Menurut para ulama, hadis tidak hanya perlu diketahui secara umum seperti mengetahui sanad, riwayat, maupun matannya saja. Akan tetapi, perlu juga diketahui periodisasi sejarah perkembangannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pembagian periodisasi tersebut. Muhammad ‘Aja>j al-Khatib dalam karyanya membagi kepada tiga periode hadis, yaitu masa Nabi Saw, sahabat, dan tabi’i>n (al-Sunnah Kobla al-tadwi>n, 29).
Sedangkan, Muhammad Musthafa al-‘Azami membagi kepada dua periode, yaitu masa sebelum penulisan hadis, dan masa pengajaran dan penyebaran (Dira>sah Fi> al-Hadi}th, 13).
Ha>kim ‘Ubaysa>n al-Mutayri membagi kepada empat periode, yaitu masa penulisan, penghimpunan dan pembukuan, masa pengklasikifikasi, dan peluncuran ensiklopedia (Tari>kh Tadwyn, 35).
Demikian pula, Musthofa Sa’id al-Khan membagi kepada empat periode yaitu: masa penghafalan di dalam hati, masa pembukuan, masa pembersihan hadis nabi, serta masa pengkategorian dan pengoreksian (al-Iydhoh fi} ‘Ulum, 11-14).
Berdasarkan pembagian sejarah periodisasi di atas, yang lebih masyhur di kalangan umat adalah pembagian kepada dua periode yaitu masa Nabi Muhammad Saw dan masa Sahabat dan Tabi’in.
Karena urutan periodisasi tersebut hampir sama sebagaimana tertera di dalam buku -buku sejarah Islam maupun di dalam buku sejarah hukum Islam (Hukum Islam, 13). Oleh karenanya, berikut akan dijelaskan secara khusus mengenai sejarah perkembangan hadis pada masa Rasulullah dan Sahabat.
Perkembangan Hadis di Masa Rasulullah
Perkembangan hadis di masa Rasulullah menurut Musthofa Sa’id al-Khan masih termasuk pada masa awal, yaitu penghafalan di dalam hati (al-Iydhoh Fi} ‘Ulum, 11). Karena, pada masa tersebut, para sahabat digolongkan kepada umat awal yang ummi (buta huruf), juga tidak memiliki bacaan yang bagus dan tidak bisa menulis kecuali sedikit. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an surah al-Jum’ah ayat 20.
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka
Meskipun digolongkan sebagai umat yang ummi, tetapi para sahabat dan bangsa arab waktu itu memiliki kemampuan menghafal yang sangat kuat (al-Iydhoh fi} ‘Ulum,11).
Bahkan, beribu-ribu syair dapat mereka hafal dengan baik. Sehingga, hal tersebut menjadikan salah satu unsur kuat yang membuat hadis masih ada hingga sekarang (Usul al-H}adi}th, 59-60).\\
Hadis di Masa Sahabat
Sedangkan, hadis di masa para sahabat, menurut beberapa kalangan ulama, merupakan masa kehati-hatian dan penyederhanaa atau pembatasan dalam periwayatan hadis (al-Hadith wa al-Muhaddisu>n, 66-69) . Karena, pada masa tersebut, umat Islam ditinggal oleh Rasul Saw.
Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq merupakan orang pertama yang memberikan perhatian serius dalam meriwatkan hadis. Demikian pula Umar bin Khatab, sebagaimana dalam athar disebutkan bahwa keduanya tidak akan menyetujui suatu hadis jika tidak disaksikan oleh yang lain (Tari>kh al-Tasyri, 65-66).
Seperti halnya Abu> Bakar, khalifah Umar juga melakukan pembatasan periwayatan hadis dan menekankan kepada sahabat untuk tidak menyebarkan periwayatan hadis kepada masyarakat.
Hal tersebut dilakukan, agar lebih terfokus kepada membaca dan mendalami Al-Qur’an. Ditakutkan umat Islam melakukan kekeliruan terutama dalam periwayatan hadis nantinya (Manhaj al-Naqd, 52). Dengan demikian, pembatasan tersebut mampu menjadi penghalang bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab dalam menyebarkan hadis-hadis palsu.
Selain itu, pada masa Rasul dan Sahabat ini, belum ada usaha penghimpunan hadis di dalam satu kitab utuhsebagaimana Al-Qur’an, yang sudah dilakukan oleh para sahabat.
Adapun yang menjadi sebabnya adalah: (1) Agar umat Islam tidak berpaling dari kitab suci Al-Qur’an, terutama dalam mempelajarinya. (2) Sudah meluasnya kekuasaan Islam, sehingga para sahabat yang menerima hadis dari Rasulullah, banyak menyebar ke berbagai tempat. (3) Terjadinya perselisihan pendapat di kalangan para sahabat, terutama mengenai pembukuan hadis. Belum ditambah dengan perselisihan lafaz} dan kesahihannya (al-Sunnah Qobla al-Tadwi>n, 92-93).
Perintah dan Larangan Penulisan Hadis
Di samping perkembangan hadis di masa rasul dan sahabat tersebut, terdapat perbedaan pendapat mengenai perintah dan larangan penulisan hadis Nabi Muhamamad Saw. Hal itu didasarkan kepada dua riwayat hadis yang bertentangan satu sama lain, baik yang melarang maupun yang membolehkan. Seperti Hadis yang melarang diriwayatkan oleh Abu> Sa’id al-Khudriy ra:
عَنْ أَبي سَعِيْدٍ الخُدْرِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَكْتُبُوْا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ القُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ (رواه مسلم)
Dari Abu> Sa’id al-khudri, Rasulullah Saw bersabda: Janganlah kalian menuliskan sesuatu dariku. Barang siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hapuslah (HR. Muslim)
Dan juga hadis yang menganjurkan atau yang mengizinkan, diriwayatkan oleh Abu> Hurairah ra.
\رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنِّهُ لمَاَ فَتَحَ الله عَلَى رَسُوْلهِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَامَ الرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَطَبَ فِي النَّاسِ. فًقَامَ رَجُلٌ مَعَ أَهْلِ اليَمَنِ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ شَاهٍ فَقَالَ يَا رَسُوْلُ اللهِ أُكْتُبُلِي, فَقَالَ أُكْتُبُوْا لِأَبِي شَاهٍ. (رواه مسلم)
Di riwayatkan dari Abu> Hurairah, bahwa ketika Fath Makkah Rasulullah SAW bangkit untuk berkhutbah di tengah orang banyak. Maka berdirilah seorang penduduk Yaman, bernama Abu> Syah. Katanya, “Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Kata Nabi “Tuliskanlah untuknya.”
Berkaitan dengan dua hadis di atas, para ulama melakukan berbagai usaha dalam menyelesaikan hadis yang bertentangan tersebut. Yaitu dengan tiga jalan; pertama, dengan melakukan al-tarji}h, kedua, melakukan al-Jam’u (mengkompromikan antara keduanya), dan ketiga, dengan melakukan al-na>sih} wa al-mansuk>h}.
***
Menurut Rasyid Ridha>, yang dikutip oleh Abu Rayyah menurutnya keduanya dapat di kompromikan, dan larangan dari hadis Abu Sa’id adalah larangan menjadikan hadis sama kedudukannya dengan Al-Qur’an.
Sedangkan, menurut Abu> Rayyah sendiri, jika sekiranya kedua hadis tersebut bertentangan, maka yang satu merupakan na>sih} bagi yang lain.
Abu> Rayyah melanjutkan, hadis yang na>sih} adalah hadis yang melarang penulisan. Dengan alasan setelah Nabi wafat, tidak ada lagi yang menyenangi penulisan hadis. Serta, para sahabat juga tidak pernah membukukan hadis (Ad}wa>’ Baya>n, 21).
Pendapat Abu Rayyah tersebut, secara tidak langsung dibantah oleh Abu Syu’bah, dengan mengatakan hadis Abu Hurairah merupakan na>sih} bagi hadis Abu Sa’id. Berdasarkan dari kisah Abu> Syah yang terjadi pada tahun 8 H, yaitu tahun penaklukan Mekkah. Juga Abu Hurairah yang merupakan perawi hadis tersebut, baru masuk Islam pada tahun 7 H. (Difa>’ al-‘An al-Sunnah, 20-21).
Berdasarkan kepada dua pendapat tersebut, pendapat pertama mengatakan, hadis larangan lebih akhir wurudnya daripada hadis yang mengizinkannya. Sedangkan pendapat kedua, hadis larangan lebih awal wurudnya daripada hadis yang mengizinkannya.
Dengan demikian, pendapat yang lebih kuat adalah, hadis yang melarang merupakan hadis yang lebih awal wurudnya dan hadis larangan tersebut di pandang mansu>h}. Wallahu ‘Alam.
Editor: Yahya FR