Ateisme Praktis – Melalui penelitiannya terhadap sejarah agama, Karen Armstrong berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk spiritual. Sehingga baginya, Homo sapiens juga dapat disebut sebagai Homo religiousus.
Dalam keimanan masa-masa awal ini ditemukan berbagai macam bentuk ekspresi manusia terhadap alam yang menakjubkan. Manusia mulai menyembah dewa-dewa, membuat patung, maupun persembahan-persembahan (Karen Armstrong, 2016:20).
Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan manusia memiliki kesadaran akan keterbatasannya. nNamun ia juga memiliki akses untuk mengetahui yang tidak terbatas (Tuhan). Akan tetapi, ketika hari ini manusia telah melakukan banyak sekali kemajuan, maupun perubahan-perubahan besar.
Ada semacam keinginan untuk menyingkirkan Tuhan. Oleh sebab itu, agama maupun sistem keyakinan lain yang hanya menawarkan gagasan yang pragmatik, “yang penting bisa diterima”.
Maka, suatu saat ia akan tergantikan. Terutama, di era di mana kita terbiasa dengan alur berpikir yang saintifik, logis, empiris, serta verifikatif. Akan sangat mungkin menganggap keyakinan akan Tuhan hanyalah non-sense.
Kemunculan para promotor ateisme tidak dapat dihindarkan. Seperti para four horsmen (Richard Dawkins, Sam Harris, Christopher Hitchens, dan Daniel Dennett), mereka mempromosikan gerakan new ateisme melalui buku-bukunya maupun ceramah-ceramahnya.
Kemunculan Atheisme
Kemunculan atheisme sendiri dapat kita runut terlebih dahulu melalui sejarah bagaimana perkembangan pandangan antroposentris berkembang dan menggantikan teosentris di abad pertengahan.
Di abad pertengahan pemikiran agama sangatlah mendominasi waktu itu. Selama berabad-abad di era ini, Barat mengalami masa kegelapan. Pemikiran ilmiah dan filsafat yang telah dibangun sejak era klasik, terpojok dalam sudut-sudut ruang yang pengap.
Dominasi gereja-pun menggemakan kembali dogma dan mitos-mitos yang dulu mencoba dilawan oleh para filosof alam dan diturunkan kembali pembahasaannya ke ranah manusia oleh Sokrates (Nurani Suryomukti, 2011: 147-148).
Melihat kondisi yang seperti ini, dengan munculnya banyak sekali dogma agama, terlalu banyak ketakutan akan perkaraperkara setelah kematian, ampunan-balasan, siksa, dan nikmat. Serta terlalu sedikit perhatian dan penghargaan terhadap kehidupan di dunia nyata.
***
Maka, mulai tumbuh humanisme muda di tengahtengah himpitan bangunan usang dan sumpek di abad Pertengahan yang mulai retak di sanasini. Para humanisme modern akhirnya mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran para penguasa dengan pihak gereja.
Mereka para humanis mulai bermekaran seiring perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Kaum humanis ditandai dengan cara mereka memaksimalkan pendekatan akal-rasional terhadap manusia yang tidak terburu-buru untuk melakukan ‘hubungan singkat’ dengan otoritas wahyu ilahi. Melainkan lebih dahulu lewat penelitian yang cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia (F. Budi Hadirman, 2012:08-09).
Tumbuhnya kesadaran kolektif manusia pada akhirnya mampu menumbangkan doktrin gereja dan penguasa. Sebut saja Rene Descartes yang mendeklarasikan pernyataan “aku berpikir maka aku ada” begitu populer dan masuk ke alam pikiran manusia hingga mengawali babak pencerahan.
Bahkan tidak hanya masa renesaince, sampai sekarang pun, pengaruhnya masih terasa. Pernyataan ini adalah bentuk deklarasi sekaligus menjadi bukti bagaimana manusia sebagai satu-satunya makhluk yang berpikir menempatkan dirinya sebagai subyek. Dari sinilah yang awalnya teosentris berubah menjadi antroposentris (Muhaemin Latief, 2020:09).
Ketika Hanya Akal yang Menjadi Titik Tumpu
Di sinilah terjadi dilema, ketika manusia menggunakan segala potensi akalnya dengan bablas ia mulai tercerabut dari keyakinan terhadap Tuhan.
Akhirnya, terma atheisme muncul sebagai suatu pandangan dan dasar hidup yang menolak dimensi ketuhanan. Hanya dunia ini yang ada. Di luar dunia ini dan sesudahnya, tidak ada apa-apa.
Namun, hal-hal tersebut hari ini sudah banyak diatasi. Mereka yang berkeyakinan adanya Tuhan memiliki argumentasi-argumentasi yang logis dan sistematis.
Sebut saja Romo Franz Magnis Suseno melalui bukunya Menalar Tuhan. Atau gus Ulil dengan bukunya yang amat renyah dan enak dibaca “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?: Memahami Aqidah Islam bersama al-Ghazali”.
Tokoh-tokoh tersebut dengan karya-karyanya sebenarnya menunjukkan ternyata ateisme teoiritis sangat mudah untuk ditanggapi. Sehingga problem hari ini adalah ketika kita mengaku meyakini Tuhan namun cara hidup dan gaya hidup kita jauh atau bahkan seolah-olah tidak bertuhan. Bisa jadi kita tengah terjebak dalam ateisme praktis.
Terjebak Ateisme Praktis
Dalam The Gay Science, Nietzsche mengisahkan tentang orang gila, yang membawa lentera pergi ke pasar sambil berteriak: “Aku mencari Tuhan!”. Karena banyaknya orang di sana yang tidak mempercayai bahwa Tuhan tengah bersama dengan mereka, maka mereka menertawai orang gila tersebut.
Sambil berseloroh: “Apakah ia tersesat?”. “Apakah Tuhan tengah tersesat seperti anak kecil?”. “Apakah ia bersembunyi?”. “Apakah ia takut kepada kita?”. “Atau mungkin ia sedang berlibur di pantai?”. “Atau mungkin saja ia sedang bermigrasi?”.
Sang orang gila-pun melompat dalam kerumunan dan menatap mereka satu-persatu. Sambil menangis, orang gila tersebut tetap mengatakan. “Di mana Tuhan?-lalu ia pun melanjutkan “Tuhan telah mati!, dan kita pembunuhnya-kita semua pembunuhnya! (Friedrich Nietzsche, 2001:119-120).
Mengawali babak ini dengan tulisan Nietzsche terasa cukup relevan. Sebab waktu itu filsuf martir ini telah memprediksi adanya perubahan dalam kesadaran kita untuk tidak lagi mempercayai-merasakan kehadiran Tuhan.
Dan sangat mungkin kita hari ini terjebak dalam ateisme praktis. Menurut Fahruddin Faiz, ateisme praktis merupakan orang yang menjalani hidupnya tanpa Tuhan. Kita percaya kepada-Nya tapi gaya dan cara hidup kita seperti tidak berTuhan (Fahruddin Faiz, 2021:258).
Refleksi Hari Ini
Hari ini kalo kita mau merefleksikan diri. Seberapa besar kita menjadikan Allah itu penting? Seberapa besar kita menyadari keberadaan-Nya? Paling tidak sebagian dari kita hanya menganggapnya ada ketika tertimpa masalah, ketika sakit, ketika akan ujian, atau ketika menantikan pengumuman lulus tes masuk perkuliahan atau tes lainnya.
Tuhan hanya diletakkan pada kondisi ketika sudah terpojok dan di sisa-sisa ketidakmampuan. Bahkan, kurang ajarnya lagi, ketika alam sedang bergerak sesuai sunnatullah atau natural laws-nya dan tiba-tiba terjadi longsor serta sebagainya kita malah mengucap “ini ujian dari Tuhan”.
Padahal, kita tau alam itu geraknya statis sesuai natural laws-nya. Dan manusia itu dinamis, ia bisa sangat mungkin menggunduli hutan tanpa rasa bersalah yang menjadi penyebab longsor terjadi.
Jika kita mau ambil contoh lagi terkait ateisme praktis yang ditampilkan di media. Para pejabat kita yang semestinya menjadi wakil dan teladan malah korupsi, melakukan beragam tindakan seolah-olah tidak bertuhan.
Padahal negara kita berpijak pada nilai-nilai pancasila. Meyakini sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Serta disumpah dengan kitab suci dan atas nama Tuhan. Inilah yang dimaksud-bahwa-tanpa disadari, kita tengah terjebak dalam ateisme praktis.
Editor: Yahya FR