Fikih

Apakah Hukum dan Syariat Islam Bertentangan?

4 Mins read

Apakah Hukum dan Syariat Islam Bertentangan?

Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, lazimnya dimulai dengan tahapan perencanaan terlebih dahulu. Suatu hukum tertulis pada peraturan perundang-undangan direncanakan melalui skala prioritas dengan memperhatikan beberapa aspek, termasuk di antaranya adalah aspirasi dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Lantas, apakah hukum dan syariat Islam itu bertentangan?

Hukum dan Syariat Islam

Para pembentuk peraturan perundang-undangan–entah pada tingkat nasional (DPR, Pemerintah Pusat, Presiden), maupun tingkat daerah (DPRD dan Pemerintah Daerah)–memiliki pertimbangannya masing-masing dalam melihat aspirasi dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Setiap persoalan yang mengandung problematika hukum, yakni masalah efektivitas atau kesesuaian kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), menjadi objek yang perlu dievaluasi. Hal ini pun erat kaitannya dengan kesadaran hukum dalam masyarakat.

Menurut Langemeijer dalam Hamda Sulfinadia bahwa kesadaran hukum pada awalnya merupakan cita-cita terhadap norma apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya terjadi dalam masyarakat. Pada fase-fase pembetukan awal suatu hukum positif, Langemeijer menganggap penting untuk mempertimbangkan kesadaran hukum masyarakat sebagai aspirasi yang perlu ditampung, agar pemberlaksanaan hukum positif dapat berjalan secara efektif. (Sulfinadia 2020)

Dalam pandangan Hans Kelsen, kendati suatu norma hukum tak ditentukan validitasnya melalui apa-apa yang dikehendaki atau dicita-citakan oleh masyarakat, namun faktor efektivitas suatu norma hukum akan berjalan berkelindan dengan cita-cita masyarakat. Semakin serasi norma hukum dengan kehendak masyarakat, akan semakin efektif pula norma hukum tersebut.(Kelsen 2011)

Hal ini juga dibenarkan oleh Werner Menski dalam Achmad Ali tentang adanya triangular concept of legal pluralism (konsep segitiga pluralisme hukum). Suatu hukum akan semakin mendekati tujuan hukum (keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan), tatkala ketiga bagian dalam sistem hukum saling menemukan titik temu, yakni substansi, struktur, dan kultur.(Ali 2018)

Baca Juga  Posisi Hadis Mauquf, Mursal, dan Daif bagi Muhammadiyah

Khusus pada aspek kultur, Achmad Ali menguraikan bahwa di dalamnya tercantum beberapa pengaturan seputar bagaimana tata nilai dalam masyarakat dianut. Nilai-nilai ini muncul sebagai refleksi atas kepercayaannya pada suatu hal, termasuk di antaranya adalah agama.Ibid, hlm 130. Dalam konteks ajaran nilai-nilai agama Islam, Asfar Marzuki menguraikan keniscayaan syariah sebagai ajaran menyeluruh yang menjadi pedoman bagi seluruh umat muslim di dunia. Syariah adalah asas-asas hukum yang muncul berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah yang terdiri dari aspek akidah, mu’āmalah, dan ibadah. (Marzuki 2006)

Pembentukan Hukum Berdasar Syariat Islam

Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan secara materiil pada dasarnya harus menunjukkan pemenuhan tiga aspek, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis. Aspek filosofis digunakan untuk menjamin antara nilai-nilai yang diharapkan hadir pada suatu peraturan perundang-undangan, dengan rancangannya sendiri memiliki keserasian. Aspek sosiologis mengisyaratkan agar peraturan perundang-undangan yang dipersiapkan nantinya memang merupakan kebutuhan akan hukum yang berasal dari problematika empiris yang dirasakan oleh masyarakat.

Adapun aspek yang terakhir, yakni secara yuridis suatu peraturan hendaknya bersifat sebagai penjabaran lebih lanjut, pengisi atas suatu kekosongan hukum, maupun hukum yang sama sekali baru dengan tetap memiliki sifat yang harmonis dan sinkron dengan peraturan lain–baik secara vertikal maupun secara horizontal. (Aziz 2012)

Filosofi pembentukan peraturan berbasis syariah tidaklah bertentangan dengan filosofi pembentukan peraturan perundang-undangan secara umum, sebagaimana diutarakan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa sumber dari segala sumber (materiil) adalah Pancasila. Pancasila menjadi filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan, mengingat juga Sila pertama menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Selain itu, makna Indonesia sebagai Negara Pancasila dalam pandangan salah satu pakar beragama Katolik, Drijarkoro S.J dalam Adian Husaini menyebutkan bahwa:

Baca Juga  Imam Abu Hanifah: Tokoh Pendiri Mazhab Hanafi

“Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara yang sekular, karena mengakui dan memberi tempat pada religi. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa negara itu adalah negara agama, sebab negara tidak mendasarkan diri atas sesuatu agama tertentu. negara yang berdasarkan Pancasila adalah negara yang “potentieel religieus” artinya memberikan kondisi yang sebaik-baiknya bagi kehidupan dan perkembangan religi. Jadi negara Pancasila itu tidak bersikap indifferent terhadap religi. Perumusan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dipandang menurut keyakinan bangsa kita yakni sebagai monotheisme.”(Husaini 2009)

Tafsir makna Ketuhanan Yang Maha Esa pada Sila Pertama Pancasila memberikan maksud bahwa negara Indonesia memegang erat nilai-nilai yang ditunjukkan oleh masing-masing agama, termasuk Islam di dalamnya. Selain itu, Indonesia juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya terhadap warganya untuk melakukan ibadah, sebagai wujud penjaminan hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Ibadah Bukan Sebatas Ritual

Sebagai penegasan bahwa beragama adalah hak konstitusional yang dijamin oleh negara, maka beragama pun termaktub dalam golongan pembahasan hak asasi manusia pada pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Ibadah dalam pandangan Islam tak sekedar ritual keagamaan semata, namun juga termasuk segala perbuatan yang berkesesuaian dengan kehendak Allah SWT sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Hal ini dapat terlihat jelas dari adanya konsep ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah dalam Muhammadiyah. Perihal yang pertama adalah ibadah yang dengan petunjuk-petunjuk (dalil) spesifik harus dilakukan oleh seorang hamba. Sedangkan perihal yang kedua, adalah ibadah dengan tanpa bertolak pada suatu petunjuk-petunjuk spesifik. (Muhammadiyah, 2018)

Baca Juga  Fikih Haji Lansia: Doa di Luar Raudah Sudah Makbul

Menjalankan shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh daripada ibadah mahdhah. Adapun saling mengasihi, menyayangi yang muda dan menghormati yang tua adalah contoh dalam ibadah ghairu mahdhah. Di sini dimensi sosial, ekonomi, politik, hukum, dan lain sebagainya terhitung tetap sebagai ibadah. Inilah yang terkadang banyak membedakan antara agama Islam dengan agama yang lainnya, terutama pasca abad pencerahan (rennaissance) yang membedakan secara ekstrem antara kekuasaan agama dan kekuasaan duniawi (politik). (Huijbers, 1982)

Tidak Perlu Curiga

Begitu pula dalam sudut pandang hak asasi manusia, menurut Pasal 18 International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagaimana yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 bahwa ICCPR menjamin hak setiap orang untuk memiliki kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Begitu pula Pasal 18 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 menyebutkan:

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”

Akhīr al-kalām, gagasan pembuatan peraturan perundang-undangan berbasis nilai-nilai dalam syariah bagi umat Islam, tampaknya bukan gagasan yang patut dicurigai terlalu berlebihan. Gagasan ini muncul hanya sebagai implementasi peribadatan seorang muslim atas apa yang ia yakini, pelajari, dan pahami. Hal ini merupakan implementasi dari konsep ibadah yang tak sekedar pelaksanaan ritualitas formal semata, namun juga seluruh aspek dalam kehidupan.

Editor: Nabhan

Ahmad Reza Setiawan
1 posts

About author
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds