Falsafah

Ketika Ibnu Sina Berbicara tentang Jiwa

2 Mins read

Pendahuluan

Filsafat Islam memang tidak terlepas dari sumbangsih filsafat Yunani. Karena secara historis, filsafat Islam muncul sebagai adapsi dari filsafat Yunani, salah duanya pandangan dua tokoh ternama yaitu Aristoteles dan Plato.

Banyak di antara ilmuwan muslim yang menerjemahkan karya-karya Yunani. Tetapi tidak hanya sampai menerjemahkan, melainkan mengkaji, mengomentari, memodifikasi, dan mengasimilasinya dengan ajaran Islam. Dengan begitu maka lahirlah pengetahuan baru, filsafat Islam dengan cara pandang alam Islam.

Konsep Jiwa Ibnu Sina

Manusia secara umum, hidup dengan dua perangkat yaitu jiwa dan jasad. Jiwa dalam bahasa Arab disebut nafs (النفس) dan dalam bahasa Inggris disebut soul/spirit.

Menurut Ibnu Sina, nafs ialah kesempurnaan utama untuk membuat manusia mampu bergerak. Selanjutnya, ada jasad yang menjadi kesempurnaan kedua untuk menjalankan aktivitas. Sehingga, jiwa dan jasad menjadi hal yang sangat berkaitan dan saling membutuhkan.

Meskipun begitu, Ibnu Sina berpandangan bahwa jiwa (nafs)itu berdiri sendiri sebagai substansi yang memang bentuknya—secara fisik—tidak sama dengan jasad. Berbeda dengan Aristoteles yang berpandangan bahwa jiwa (nafs)tidak dapat terlepas dari jasad.

Pembagian Jiwa Menurut Ibnu Sina

Ibnu Sina membagi membagi jiwa manusia dalam tiga tingkatan; pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (nafs nabaatiyyah). Di mana dalam jiwa ini, manusia memiliki daya untuk makan, bertumbuh, dan berkembang biak.

Kedua, jiwa binatang (nafs hayawaaniyyah). Jiwa manusia yang memiliki daya gerak dan daya tangkap. Daya tangkap terbagi menjadi daya tangkap indrawi dan daya tangkap batiniyah.

Dengan daya tangkap indrawi manusia sangat membutuhkan jasad melalui indra penglihatan, pendengaran, peraba, dan penciuman. Daya tangkap batiniyah dilakukan melalui indra bersama, indra khayal, imajinasi, indra wahmiyah dan indra pemeliharaan. Bisa dikatakan jiwa binatang pada manusia lebih tinggi fungsinya dari jiwa tumbuhan, karena sudah bisa menghasilkan aktivitas gerak dan merasakan sentuhan.

Baca Juga  Sejarah Filsafat Islam di Indonesia (1): Siapa Sosok Dibaliknya?

Ketiga, Jiwa manusia (al-Nafs Nathiqat). Jiwa manusia memiliki dua daya, daya praktis, dan teoritis. Daya praktis hubungannya dengan jasad, sementara teoritis berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Ada empat tingkatan daya teoritis; akal materil, akal al-malakat, akal aktual, dan akal mustafad.

Jiwa Adalah Substansi Manusia

Substansi utama manusia, menurut Ibnu Sina, adalah jiwa. Karena jiwa tidak akan hancur secara fisik kecuali oleh faktor batiniah, sementara jasad dapat rusak dan mati dengan sentuhan fisik.

Jiwa yang diartikan sama dengan ruh ditiupkan oleh Allah. Hal ini didasari oleh Firman Allah, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”

Kata menyempurnakan dalam ayat ini menunjukkan penyempurnaan pembentukan jasad yang disiapkan untuk menjadi wadah bagi jiwa yang Allah tiupkan. Dan ruh dalam ayat itu sebagai jiwa layaknya cip yang bisa mengaktivasi gerak jasad. Tanpa jiwa, jasad tidak akan hidup. Berbeda dengan jiwa yang bisa tetap hidup tanpa adanya jasad.

Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa tidak akan mati walaupun jasad rusak atau mati. Itulah mengapa jiwa tetap bisa hidup tanpa jasad. Jiwa itu akan kekal bersama dengan kekekalan Allah selama Allah menghendaki itu.

Ketika manusia tidur contohnya, manusia masih bisa bermimpi. Aktivitas mimpi ini merupakan bukti bahwa jiwa kita tetap aktif dan bisa beraktivitas tanpa jasad. Karena ketika jasad tertidur, bisa dikatakan jasad dalam kondisi mati sementara, setelah terbangun ia akan aktif kembali.

Pandangan ini didasari firman Allah, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya”.

Penutup

Disebutkan di atas, bahwa jiwa manusia akan kembali kepada Rabb-Nya. Maka perlulah kita menyiapkan dan menjaga jiwa kita, agar tetap menjadi jiwa-jiwa yang tenang, bersih, hidup, dengan aktivitas tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).

Baca Juga  Filsafat Kejahatan, Asal Muasal Korupsi

Semoga kelak kita menjadi hamba-hamba yang dipanggil dengan panggilan, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Aamiin.

Editor: Rozy

Wardah Hanifah Ramadhani
2 posts

About author
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds