Secara umum zina merupakan dosa besar yang disebabkan oleh tindakan bersenggama antara lawan jenis (kaum adam dan kaum hawa) yang tidak terikat oleh pernikahan yang sah (pasangan halal). Menurut syariat agama, zina dilakukan tanpa adanya unsur paksaan serta dilakukan secara sadar. Di mana aktivitas tersebut dapat merusak kehormatan pelaku zina (manusia).
Persoalan dalam zina menjadi wacana perbincangan teologi kalam yang konotasinya lebih umum, yaitu status pelaku zina. Dalam persoalan zina, terdapat perbedaan pendapat dengan perspektif mutakallimin. Di mana perbedaan tersebut sesuai dengan setiap penafsiran terhadap sumber dalam ajaran Islam. Dari paradigma setiap sekte tersebut terus membumbui pandangan masing-masing terhadap status pelaku zina.
Status Pelaku Zina Menurut Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah dan al Asy’ari
Menurut paham golongan Khawarij, pelaku zina dipandang salah satu dosa besar. Orang yang melakukan aktivitas zina dianggap menjadi kafir dan keluar dari agama Islam. Ketika pelaku zina dianggap keluar dari agama Islam, maka pezina akan menerima siksa kekal dalam Neraka bersama-sama dengan orang kafir. Pendapat ini berlaku pada semua sekte-sekte Khawarij, kecuali sekte An-Najdah.
Pemahaman sekte Al-Najdah dalam menafsirkan kafir tidak sepaham dengan sekte-sekte Khawarij yang lainnya. Kafir dalam pelaku zina ini tempatnya di neraka, akan tetapi tidak kekal di dalamnya. Setelah melalui penyiksaan dalam neraka, mereka akan dikeluarkan dan akan ditempatkan kelak di surga. Jika mereka mengerjakan sesuatu yang haram dan tidak mengetahui bahwa hal tersebut haram, maka mereka dapat dimaafkan.
Sementara pelaku zina menurut golongan Murji’ah, itu bertolak belakang pada perspektif Khawarij. Golongan Murji’ah berpendapat bahwa pezina bukanlah kafir, melainkan masih tetap mukmin. Akan tetapi, akibat tindakannya pezina tetap berimplikasi di hukum dalam neraka. Sehingga kemungkinan masih terbuka, Tuhan akan mengampuni dosanya sesuai dengan ukuran dosa yang pernah dibuatnya.
Selanjutnya golongan Mu’tazilah. Dalam ajang pemikiran teologi Islam, Mu’tazilah juga membahas tentang status pelaku perzinaan. Golongan ini merumuskan pelaku perzinaan secara lebih konseptual dibandingkan golongan Khawarij dan Murji’ah. Golongan Mu’tazilah menyebut pelaku zina adalah fasik. Hal ini membedakan status pezina dengan apa yang disampaikan oleh golongan Khawarij yang mengkafirkan pezina, dan Murji’ah yang tidak mengkafirkan pelaku zina (lebih cenderung memelihara keimanan) dan diserahkan kepada hari perhitungan.
***
Menurut golongan Mu’tazilah sebagaimana Al-Syahrastāni jelaskan, bahwa golongan ini tidak menentukan status dan label yang pasti bagi pelaku perzinaan. Apakah tetap mukmin atau telah kafir. Golongan ini mengatakan status pelaku zina berada di posisi tengah-tengah antara mukmin dan kafir. Jika pezina ini meninggal dunia dan belum bertobat, maka ia akan kekal dalam neraka. Walaupun siksaan yang ditimpanya lebih ringan dibandingkan orang kafir.
Golongan Mu’tazilah satu frekuensi dengan Khawarij, yang menganggap bahwa amal berperan dalam menentukan mukmin atau kafirnya seseorang. Meski demikian, mereka tetap berbeda dalam menetapkan status orang yang melakukan perzinaan. Khawarij menganggapnya kafir bagi orang berbuat zina, sedangkan Mu’tazilah menempatkan status pelaku zina tidaklah kafir dan tidaklah mukmin. Jadi, mereka tidak mendapat siksa berat di neraka dan juga tidak dapat dimasukkan ke surga. Tempat pelaku zina adalah di neraka yang siksaannya lebih ringan.
Bagi al-Asy’ari sebagaimana Harun Nasution (1986: 71) mengatakan, bahwa orang yang berdosa besar seperti pelaku zina itu tetap mukmin dengan keimananya masih ada dalam diri mereka. Namun karena dosa besar zina yang diperbuatnya menjadikannya fasiq. Sekiranya tidak mungkin bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya tidak akan didapati kufur maupun iman.
Dalam maqalat menjelaskan balasan orang dosa besar seperti pezina di akhirat jika tidak bertobat akan disiksa dalam neraka. Hal tersebut tergantung pada kebijakan Tuhan yang mutlak. Jika pelaku dosa besar mendapat syafaat, maka ia akan bebas dari siksaan neraka. Jika tak mendapat syafaat, maka akan masuk neraka sesuai kadar ukuran dalam perbuatanya. Kemudian setelah penyiksaan selesai, maka akan dimasukkan kembali ke surga.
Kemudian perlu diketahui juga bahwa pemahaman pelaku dosa besar al-Asy’ari juga berlaku pada golongan Maturidiah.
Sumber Bacaan:
Abdul Razak dan Rosihan Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Ahmad Hanafi. Teologi Islam: Ilmu Kalam. Jakarta: Bulan Bintang, 2015.
Harun Nasution. Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Harun Nasution. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Murtada Mutahhari. Introduction to Kalam. Diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dengan Judul Mengenal Ilmu Kalam. Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.
Editor: Saleh