luar bisa dapat berpengaruh kesegala aspek kehidupan. Manusia dapat dikatakan sebagai sumber utama dari kerusakan lingkungan ini.
***
Sebagaimana firman Allah SWT: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat ini sebagai sarana intropeksi dan peringatan pada manusia sebagai makhluk yang ditugaskan menjadi khalifah yang tidak lain dalam memegang amanah sebagai tugas utama memakmurkan bumi atas dasar ketaatan kepada Allah SWT.
Kerusakan diperkotaan dan dipedesaan baik yang berada diatas laut atau sungai ataupun yang tidak tersebut disebabkan karena perbuatan manusia yaitu kemusyrikan dan kemaksiatan adalah penyebab dari timbulnya kerusakan di alam semesta.
Kerusakan seperti kegersangan, kekeringan, kebakaran, banjir, penyakit, kegelisahan dan tawanan oleh musuh, sulitnya mencari penghidupan, kezaliman, dosa manusia, dan lain sebagainya. Semua itu terjadi supaya manusia merasakan sebagian balasan akibat perbuatan mereka sebelum merasakan balasan diakhirat agar mereka kembali kepada jalan yang benar.
Upaya mengatasi krisis lingkungan hidup bukanlah melulu persoalan teknis, ekonomis, politik, hukum, dan sosial budaya. Melainkan perlunya upaya penyelesaian dari berbagai prespektif, termasuk salah satunya yaitu perspektif fikih yang merupakan “jembatan penghubung” antara etika (prilaku) dan norma hukum untuk keselamatan alam semesta.
Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman hidup manusia, didalamnya berisi petujuk dalam menjalankan konsep hablumiminallah, hablumminannas, dan hablumminal’alam. Yang ketiganya harus berjalan beriringan untuk dapat mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan.
Kesadaran
Undang Undang No. 23 Tahun 1997, Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Sudah kita ketahui bersama bahwa hidup didunia, tidak hidup seorang diri namun berada pada lingkungan hidup yang dimaksud diatas. Dan seharusnya kita sadari bersama bahwa Allah telah menganugerahkan sumber kehidupan untuk senantiasa dijaga dan dipelihara serta dilestarikan untuk kelangsungan hidup.
QS. Al-Baqarah (22):
“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui”.
Kesadaran sangat penting. Jika kita memilliki kesadaran akan moral sebagai fondasi dasar terkait pemahaman akan lingkungan sebagai kelangsungan hidup mulai dari bagaimana cara bersikap, pelestariannya, dan tata kelola.
Pemahaman
Allah pun telah mengatakan bahwa pengabaian terhadap Al-Qur’an dan perintah Rasulullah akan menimbulkan kerusakan. Sikap eksloitatif yang destruktif terhadap alam ini dapat berimplikasi pada kemusnahan kehidupan dan ekosistem secara keseluruhan.
Kita perlu paham bahwasannya lingkungan hidup merupakan satu kesatuan sistem dan memiliki hubungan didalamnya yang banyak terjadi interaksi dan kolerasinya. Dalam pandangan Islam hal tersebut tidak terlepas dari proses penciptaan Allah yang tidak secara kebetulan.
Di mana kejadian alam semesta yang sistematik mengarahkan manusia agar mampu menghayati wujud, keesaan, dan kebesaran Allah yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT agar manusia beriman.
QS. Hud (61):
“Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari Bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampun kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya…”.
QS. Az-Zukhruf (43):
“Maka berpegang teguhlah engkau kepada (agama) yang telah diwahyukan kepadamu. Sungguh, engkau berada di jalan yang lurus”.
Perlu diketahui bahwa merusak lingkungan merupakan sifat orang munafik dan pelaku kejahatan. QS. Al-Baqarah (205): “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan dibumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.
Perbaikan
Sebagai makhluk sosial, prilaku amar ma’ruf nahi munkar perlu ditegakkan. Dalam fikih, terdapat kaidah yang mengatakan “selama tidak berbahaya dan membahayakan”.
HR Ibnu Majah: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain”. Hal ini dapat dikatakan bahwa kebolehan dalam pemanfaatann namun tetap harus mengingat apa yang dlakukan tidak membahayakan bagi siapapun atau aspek manapun.
Pelestarian dalam bahasa Arab semakna dengan al-islah yang berarti menjadikan sesuatu tetap adanya dan menjaga keberadaannya karena dilandasi kasih sayang dan rasa ini perlu ditumbuhkan jika ingin adanya perbaikan. Perbaikan tanggung jawab bersama.
Minimal ketika tidak bisa melakukan perbaikan, maka janganlah melakukan kerusakan.
QS. Al-A’raf (85):
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan dibumi setelah (diciptakan) dengan baik. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu orang beriman”.
HR At-Tirmidzi:
“Sayangilah makhluk yang ada dibumi, niscaya makhluk yang ada dilangit akan menyayangi kalian…”.
Sebagaimana Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Mughirah Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari:
“Sesungguhnya Rasulullah telah menetapkan Naqi’ sebagai daerah konservasi, begitu pula Umar menetapkan Saraf dan Rabazah sebagai daerah konservasi”.
Islam sebagai Rahmatan Lil’alamin yaitu pembawa kebaikan untuk seluruh alam, untuk seluruh umat manusia. QS. Al-Anbiya (107): “Kami tidak mengutus engkau,Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia”.
Sebagaimana tujuan dari syariat agama (maqāsid al-syarī’ah) yaitu: hifzu al-nafs (melindungi jiwa), hifzu al-aql (melindungi akal), hifzu al-māl (melindungi kekayaan/property), hifzu al-nasb (melindungi keturunan), hifzu al-dīn (melindungi agama) hifzu al-‘ardl (memelihara kehormatan). Bahkan hifzu al-bi ‘ah (memelihara lingkungan)⁷.
Sehingga dalam tindak tanduk manusia dimuka bumi ini hendaknya berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman hidup manusia, agar jauh dari kesesatan, keresahan dan kesengsaraan. Akan terbentuk kesatuan dan kemakmuran jika kesadaran sudah tertanam dalam sukma.
***
Baik kesadaran, pengetahuan maupun perbaikan perlu ditanamkan sejak dini. Dimulailah dari diri sendiri untuk memupuk kesadaran, membulatkan tekad dan membawa perubahan. Serta ingat sebagaimana pada firman Allah QS. Ali‘Imran (103):
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi saudara…”.
Editor: Rozy