Perspektif

Cara Akademisi Menyusun Batu Bata Pengetahuan

4 Mins read

Menyusun Batu Bata Pengetahuan – Bangunan pengetahuan yang dimiliki seorang akademisi, esensinya berasal dari cicilan tumpukan batu bata yang dilakukan setiap hari. Di mana, dirinya menyicil dengan cara meluangkan waktu dan mencari waktu luang.

Paling tidak, setiap hari ada batu bata pengetahuan yang bisa dicicil untuk ditumpuk, walaupun itu hanya satu batu bata.

Satu batu bata pengetahuan yang ditumpuk, itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Karena, satu tumpukan batu bata yang disusun setiap hari—terkhusus bagi seorang akademisi di perguruan tinggi yang memiliki aktivitas bejibun, baik aktivitas di kampus tempatnya mengajar ataupun di luar kampus, sangat baik daripada tidak menyusun batu bata pengetahuan sama sekali.

Tentu saja, atmosfer akademik yang ada di perguruan tinggi Indonesia dengan di luar negeri itu sangat berbeda. Lebih-lebih, terkait dengan dukungan finansial yang didapatkan seorang akademisi dari perguruan tinggi tempatnya mengajar, terkadang mengharuskan dirinya pontang-panting mencari tambahan agar asap dapur tetap bisa ngebul.

Jadi, satu atau dua batu bata pengetahuan yang disusun setiap hari, merupakan hal yang sangat bagus ketimbang tidak sama sekali. Bahkan, hal tersebut bisa menjadi jalan keluar satu-satunya agar dirinya tetap mampu memiliki bangunan keilmuan secara utuh sebagai akademisi yang memiliki otoritas di bidang keilmuannya.

Akademisi Wajib Mencari Waktu Luang

Seorang akademisi di perguruan tinggi wajib mencari waktu luang, demi mengusahakan diri menyusun batu bata pengetahuan, walaupun hanya satu batu bata pengetahuan setiap harinya.

Hal tersebut menjadi sangat penting, agar keberadaan dirinya sebagai seorang akademisi tetap memiliki peningkatan kompetensi di bidang keilmuan yang dimilikinya.

Adanya peningkatan kompetensi keilmuan, menunjukkan dirinya sebagai seorang akademisi yang terus memperbaharui keilmuan yang dimilikinya. Sehingga, semakin lama berada di perguruan tinggi, akan semakin meningkat kompetensi keilmuan yang dimilikinya.

Baca Juga  Enam Syarat Agar Kamu Berhasil Menuntut Ilmu

Sehingga, dirinya akan menjadi akademisi yang otoritatif di bidang keilmuan yang sedang ditekuninya.

Atau bahkan, dengan sengaja meluangkan waktu di sela-sela aktivitas yang sedang menggunung—terkhusus aktivitas mengajar, menguji, dan side jobe lainnya. Di mana, aktivitas tersebut kadang banyak menyita waktu seorang akademisi.

Sehingga, membuat dirinya lupa diri untuk menyusun batu bata pengetahuan setiap harinya.

***

Artinya adalah, seorang akademisi wajib meluangkan waktu dan mencari waktu luang setiap harinya. Dua hal tersebut, sebagai ikhtiar agar dirinya tetap dianggap otoritatif di bidang kajian yang sedang ditekuni. Bila hal tersebut tidak dilakukan, pasti dirinya tidak akan memiliki bangunan keilmuan yang kokoh.

Meluangkan waktu ialah, berhenti sejenak dari aktivitas harian yang sedang ditekuni, misalnya meluangkan waktu dalam seminggu, yaitu satu hari untuk membaca, menulis, dan turun ke lapangan demi memenuhi kebutuhan riset.

Kemudian, dari apa yang dibaca, hasil temuan di lapangan, dan catatan-catatan yang dibuat, selanjutnya dikonstruksikan menjadi tulisan utuh.

Selain itu, bisa dengan cara mencari waktu luang setiap hari, di sela-sela aktivitas kita sebagai seorang akademisi. Misalnya, di sela-sela peralihan jam mengajar, bisa kita pergunakan untuk membaca, menulis, atau sekadar membuat catatan-catatan kecil.

Di sela-sela jam istirahat siang, bisa kita pergunakan untuk sekadar mencari refrensi buku ke perpustakaan kampus; dan lain sebagainya.

Konsisten Menyusun Batu Bata Pengetahuan

Dosen sebagai akademisi yang ada di perguruan tinggi, harus konsisten menyusun batu bata pengetahuan setiap harinya—baik dengan cara meluangkan waktu ataupun mencari waktu luang.

Konsistensi dalam menyusun batu bata pengetahuan, sebagai upaya untuk menggapai otoritas pengetahuan di bidang kajian yang sedang ditekuni oleh sang dosen.

Dirinya tidak akan mungkin bisa menggapai maqom otoritatif di dalam kajian keilmuan yang sedang ditekuni, bila tidak mau konsisten menyusun batu bata pengetahuan setiap harinya.

Baca Juga  Memahami Peta-Peta Ilmu Keislaman

Karena, kesibukan demi kesibukan tidak akan mungkin bisa dielakkan dari kehidupan kita sebagai dosen. Dan bisa dipastikan, tugas demi tugas akan selalu datang dan pergi.

Dengan demikian, konsistensi menyusun batu bata pengetahuan setiap harinya—walaupun hanya satu batu bata, harus tetap dilakukan.

Hal tersebut, ikhtiar kita sebagai dosen, untuk menggapai maqom otoritatif di dalam bidang keilmuan yang sedang ditekuni.

Memang, akan banyak hal yang dikorbankan bagi seorang dosen, tatkala dirinya menerapkan hidup konsisten dalam menyusun batu bata pengetahuan. Bisa waktu tidur akan berkurang, karena malam-malam akan bergadang hanya sekedar menuliskan satu atau dua paragraf temuan di lapangan; waktu bermain dengan anak akan berkurang, hanya karena harus turun lapangan dalam rangka pengambilan data.

Atau bahkan, waktu untuk bermain di media sosial dan berleyeh-leyeh harus dikurangi, hanya untuk membaca satu atau dua lembar buku, dan lain sebagainya. Intinya, seorang dosen harus mau dan bahkan memaksa diri untuk konsisten menyusun batu bata pengetahuan setiap harinya.

Menempuh Jalan Sunyi di Dunia Akademik

Menjadi seorang akademisi di perguruan tinggi—yaitu dosen, hakikatnya adalah pilihan yang ditempuh untuk menelusuri jalan sunyi tirakat keilmuan.

Kesadaran seperti itu harus dimiliki oleh setiap akademisi di perguruan tinggi, agar shahwat untuk selalu menyusun batu bata keilmuan bisa dilakukan secara istiqomah setiap harinya.

Hal yang menjadi pertanyaan mendasar ialah, apakah upaya menyusun batu bata keilmuan setiap harinya akan mampu merubah kisah hidup seorang akademisi? Menurut hemat penulis, jawabannya sangat relatif, bisa “iya” dan bisa “tidak”.

Walaupun demikian, bila boleh sekadar memberikan saran, sebaiknya upaya menyusun batu bata keilmuan setiap harinya, tidak usah ditautkan terhadap keinginan apapun di kemudian hari—entah dengan harapan dapat merubah nasib menjadi lebih baik, mendapatkan jabatan prestisius, atau hingga berharap menjadi komisaris utama di suatu perusahaan BUMN.

Baca Juga  98 Tahun Persis: Gairahkan Dakwah Ekologis

Sebaiknya, kita fokus saja terlebih dahulu terhadap upaya untuk menyusun batu bata keilmuan setiap harinya.

Bila pun perlu, ikhtiar-kan dengan cara menambah batu bata yang disusun setiap harinya. Misalnya, bila hari ini hanya bisa menyusun satu batu bata, usahakan besok hari bisa menyusun dua hingga tiga batu bata, dan seterusnya.

Mengapa harus demikian? Perumpamaannya sangat sederhana. Bila kita menanam padi, yang tumbuh bukan saja padi.

Akan tetapi, rumput liar pun akan ikut tumbuh. Tetapi sebaliknya, bila kita menanam rumput, padi tak akan ikut tumbuh.

Artinya adalah, bila kita fokus terhadap ikhtiar untuk terus berupaya menyusun batu bata keilmuan setiap hari dengan niat untuk menjadi akademisi yang otoritatif, yakinlah hal yang bersifat materi kelak akan juga didapatkan. Bisa berbentuk jabatan, finansial, fasilitas hidup, ataupun hal lainnya.

Dengan demikian, keputusan diri kita memilih profesi sebagai akademisi di perguruan tinggi, harus menjadi kesadaran bahwa diri kita sedang berada di jalan sunyi dunia akademik. Kesunyian untuk terus istiqomah menyusun batu bata pengetahuan setiap harinya, dalam kondisi dan situasi apapun.    

Editor: Yahya FR

Hamli Syaifullah
15 posts

About author
Dosen di Program Studi Perbankan Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds