Orang Islam menurut saya adalah mereka yang berpedoman pada Al-Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw. Apa keistimewaan Rasul Muhammad sehingga namanya disandingkan dengan Allah sebagai rujukan yang perlu ditaati umat?
Orang-orang yang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya tidak membeda-bedakan seorang rasul pun {Al-Qur’an surah 2 (Al-Baqoroĥ): 285}. Para rasul itu sama-sama membawa misi tauhid, keimanan kepada Tuhan yang ahad.
Tapi, orang yang membaca Al-Qur’an akan mendapatkan bahwa Allah sendiri mengakui keistimewaan Muhammad Saw di bidang akhlak.
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung (khuluqul ‘ažiim)” {QS 68 (Al-Qolam): 4}.
Klaim Al-Qur’an ini diperkuat hadiť (hadis) yaitu catatan tentang sunnaĥ atau perbuatan Rasulullah. Misalnya sebagaimana disampaikan Ali Farkhan Tsani di minanews.net (21 Sep 2021), mengenai sebuah hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah ra, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”
Rasulullah sendiri memiliki sifat natural yang kondusif buat tugas-tugas kerasulan, seperti jujur, mau mendengarkan pendapat orang, dll, dan Allah juga menjaganya dari perbuatan dosa. Sehingga, Muhammad muda sebelum diangkat jadi nabi adalah seorang yang ma’shum (terpelihara dari dosa).
Namun, karena Nabi Muhammad diutus untuk seluruh manusia {QS. 4 (An-Nisã-): 79}, yang berbeda-beda dalam karakter dan budaya {QS. 49 (Hujuroot): 13}, manusia dengan berbagai karakter itulah yang merujuk kepada sunah Rasulullah sebagai acuan bersama.
***
“Aku berpuasa dan aku berbuka; aku shalat malam dan aku juga tidur,” kata Rasulullah, menjelaskan bahwa meskipun ia mencontohkan umatnya untuk banyak beribadah, ia tidak menyuruh umat mencontohnya secara berlebihan kecuali sebatas kesanggupan mereka.
Dengan kata lain, karakter Rasulullah sebagai panutan umat itu di tengah-tengah, median. Karakter Rasulullah itu moderat, tidak ekstrem.
Itu sebabnya, sunah Rasulullah dapat diterima berbagai bangsa dengan karakter yang berbeda-beda di belahan dunia Timur maupun Barat (juga Utara dan Selatan).
Jadi, keistimewaan Muhammad Rasulullah terdapat pada akhlaknya. Akhlak (jamak: khuluq) adalah ‘perbuatan’, mengacu kepada karakter psikis seorang individu dan ekspresinya berbentuk kebudayaan.
Tapi, Islam memandang khuluq atau akhlak itu bukanlah melulu sesuatu yang natural atau alami, melainkan hasil didikan dan pembelajaran.
Akhlak itu Dipelajari
Wahyu pertama yang diterima Muhammad adalah soal pembelajaran dari Tuhannya, Sang Pencipta yang mengajari manusia dari tidak tahu menjadi tahu {QS 96 (Al`Alaq): 5}.
Manusia bukanlah malaikat yang cuma butuh waktu sepersekian detik untuk berpindah dari satu galaksi ke galaksi lain di alam semesta.
Bahkan, manusia juga tidak mampu menyamai jin yang dapat melihat manusia dari suatu tempat di dimensi lain sedangkan manusia tak mampu melakukan hal yang sama, melihat jin sekehendaknya.
Yang namanya teknologi “teleport” yang memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain pun baru ada pada taraf khayalan, yaitu dalam film futuristik Star Trek dengan jagoannya Mr Spock.
Toh, dengan keterbatasan manusia dibandingkan malaikat dan jin, cukup mengherankan bahwa Sang Pencipta justru memerintahkan keduanya untuk bersujud kepada Adam, sang manusia pertama yang dicipta belakangan setelah Dia menciptakan malaikat dan jin {QS 7 (Al-A`raf): 11}.
Allah adalah Tuhan satu-satunya, Yang Mahatahu, Pemilik Cahaya dan Kegelapan. Dia lebih tahu mengapa manusialah yang dijadikan khalifah atau wakil-Nya di muka bumi {QS 6 (Al-An`aam): 165}, bukan malaikat atau jin yang lebih digdaya.
Rupanya, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa dan bersabar. Allah bahkan menjamin bahwa orang-orang yang sabar di jalan-Nya akan mendapat balasan yang baik –sorga {QS 16 (An-Nahl): 96}. Tuhan menurut saya mencintai proses.
Proses itu dicontohkan oleh perbuatan Nabi Muhammad Rasulullah Saw, rujukan berikutnya setelah kitab suci Al- Qur’an, sebagai pegangan bagi orang-orang bertakwa. Nabi yang moderat, yang cenderung memilih berada di tengah-tengah, median.
Ini menurut cendekiawan Nurcholish Madjid (alm) melambangkan agama Islam itu sendiri. Islam menurut Cak Nur bukanlah agama hukum yang keras seperti Yahudi, tapi juga bukan agama kasih seperti Nasrani, melainkan jalan yang berada di tengah-tengah di antara keduanya.
Tasamuh
Nabi dalam hadis-hadis Bukhary dan Muslim mengatakan, “Jangan marah kepada orang yang belum tahu,” karena mereka yang belum tahu itu bagai anak-anak dan kita disuruh bersikap tasamuh (toleran, memaafkan) terhadap mereka.
Hadis shahih riwayat Bukhary menuturkan bahwa Ummu Khalid bt Khalid, seorang anak perempuan Habsyi (bangsa Ethiopia di Afrika), menceritakan pengalamannya.
“Saya datang kepada Rasulullah Saw bersama ayahku, dan saya mengenakan baju kuning. Lalu, Rasulullah berkata, ‘sanah, sanah’,” tutur Ummu Khalid, menyebutkan istilah dalam bahasa Habsyi yang artinya ‘bagus’.
Menurut Ummu Khalid, Nabi memuji pakaian yang ia kenakan, dan kita bisa membayangkan bagaimana seorang bocah kulit hitam memakai baju kuning sehingga tampak ngejreng.
Kata Ummu Khalid lagi, “Saya pergi bermain-main dengan cincin Nabi Saw, lalu ayahku membentakku. Rasulullah Saw berkata, “Biarkanlah ia.”
Kemudian Rasulullah bersabda, “Buruklah dan berakhlak baiklah, kemudian buruklah dan berakhlak baiklah, kemudian buruklah dan berakhlak baiklah.”
Sunah Rasul ini mengajarkan bahwa akhlak yang baik itu berproses, karenanya jangan marah kepada orang yang belum tahu. Ini ajaran untuk memaafkan.
Memaafkan seperti ini bahasa Arabnya, tasamuh, suatu kata yang terdiri dari fonem-fonem s-m-h yang mengandung arti, ‘dermawan’, ‘memudahkan’, ‘memaafkan dalam suatu urusan’, ‘berlaku lemah-lembut’, dan ‘toleran’.
Tasamuh membutuhkan keikhlasan. Hanya orang yang ikhlas mampu memperlihatkan toleransi, karena perbuatan itu hanya bermotifkan lillahi ta’ala, karena Tuhan semata, dan karenanya terhindar dari gangguan setan.
Tasamuh dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang posisinya lebih tinggi kepada yang lebih rendah, seseorang yang lebih besar kepada yang lebih kecil, seseorang yang berilmu kepada yang belum tahu, kelompok mayoritas kepada minoritas.
***
Toleransi dilakukan oleh orang yang punya pilihan: memaafkan atau tidak memaafkan. Dia bisa memilih salah satu dari keduanya tanpa dibebani dosa. Dia berhak untuk tidak memaafkan.
Tapi, bila yang terakhir ini yang dipilih (tidak memaafkan), ia sama seperti orang kebanyakan lainnya. Tak pernah naik kelas. Tak pernah bisa menjadi besar.
Muhammad Rasululullah adalah orang besar karena akhlaknya yang sangat mulia. Dan orang paling mulia dalam pandangan Allah adalah orang paling ber-taqwa.
Tapi, Rasulullah mengajarkan bahwa kemuliaan itu mungkin diraih oleh kelas sosial mana pun sepanjang ia bertakwa kepada Tuhan Yang Mahamulia.
Sebaliknya, reputasi saya bisa menurun sampai ke tingkat tertentu hingga layak diberi atribut kampungan, katrok, banal, atau common mongrel, itu tanpa memandang apakah saya tergolong tajir atau fakir dan tanpa peduli sebesar apa pun kekuasaan yang saya miliki,
yaitu jika saya menunjukkan perilaku buruk yang menyimpang dari kebaikan sebagaimana diajarkan Allah untuk diamalkan. Dan Nabi Muhammad adalah teladan bagaimana akhlak yang mulia itu diamalkan.
Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat (kasih) bagi seluruh alam {QS 21 (Al-Anbiyã-): 107}.