Komentar Mahfud MD Berkomentar Terhadap Film Ikatan Cinta
“Memang Menteri enggak boleh nonton sinetron?”, “ini logical fallacy, hanya menilai kinerja seseorang dari beberapa twittan”, “harusnya anda berbaik sangka dengan seseorang”.
Begitulah beberapa komentar orang di media sosial terkait dengan kritik saya kepada Mahfud MD mengenai cuitannya akun twitternya mengenai pendapatnya mengenai sinetron Ikatan Cinta.
Di akun twitternya, cuitan itu tidak hanya retweet oleh 1.462 orang, disukai 5.451 orang, dan ditanggapi dengan kutip tweet sebanyak 4.574 orang pada 15 Juli 2021. Sebagian besar, mereka mengkritik cuitan Mahfud MD tersebut dalam konteks yang sedang terjadi saat ini.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dengan menganut sistem demokrasi Pancasila, apa yang dilakukan oleh Mahfud MD itu dibolehkan dan sah-sah saja. Apalagi, sebagai manusia biasa, ia membutuhkan hiburan dan tontotan di tengah kepenatan pekerjaan sehari-hari.
Sebagai bagian dari warganet, ia merasa perlu untuk menjelaskan hasil tontonannya yang disesuaikan dengan kacamata hukum sebagai bidang yang selama ini digelutinya. Apalagi, di balik cuitan tersebut, orang tidak pernah tahu, apa yang telah ia kerjakan dan lakukan sebelumnya.
Dalam konteks ini, melihat figur Mahfud MD yang menonton sinetron tersebut dan kemudian menciutkan di media sosial itu tidak jadi persoalan yang perlu diperdebatkan. Bahkan, orang boleh menanggapi poin-poin cerita yang dijelaskan tersebut.
Tiga Masalah dalam Cuitan Mahfud MD
Namun, cuitan Mahfud MD ini bermasalah karena tiga hal.
Pertama, konteks krisis pandemi. Saat ini Indonesia sedang mengalami bencana sosial yang sangat besar akibat pandemi. Di tengah varian delta, tidak hanya bertambah orang yang terkena infeksi ini menjadi sebanyak 2.670.046 orang dan orang yang meninggal diakibatkan karena itu juga menjadi 69.210 orang.
Di pelbagai daerah, banyak tenaga kesehatan di Rumah Sakit kewalahan dalam melayani anggota masyarakat yang terdampak. Bahkan, di beberapa kota, sejumlah Rumah Sakit kekurangan oksigen.
Dalam kasus Rumah Sakit di Jogja, kekurangan pasokan oksigen ini justru menyebabkan kematian. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang menempati urutan kematian tertinggi karena Covid-19 di Asia Tenggara, mengakibatkan 10 negara menutup kedatangan orang Indonesia ataupun mereka yang pernah singgah 20 hari sebelumnya di Indonesia. Bahkan, Jepang meminta warg anegaranya yang bekerja di Indonesia untuk dipaksa kembali ke kampung halaman untuk menyelamatkan mereka.
Kondisi ini diperpuruk dengan krisis ekonomi yang dialami oleh sebagian anggota masyarakat, khususnya kelas menengah dan bawah yang bergantung hidup melalui pekerjaan harian mereka yang tutup karena pademi.
***
Kedua, tindakan meremehkan, penyangkalan, dan koruptif pejabat negara. Sejak awal munculnya Covid-19, sikap pejabat publik yang memegang peranan penting dalam mengurus negara sangat meremehkan pandemi ini.
Sikap meremehkan ini tidak hanya berimbas bagaimana harus bersikap terhadap krisis melainkan juga upaya penyelesaiannya. Sebelum adanya varian Covid-19 terbaru, upaya penyangkalan tersebut bisa dipertahankan dengan kebijakan yang setengah hati.
Namun, kehadiran varian delta ini membuat kebijakan setengah hati tersebut justru menjadi malapetaka untuk semua warga negara Indonesia. Di sini, kebijakan yang lebih mementingkan ekonomi ketimbang pengendalian pergerakan massa secara ketat sekaligus melakukan 3T (Testing, Tracing, and Treatment) sekaligus penyalahgunaan kekuasaan dengan adanya korupsi bansos, mengakibatkan situasi tidak terkendali.
Meskipun sebagai pejabat, sebagaimana dikatakan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang diberikan amanat oleh Presiden Jokowi untuk mengendalikan dan menurunkan angka Covid-19, awalnya menganggap Indonesia masih di bawah kendali. Meskipun demikian, beberapa hari kemudian ia menyatakan bahwasanya situasi justru tidak bisa dikendalikan akibat varian delta ini.
***
Ketiga, identitas Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan. Ia tidak bisa dianggap sebagai warganegara biasa. Melainkan pejabat yang memiliki wewenang kekuasaan dan representasi negara.
Apapun tindakan dan omongannya selalu bernilai penting di mata public. Mengingat jabatannya ini dilakukan bukan karena bentuk kerelawaan dan kerja-kerja pro-bono yang tidak digaji dengan menggunakan uang pajak rakyat.
Di sini, meskipun ia telah merasa bekerja keras telah memberikan kontribusi penting untuk pengendalian Covid-19, cuitannya yang remeh temeh ini di waktu senggang setelah menjalankan aktivitas yang berat di tengah situasi Indonesia yang tak terkendali karena sikap penyangkalan sekaligus meremehkan sebelumnya, membuat cuitannya justru tidak memiliki sensivitas konteks di tengah krisis.
Mahfud MD dan Cuitan Misoginis
Sebelumnya, candaan dalam sebuah forum yang dilakukan oleh Mahfud, di mana kapasitasnya sebagai pejabat publik, menganggap bahwasanya Corona diibaratkan seperti istri menjadi jejak abadi dalam perambah google yang diingat oleh publik.
Tidak hanya memiliki muatan misoginis, melainkan juga adanya semacam pendangkalan nalar bagaimana pejabat publik dalam melihat persoalan Covid-19 ini.
Setiap Gerak-Gerik Pejabat akan Dipantau
Karena itu, di tengah ketidakmampuan elit politik Indonesia dalam menekan tingginya angka Covid-19 yang mengakibatkan bencana sosial di masyarakat, setiap omongan yang keluar dari pejabat negara akan disimak secara seksama dan dalam.
Meskipun itu dimungkinkan untuk individu dirinya dan bagian dari penghiburan, itu bisa menjadi semacam hinaan, sarkasme, sekaligus ketidakpekaan dalam membangun empati di tengah kehidupan masyarakat yang semakin sulit, kebingungan, sekaligus perasaan putus asa.
Mereka melakukan kritik terhadap setiap omongan pejabat publik ini bukan tidak ingin berbaik sangka. Sebaliknya, mereka sedang terluka sebagai bagian dari warganegara yang merasa tidak dipedulikan oleh pemimpin mereka yang saat politik elektoral berlangsung mati-matian meminta mereka untuk dipilih sebagai representasi suara mereka yang bisa menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.
Meskipun demikian, kehadiran Covid-19 ini sebenarnya membuka pelbagai kemungkinan termasuk menelanjangi kebobrokan para elit politik dalam berhadapan dengan konstituennya, salah satunya adalah persoalan kepekaan.
Mereka sangat peka terhadap suara rakyat ketika itu benar-benar untuk kepentingan politiknya. Ketika sudah tidak dibutuhkan, maka suara mereka dibuang dan dicampakkan ke tempat sampah.
Dalam situasi normal, upaya pencampakkan itu bisa ditutupi dengan pelbagai dalih dan argumen. Di tengah pandemi Covid-19, hal itu dibuktikan dengan kinerjanya, apakah benar-benar bisa menyelamatkan nyawa anggota masyarakat ataupun tidak.
Editor: Yahya FR