Trilogi Perdamaian – Hingga hari ini masih timbul keraguan pada kemampuan manusia untuk menjaga perdamaian. Keraguan itu didasari pada fakta bahwa dalam beberapa tahun terakhir kasus-kasus kekerasan atau konflik antara individu, kelompok bahkan negara terus bermunculan. Kondisi yang menyedihkan itu juga terjadi tidak hanya di domestik, namun juga di panggung internasional.
Masalahnya yang jadi korban bukan sekedar militer, namun meliputi perempuan dan anak-anak yang seringkali tidak terlibat konflik langsung. Nasib mereka begitu mengenaskan: sebagian mati di tengah perang menjadi korban sampingan (collateral damage) dan sebagian lagi mengungsi, mengemis suaka. Masa depan mereka suram, identitas mereka tercerabut. Ironis, sungguh.
Dalam pengamatan Malik Fadjar, hal ini seharusnya tidak terjadi jika kita bisa mengenali hubungan harmonis antara kemanusiaan, kebudayaan, dan keagamaan. Bahwa ketiganya adalah tiang-tiang raksasa yang menyangga bangunan perdamaian. Inilah yang kemudian disebut dengan “Trilogi Perdamaian”.
Menjaga Perdamaian adalah Tugas Spiritual Manusia
Pada 14 Oktober 2003, mantan Rektor UMM itu diundang ke Soka University, Tokyo, Jepang untuk memberi sebuah orasi ilmiah tentang solusi apa yang bisa diberikan atas permasalahan perang, konflik dan kekerasan yang intensif terjadi di berbagai belahan bumi.
Undangan itu menimbang konstribusi beliau dalam pengembangan pendidikan berbudaya dan bervisi perdamaian. Tentu, Malik sendiri menyadari bahwa hal ini lebih sebagai tantangan untuk senantiasa konsisten dengan visi humanisme dalam praksis pedagoginya.
Naskah dari pidato panjang itu diterbitkan dalam sebuah buku “Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar”. Sidang pembaca yang ingin meneguk selengkapnya mutiara pemikiran beliau dapat membuka halaman 137 hingga 164.
Bagi Malik, kegagalan manusia untuk merawat perdamaian adalah gejala hilangnya kesadaran atas peran yang diembankan oleh Tuhan ke atas pundak mereka. Bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang diberikan akal untuk mengatur segala urusan di muka bumi. Demikian itu karena amanah yang diberikan sangat luar biasa, yakni sebagai khalifah atau wakil Tuhan.
Manusia karenanya tidak boleh lupa, bahwa mereka sedang melaksanakan peran sebagai representasi Tuhan di muka bumi. Selaku pencipta dan pelestari alam, mustahil Tuhan menghendaki kehancuran dunia.
Kemudian tentu dengan keberadaan tugas yang melekat pada manusia itu, Tuhan akan memintai mereka pertanggungjawaban. Maka Malik Fadjar berpesan agar kita memikirkan bagaimana menjawab kelak bila gagal melaksanakan tugas sebagai duta perdamaian di muka bumi. Inilah yang menjadi poin pertama dari Trilogi Perdamaian.
Agama Sejati adalah Agama Perdamaian
Pada poin kedua, Trilogi Perdamaian, Abdul Malik Fadjar menegaskan kembali pesan utama agama mengenai perdamaian. Ia menunjuk pada teladan Dalai Lama yang setia pada jalan anti-kekerasan, sekalipun ia hidup dalam pengasingan pasca tanah airnya, Tibet, dijajah Cina.
Dalai Lama bahkan berani bertindak lebih jauh ketika ditanya apa yang akan dilakukannya seandainya rakyat Tibet memilih mengangkat senjata dan melawan, “Aku akan mengundurkan diri”, jawabnya tegas.
Hal ini tentu merupakan tindakan tepat karena apapun yang terjadi, menyelenggarakan perang demi perdamaian adalah omong kosong. Perang tidak memenangkan apapun selain kekerasan itu sendiri. Maka bagi Malik untuk mengambil jalan damai secara teguh adalah tanda kebijaksanaan tertinggi yang harus ditiru dari seorang beragama.
Malik menyadari bahwa manusia memiliki potensi untuk membuat kerusakan, sebagaimana dalam firman Tuhan (QS. Al Baqarah: 30). Namun Malik segera mengingatkan bahwa justru sebab itulah, maka manusia diberi agama sebagai peredam potensi keburukan, dan pendorong potensi kebaikannya.
Firman Tuhan lainnya (QS. Al Hujurat, ayat 13) menegaskan larangan manusia untuk berbuat kekerasan di muka bumi. Hal ini perlu dilengkapi dengan pengertian atas sabda Nabi, ”Tidaklah sempurna iman seseorang, kecuali ia mau mencintai saudaranya (orang lain) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.
Demikian itu dapat disimpulkan, bahwa agama mengandung pesan utama pada perdamaian. Agama melarang manusia merawat kekerasan dan mendorong agar tercipta toleransi antara sesama manusia dalam bingkaian kesadaran bahwa kita semua saling terhubung oleh suatu persaudaraan universal.
Budaya Egalitarian anti Budaya Kekerasan
Selanjutnya, pada poin ketiga dari Trilogi Perdamaian, Malik mengetengahkan posisi budaya yang tak kalah sentral. Bahwa budaya adalah proses kemanusiaan, dan manusia juga adalah proses budaya merupakan konsep penting. Pemahaman atas konsep itu mengandung hikmah bahwa manusia bukan hanya produk budaya, namun juga pencipta budaya.
Dalam hal ini, poin utamanya Malik berpesan agar kita menjauhkan diri dari budaya merasa paling superior dibanding yang lain. Perasaan semacam itu akan membutakan mata dan hati kita dari keadilan yang harus dijunjung tinggi. Sebabnya, ketika diri merasa lebih hebat maka seolah penindasan atas yang lain dapat dijustifikasi sebagai hukum alam.
Sebaliknya, perlu diteguhkan budaya dan semangat kesederajatan antara sesama. Prinsip emas (golden rule) jadi relevan di sini dengan menyebutkan bahwa kesederajatan itu berlaku dalam perlakuan kita kepada orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri.
Di akhir uraian sub-bab ini, Malik mengingatkan agar kita mengatasi budaya dan nafsu menguasai sebab mereka bersifat necrophilic, atau serba mematikan segalanya. Dalam budaya penguasaan itu segala sesuatu harus menjadi miliknya sebelum seseorang merasa bahwa ia telah mengada.
Kunci Terakhir: Misi Perdamaian dalam Pendidikan
Di ujung tulisan Malik menjelaskan peran pendidikan yang sangat sentral sebagai strategi praksis membibit perdamaian. Secara umum, ia mengutus pendidikan kepada dua misi.
Pertama, pendidikan sebagai upaya konservasi nilai perdamaian. Di sini ditanamkan kepada setiap generasi mengenai urgensi menjunjung tinggi perdamaian dalam segala kondisi.
Pendidikan sebagai aktivitas manusia yang abadi, perlu memastikan bahwa nilai-nilai yang dikandung di dalam kurikulum dan didiskusikan dalam kelas mendukung visi perdamaian sosial. Di sini juga penting untuk mengingat bahwa pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah, namun juga di dalam keluarga di mana individu juga belajar akan nilai-nilai kehidupan.
Kedua, pendidikan juga bekerja untuk merestorasi nilai-nilai perdamaian. Dalam banyak hal, pengertian yang tepat mengenai tugas manusia, pesan agama dan budaya damai telah diselewengkan oleh sebagian manusia dengan berbagai kepentingannya. Maka, tugas pendidikan adalah memugar kembali nilai-nilai keluhuran dan keadaban yang selaras dengan perdamaian.
Malik mewanti-wanti, jangan sampai kita menormalisasi suatu bentuk ‘agama kekerasan’ maupun ‘budaya kekerasan’ sebab keduanya adalah pelanggaran baik pada kehendak Tuhan dan hasil akal-budi manusia. Pendidikan berperan untuk menangkal kondisi demikian dengan menjelaskan versi yang benar mengenai ‘agama damai’ dan ‘budaya damai’.
Akhirnya, kita diingatkan olehnya untuk berkhidmat pada jalan pendidikan. Sebabnya, jalan pendidikan adalah jalan panjang yang tidak selalu ramai dengan sorak sorai, namun berliku. Tugas kita adalah untuk tetap optimis pada potensi manusia untuk senantiasa dekat kepada segala wujud kebaikan, termasuk perdamaian.
Editor: Saleh