Kaunia

Pengabdian Akademisi Sejati oleh Sarah Gilbert

3 Mins read

Belakangan ini dunia disuguhkan oleh sosok pahlawan di tengah-tengah ketidak-pastian akibat pandemi berkepanjangan, sosok tersebut bernama Sarah Gilbert.

Ia merupakan seorang ilmuwan yang menemukan vaksin pertama Covid-19 di dunia bersama dengan timnya dari Universitas Oxford. Selain memimpin tim tersebut dalam penemuan vaksin Covid-19, Sarah merupakan seorang guru besar di bidang vaksinologi Universitas Oxford.

Ia pertama kali terjun di dunia akademis pada tahun 1994 di Universitas Oxford sebagai peneliti pasca doktoral dengan menyandang gelar doktor di bidang biokimia dari Universitas Hull. Kiprahnya kemudian berlanjut pada tahun 1999 dengan bergabung menjadi pendidik tetap di universitas tersebut.

Bersamaan dengan itu, ia melanjutkan pengabdiannya sebagai salah satu peneliti utama di Institut Jenner yang meneliti tentang obat-obatan dan vaksin di bawah Universitas Oxford (Anwar, 2021).

Ia dan timnya berhasil menemukan vaksin Covid-19 pertama yang diberi izin oleh otoritas kesehatan dunia (WHO) pada September 2020. Penemuan vaksin tersebut didasari dengan irisan dari kajian pengembangan vaksin virus influenza yang dilakukannya pada tahun 2017. Hal tersebut yang kemudian mendasari Gilbert dan timnya untuk mengembangkan vaksin “Penyakit X”, yakni vaksin bagi istilah penyakit yang belum pernah muncul.

Maka ketika merebaknya kasus Covid-19 pada masa awal yang mana pada saat itu dikenal dengan sebutan Pneumonia Wuhan, Gilbert beserta timnya mengambil inisiatif untuk mengupayakan harus ada alternatif pengobatan untuk berjaga apabila penyakit ini akan merebak secara luas ke depannya.

Maka dengan awal upaya tersebut, pengembangan vaksin ini dilakukan melalui metode vaksin berbasis adenovirus, yakni virus yang menyebabkan semacam penyakit flu namun tidak dapat berkembang biak di tubuh manusia.

Vaksin tersebut diberi nama AZD1222 yang kemudian dalam pengembangannya bekerjasama dengan perusahaan farmasi asal Inggris yakni AstraZeneca. Hingga akhirnya, vaksin tersebut dikenal dengan vaksin Oxford-Astrazeneca yang digunakan untuk menghadapi wabah Covid-19.

Baca Juga  Pilkada di Tengah Covid-19: Ilusi dan Dosa Sosial

Vaksin yang pertama diberikan izin oleh WHO ini memiliki tingkat kemanjuran sebesar 92% efektif mencegah perawatan di rumah sakit, sehingga dapat meminimalisir gejala yang dialami oleh penyintas Covid-19.

Sarah Gilbert: Pahlawan di Kala Ketidakpastian

Nama Gilbert mencuat di khalayak publik internasional ketika ia mendapat sorak-sorai tepuk tangan meriah dari seluruh penonton di Wimbledon Arena ketika ia sedang menyaksikan pertandingan tenis di lokasi tersebut.

Sosok Gilbert seakan menjadi pahlawan bukan hanya karena ia dan timnya berhasil menemukan Vaksin Covid-19 pertama di dunia saja di tengah keadaan yang makin hari kian memburuk. Namun sisi kemanusiaan yang ia tonjolkan dari upayanya beserta tim dengan tidak mengambil keuntungan sepeser pun dari penemuan vaksin ini membuahkan rasa kagum dan bangga oleh masyarakat dunia akan kemurahan hati seorang Gilbert.

Bayangkan saja, di kala perusahaan-perusahaan di negara maju saling berkompetisi untuk mengembangkan vaksin guna mengakhiri pandemi berkepanjangan ini sembari meraup untung sebanyak-banyaknya, sedangkan sosok Sarah Gilbert dengan kebaikan hatinya menegaskan bahwa Hak Paten atau Hak Kekayan Intelektual (HAKI) vaksin Oxford-Astrazeneca menjadi miliki Universitas Oxford sepenuhnya.

Di sisi lain, ia dan tim mendorong adanya penangguhan terkait Hak Paten tersebut di Konferensi Tingkat Tinggi G-7 beberapa waktu silam agar vaksin tersebut dapat dengan mudah disebarluaskan di seluruh penjuru dunia.

Pengabdian Sebagai Akademisi

Atas upaya Gilbert dan timnya, kini vaksin Oxford-AstraZeneca dapat dikembangkan di negara-negara lain seperti India dan Thailand. Tentu hal ini sangat disambut baik oleh masyarakat internasional dimana negara-negara pada saat yang bersamaan sedang berjuang keras untuk menyudahi pandemi, salah satunya melalui akses untuk mendapatkan vaksin dengan mudah.

Baca Juga  Sudah 109 Tahun, Sampai Mana Kemuhammadiyahan Kita?

Hingga kini, puluhan bahkan ratusan juta vaksin Covid-19 Oxford-Astrazeneca telah terdistribusi ke seluruh negara-negara termasuk Indonesia yang telah mendapatkan total 50 juta dosis.

Tentu upaya yang dilakukan oleh Gilbert beserta tim merupakan salah satu perwujudan dari tujuan dari dunia akademik, yakni kepentingan bersama. Selaras dengan fungsi pendidikan dalam dunia akademik menurut Horto dan Hunt yakni, “Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat”.

Menarik dari kesimpulan tersebut, maka di sini dapat kita uraikan bahwa hakikat dari tujuan dikembangkannya keilmuan di dalam dunia akademik tak lain dan tak bukan dimaksudkan untuk kemashlahatan bersama.

Maka jika mengambil pelajaran pada perjuangan Gilbert beserta tim, kiranya kita dapat menanamkan sebuah pola pikir dasar, terkhusus bagi individu-individu yang sedang berkecimpung di dunia akademik bahwa output dari disiplin keilmuan yang kita dalami sudah semestinya digunakan untuk keberpihakan pada kepentingan bersama, bukan untuk memenuhi nafsu pribadi belaka.

Editor: Rozy

Avatar
3 posts

About author
Alumni Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Kader IMM Fisipol UMY.
Articles
Related posts
Kaunia

Ru'yat Ta'abbudi dan Penyatuan Kalender Islam

2 Mins read
Perkembangan pemikiran tentang kalender Islam di kalangan ormas Islam mengalami kemajuan baik dari segi pemikiran maupun instrumentasi astronomi yang dimiliki. Hal ini…
Kaunia

Menaksir Berat Sapi Secara Cepat

1 Mins read
Kaunia

Moderasi dalam Sidang Isbat

3 Mins read
Di Indonesia kehadiran sidang Isbat sudah lama diperdebatkan keberadaannya. Di satu sisi dianggap sebagai jembatan untuk mempertemukan perbedaan pandangan antara pendukung hisab…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *