Asal Muasal Kitab at-Thabaqat al-Kubra
at-Thabaqat al-Kubra – Ibn Sa’d, 168-230 H/ 784-845 M, adalah salah satu pelopor penulisan biografi dalam literatur Arab. Ia lahir di Basra dan mempelajari hadis sebelum pindah ke Bagdad.
Selain mendalami kajian hadis, ia juga akrab dengan silsilah Arab, pengetahuan kesukuan pra-Islam, bahkan tradisi Yahudi dan Kristen. Di Baghdad, ia belajar kepada al-Waqidi, sejarawan sekaligus penulis kitab al-Maghazi.
Setelah kematian al-Waqidi, Ibn Sa’d mengabdikan sisa hidupnya untuk menyusun dan mengumpulkan seluruh catatan gurunya dan miliknya sendiri dijadikan sebuah buku. Hasilnya adalah at-Thabaqat al-Kubra, kumpulan biografi dan sejarah paling awal yang ditulis secara komprehensif.
Sebelum karya at-Thabaqat al-Kubra milik Ibn Sa’d ditulis, kitab-kitab biografi Arab sebagian besar hanya berisi daftar nama atau kumpulan kisah tentang pribadi yang terkenal.
Satu-satunya karya yang dapat disebut sebagai kitab biografi dengan standard penulisan, adalah Sirat Rasulallah oleh Ibn Ishaq (w. 767).
Penulisan Kitab at-Thabaqat al-Kubra
Mengenai Ibnu Ishaq, Ibnu Sa’d sendiri mengatakan “yang pertama kali menghimpun riwayat ekspedi Nabi”. At-Thabaqat al-Kubra Ibnu Sa’d menggunakan sumber dan materi penulisan dari daftar nama, riwayat kejadian besar di masa lalu, riwayat yang sezaman Nabi, dan generasi kemudian.
Dengan meletakkan semua materi ini bersama-sama, at-Thabaqat al-Kubra Ibn Sa’d menjadi salah satu karya Arab paling awal yang menghadirkan penulisan yang komprehensif dan universal.
Karya ini dimulai dengan sejarah singkat para nabi. Dari Adam hingga Muhammad, untuk menyebutkan silsilah keilmuan dan ajaran tauhid. Kemudian, pada bagian berikutnya, menjelaskan tentang biografi nenek moyang/nasab Nabi Muhammad.
Bagian shirah Nabi Muhammad sendiri adalah termuat kurang lebih seperempat bagian dari buku ini. Sirah Nabi disebutkan sejak dari lahir di Makkah dan wafat beliau di Madinah.
Termasuk juga kisah masa kecil dan pernikahan beliau. Masa-masa awal wahyu Al-Qur’an, dakwahnya di Mekah, hijrah beliau bersama para shahabat ke Madinah, dakwah serta perjanjian yang beliau sepakati dengan suku-suku Arab, ekspedisi pasukan jihad, hingga riwayat tentang wafat beliau SAW.
Ibn Sa’d juga memuat bab tentang penampilan, kebiasaan, pakaian, makanan, dan harta pribadi Nabi. Bab ini kelihatannya luput dicantumkan oleh pendahulunya, Ibn Ishaq.
***
Sebagai penulis biografi/shirah Nabi, Ibn Sa`d mempertahankan tradisi pengajaran hadis, di mana riwayat disebutkan apa adanya tidak menggunakan narasi dari si penulis.
Meskipun dalam beberapa bab beliau kadang-kadang mengakui telah menggabungkan beberapa laporan menjadi satu kisah. Kemungkinan ini adalah untuk menghindari riwayat yang berulang dan menekan efisiensi.
Ibnu Sa’d sangat teliti dalam mengutip semua riwayat yang diberitahukan dan sampai kepadanya. Termasuk riwayat-riwayat yang saling bertentangan (idhtirab) terhadap sebuah peristiwa yang sama.
Ibnu Sa’d tidak ragu-ragu untuk mengutip tentang kisah-kisah ‘ajaib’, yang muncul dalam jumlah besar. Karena alasan ini, para kritikusnya menyebut bagian shirah Nabi ini hampir tidak dapat diandalkan sebagai sumber bukti yang otentik.
Namun, ini adalah sumber informasi yang tak tergantikan tentang sejarah Islam awal seperti yang diingat atau dibayangkan pada pertengahan abad kesembilan.
Berbeda dengan tulisan Ibn Ishaq, yang karyanya berakhir dengan kematian Nabi Muhammad, Ibn Sa’d melanjutkan kisahnya dengan biografi para penerus Nabi, yaitu para shahabat dan shahabiat yang menjadi perawi hadits.
Biografi bagian ini memuat lebih lebih dari empat ribu nama. Disusun dalam bagian dan sub-bagian menurut generasi, afiliasi suku, dan tempat tinggal. Beberapa nama, seperti pada empat khalifah pertama, diberikan bagian penjelasan cukup panjang.
Namun, sebagian besar terdiri dari daftar singkat yang menyebutkan nama guru dan murid (dari siapa dan kepada siapa dia meriwayatkan dan menerima hadis), serta tanggal kematian, jika diketahui.
At-Thabaqat al-Kubra Tetap Menjadi Sumber Referensi
Terlepas dari krtitik terhadap penerimaan riwayatnya, at-Thabaqat al-Kubra tetep dijadikan referensi penulisan hingga hari ini.
Mengingat isinya, kitab ini tentu bisa menjadi dasar untuk menguji ketersambungan sanad hadis. Selebihnya, riwayat-riwayat yang diperselisihkan tetap bisa digunakan sebagai kritik dan bahan pembanding dengan atsar yang lain.
Maka jelaslah, Ibn Sa’d bukan sekadar seorang yang hanya mengumpulkan semua riwayat untuk mengadvokasi kepentingan para ulam hadis. Sebaliknya, beliau adalah seorang sejarawan yang visi sejarahnya kebetulan memberikan tempat bagi periwayatan hadis.
At-Thabaqat al-Kubra Ibn Sa’d memberikan gambaran formatif tentang model penulisan sejarah Arab pada fase awal.
Loth Otto dalam Origin & Meaning of the Tabaqat, menyebutkan model, koleksi sumber, dan sistematika yang beliau gunakan dalam karya ini kemudian diadopsi dan dimodifikasi oleh penulis karya biografi berikutnya. Banyak di antaranya disusun berdasarkan generasi atau mengelompokkan berdasarkan tempat tinggal.
Yang paling penting, mungkin, kitab at-Thabaqat al-Kubra menggambarkan model penulisan sejarah berdasarkan berita dan narasi individu langsung. Sesuatu yang tidak ditemukan pada transmisi pengetahuan peradaban lain.
Model historiografi ini tetap dipraktikkan atau setidaknya masih berpengaruh hingga awal periode modern di mana sistematika sejarah bersentuhan dengan teknologi.
Ibnu Sa’d Diadili
Pada tahun 833, Ibn Sa’d dipanggil untuk menegaskan sifat dan penciptaan Al-Qur’an yang dikenal sebagai Mihnah.
Sebenarnya sebagaimana yang dialami oleh para ulama sebelumnya, agenda ini adalah lebih kepada pengadilan sepihak dan interogasi intelektual untuk merepresi mazhab yang berlawanan.
Mu’tazilah yang di atas angin diterima pandangan mereka tentang kemakhlukan Al-Qur’an, bahkan diamini sebagai mazhab resmi oleh khalifah al-Ma’mun (813–833), yang berusaha mengendalikan kekuasaan ulama dengan memaksa mereka untuk menyatakan persetujuannya.
Al-Qadi Wadad menyebutkan bahwa Ibn Sa’d memberikan persetujuannya, meskipun kemungkinan dia melakukannya di bawah tekanan. Setelah itu, dia tampaknya dibiarkan dalam damai sampai kematiannya di Baghdad pada usia enam puluh dua tahun.