Perspektif

Asal Usul dan Masa Depan Kementerian Agama Indonesia

4 Mins read

Dalam acara Webinar Santri Membangun Negeri, yang diadakan Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan PBNU, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, berpendapat, “Kementerian Agama itu hadiah Negara untuk NU, bukan untuk Umat Islam”. Komentar singkat itu, menjawab ketidaksetujuan stafnya kepada idenya mengganti moto “Ikhlas Beramal”.

Menag Yaqut juga menekankan peran juru damai dari NU ketika terjadi pro kontra pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Dikarenakan ada peran juru damai NU disitu, maka Kementerian Agama berdiri. Komentar ini pun ditanggapi berbagai pihak, termasuk pimpinan Muhammadiyah, di kalangan pimpinan PBNU sendiri, dan berbagai elemen masyarakat.

Kebetulan saya meneliti dan menulis entry ensiklopedia tentang Kementerian Agama, dan saya produk kementerian ini juga. Nimbrung sedikit saja, karena sejarah dan perkembangan Kemenag memang kompleks dan dinamis.

Sejarah Terbentuknya Kementerian Agama

Latar belakang historisnya, sebuah lembaga yang mengurus urusan agama secara khusus dimulai dari zaman kerajaan-kerajaan Islam pra-kolonial: Di Aceh ada Syaikh al-Islam, di Sulawesi ada, Parewa Sara, sejalan dengan Parewa Adat. Pemerintah Belanda mendirikan Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor Urusan Pribumi). Pemerintah kolonial Jepang menggantinya menjadi Shumubu.

Para pegawai Kementerian Agama yang didirikan setelah kemerdekaan, sebagiannya dari pejabat di masa kolonial Belanda dan Jepang itu. Singkatnya, Kementerian Agama juga sebagian tugas utamanya adalah warisan kolonial (dan dalam beberapa aspek juga pra-kolonial kerajaan-kerajaan Islam). Singkatnya, Kementerian Agama juga warisan kolonial dan pra-kolonial.

Founding fathers Indonesia, mereka berdebat sengit perlu tidaknya mendirikan suatu Kementerian Agama.

Soekarno setuju pandangan sebagian tokoh Muslim ketika itu yang menginginkan Kementerian Agama. Mohammad Hatta, setuju penghapusan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Baca Juga  Israel-Palestina: Bukan Perang Agama, Tapi Kejahatan Kemanusiaan

Suara-suara ingin mendirikan Kementerian Agama datang dari berbagai unsur: Muhammadiyah, NU, Jong Islamiten Bond, nasionalis, dan lain-lain. Dalam sidang BPUPKI, Muhammad Yamin mengusulkan “Kementerian Islamiyah”, tapi tidak mendapat dukungan luas.

***

Dalam sidang PPKI, usulan Kementerian Agama tidak disepakati, terutama oleh kalangan nasionalis dan dari sebagian kalangan Islam sendiri. Usulan Kemenag disetujui oleh Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang datang dari Kerisidenan Banyumas. Tepatnya pada masa Kabinet presidensial, tokoh NU Wahid Hasyim menjabat urusan agama selama 4 bulan (19 Agustus 1945-14 November 1045).

Namun, Kementerian Agama waktu itu belum resmi didirikan. Pada sidang pleno 25-28 November 1945 di UI Salemba, wakil-wakil KNIP Karesidenan Banyumas mengusulkan, “Supaya dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilalukan dalam tugas Kementerian Pendidikan, Pengajaran & Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya, tetapi hendaknya diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri”. (Departemen Penerangan, 1965).

Menag: Dari Muhammadiyah, NU hingga Partai

Presiden Soekarno dan Wapres Mohamad Hatta baru mengeluarkan ketetapan pada 3 Januari 1946, dan menjadi hari lahir Kemenag setelah itu. Soekarno dan Hatta mengangkat Mohammad Rasjidi sebagai “Menteri Agama” seiring dengan surat ketetapan itu.

Rasjidi ketika itu lulusan Kairo dan Sorbonne, dari Masyumi-Muhammadiyah. Rasjidi menganggap dirinya lahir dari “Islam Abangan”, bukan santri. Ia menulis, “aku seorang Muslim moderen. Walaupun aku tidak pernah mengunjungi sekolah Belanda, tetapi paham membaca buku-buku dalam bahasa Belanda. Di samping itu aku lancar berbahasa Inggris dan Prancis” (1968).

Rasjidi belajar di sekolah Muhammadiyah, Al-Irsyad dan lalu ke Kairo, juga menjadi diplomat. Setelah diminta pulang dan diangkat Soekarno-Hatta, Menag Rasjidi harus menanggapi berbagai kritik terhadap didirikannya Kementerian Agama. Menurut Rasjidi, Kemenag didirikan untuk mewujudkan pasal Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kebebasan beragama seperti dalam UUD 1945.

Baca Juga  Perlukah Muhammadiyah Memiliki ‘Dana Abadi’? (Bagian 1 dari 5)

***

Menteri Agama selanjutnya, Raden Fathurrahman Kafrawi lulusan Mekah, Kairo, dan Leiden, dari Masyumi-NU, ia memfokuskan kebijakannya pada pendidikan agama di sekolah umum, madrasah dan pesantren. Menteri-menteri agama selanjutnya berasal dari NU, termasuk Wahid Hasyim (yang sebelumnya Menteri Negara, menjadi Menteri Agama 20 Desember 1949-6 September 1950, lalu 1950-1952) mewakili Masyumi-NU, dan kemudian beberapa Menag dari Muhammadiyah (termasuk Fakih Usman 1952-1953), serta beberapa juga dari partai, bukan dari kalangan NU atau Muhammadiyah, dan perguruan tinggi.

A. Mukti Ali, lulusan McGill Kanada, dianggap mewakili unsur akademis dan politik Golkar, berperan dalam pengajaran perbandingan agama. Begitu juga Munawir Sjadzali, lulusan Exeter dan Georgetown University. Tarmizi Taher, seorang dokter, tidak terkait langsung NU atau Muhammadiyah, tapi dianggap cukup berhasil membangun triologi kerukunan: intra-umat, antar-umat, dan antara umat dan negara. A. Malik Fadjar, dari kalangan perguruan tinggi dan Muhammadiyah. Setelah Malik Fadjar, menag berasal dari kalangan partai seperti PPP dan PKB dan ormas NU.

Dalam perjalanannya, melalui Depag/Kemenag, negara makin terlibat dalam berbagai urusan agama. Urusan-urusan yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kehakiman. Dirjen agama-agama lain pun dibentuk, termasuk Katolik, Kristen, Hindu, Buddha. Sejak awal pendirian dan sepak terjang kementerian dan birokrat agama tetap menimbulkan pro dan kontra, termasuk kasus-kasus korupsi, meskipun secara institusional, terbukti “survive” dan “berkembang” hingga sekarang.

Di tahun 1960-an, Clifford Geertz berpendapat, “tujuan dan maksud pendirian Kementerian Agama merupakan urusan santri dari atas sampai bawah”, Sarjana B.J. Boland berpendapat, “Kemenag merupakan kompromi politik antara kalangan yang ingin mendirikan Negara Islam dan kalangan yang ingin mendirikan negara sekuler.” Kajian-kajian akademis menyebut Kementerian Agama sebagai contoh negara Indonesia semi-sekuler, semi-agama.

Baca Juga  Tenggelam atau Tidaknya Indonesia Tergantung Muhammadiyah

Almarhum Gus Dur pernah berniat membubarkan Departemen Agama karena “Depag sudah menjadi seperti pasar”, tapi dia mengurungkan niatnya itu untuk menimbang manfaat lebih banyak daripada mudharatnya.

Kementerian Agama untuk Semua Agama

Perdebatan Kementerian Agama ini, apakah milik ormas tertentu, atau untuk umat Islam saja, atau untuk semua agama. Menag Yaqut pernah mengungkapkan, “Kemenag untuk semua agama” ; ia mengucapkan selamat hari raya Naw-Ruz umat Baha’i di Indonesia. Menag Yaqut juga mengangkat staf, dan Dirjen urusan Haji dan Umrah dari kalangan Muhammadiyah. Beberapa terobosan yang didukung dan dikritik banyak kalangan di Indonesia.

Belajar dari sejarah, akan terus ada ketegangan dan perbedaan pandangan tentang hubungan negara dan agama di Indonesia. Termasuk peran dan sepak terjang Kementerian Agama dan para pejabat, serta seluruh jajarannya yang tersebar di seluruh Indonesia. Perdebatan juga akan terus ada di kalangan ormas-ormas Islam, sejauh mana peran mereka dalam sejarah, dan sejauh mana mereka bekerja sama dengan aparatur negara.

Sumbangan kementerian ini, sangatlah banyak dan dirasakan berbagai level masyarakat, tentu dengan berbagai masalah, tantangan, dan kelemahan-kelemahan birokratisasi. Selain peluang-peluang perbaikan dan pengembangan bagi kehidupan beragama dan bermasyarakat yang lebih baik di Indonesia, termasuk riset-riset seputar semua agama dan kepercayaan yang ada di negeri yang makin majemuk dan tidak kalah dinamisnya dari negara-negara lain.

Editor: Saleh

Avatar
15 posts

About author
Associate Professor, Jurusan Kajian Agama, Direktur Program Studi Timur Tengah dan Islam, University of California, Riverside.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *