Saya masih ingat ungkapan “Hari ini adalah hari esok yang kita khawatirkan kemarin.” Itu ungkapan seorang motivator handal, Rene Suhardono.
Namun, kali ini, kita harus “move on” dari obrolan soal kekhawatiran. Yang terpenting, yang mesti kita pahami secara lebih bijaksana adalah, hari esok yang tak terprediksikan adalah dalam genggaman Sang Pemilik Hidup; Allah SWT.
Hal-hal yang menjadi otoritasNya semata, hanya perlu dipasrahkan secara total kepadaNya. Termasuk soal rezeki, jodoh, dan mati. Sebagaimana menurut Emha Ainun Najib, “Terserah Allah, pokoknya. Titik.”
Jadi, perkara “what will exactly happen” sebagai sebuah takdir yang pasti, sama sekali bukan menjadi urusan kita. Sekali lagi, bukan urusan kita.
Namun, mengenai proses, apa yang kita lalui dan kita usahakan adalah hal yang akan dinilai oleh Allah. Ikhtiar yang kita lakukan, pasti akan mendapatkan ganjaran di akhirat kelak.
Sebagaimana kata kitab suci, “Kebajikan yang kita tanam sebesar biji zarrah sekalipun, akan memanen pahala yang setimbang. Demikian pula dengan kelam kejahatan!” (baca QS. Al-Zalzalah).
Dalam konteks ini, Islam tampak sebagai agama yang mengajarkan filsafat proses. Perjuangan lebih mulia ketimbang hasil yang diraih. Dan dalam memperjuangkan sesuatu, kita disarankan agar tidak lengah. “Dan demi waktu, sungguh manusia (yang lengah) dalam kerugian.” (QS. Al-Ashr ayat 1).
Lengah berarti tidak memperhatikan seutuhnya. Atau, juga bisa teralihkan dari fokus yang kita hadapi. Kalau fokus yang dimaksud adalah jalan yang lurus (shirath al-mustaqim), lengah adalah jalan kesesatan. Bayangkan kereta api keluar dari relnya ketika sedang berjalan dengan kecepatan tinggi. Betapa berbahayanya hal itu.
Lengah bisa terjadi lantaran alpa. Murni melakukan kekeliruan yang manusiawi. Atau lupa. Benar-benar terlepas dari apa yang seharusnya ada di hadapan mata dan hati (ingatan). Atau, salah. Kekeliruan terjadi secara nyata dan disadari sepenuhnya.
***
Lengah juga berpotensi membawa terlalu jauh diri ini menapaki hitam kelam kesesatan. Lengah memungkinkan kita menjadi lalai. Kita kehilangan orientasi hidup dan tidak lagi memiliki kesadaran akan pentingnya mempersiapkan diri untuk mati dan kembali ke Sang Ilahi. Padahal, “Bukankah kampung akhirat lebih baik dari kehidupan sebelumnya (di dunia ini)?” (QS. Al-Dhuha).
Dalam berbagai ungkapan, kitab suci kerap menyebut mereka yang lalai sebagai ingkar (tahu mana yang benar, tetapi mengingkari), kafir (bereaksi negatif terhadap kebenaran), syirik (terbuai nikmat durjana dan menuhankan nafsu), fasik (mengulang-ulang kesalahan dengan cara yang bebal) dan lain sebagainya, yang ujungnya adalah “dhallin” dan dimurkai Allah.
Pada intinya ada “interupsi” ketika kita fokus memperjuangkan hal yang baik dan benar. Karena itulah, Al-Qur’an menyarankan kita untuk “dzikr Allah katsiran” (mengingat Allah sering-sering) sebagai upaya internalisasi nilai kebenaran ke dalam diri secara bertahap tapi pasti.
Di samping itu, pegangan hidup Sang Nabi ini juga memuji mereka yang gigih dan persisten meyakini kebenaran dan melakukan amal saleh (ghairu mamnun).
Sebenarnya, baik mereka yang meniti jalan yang lurus maupun yang lalai, sama-sama mengidamkan kesenangan dan pada akhirnya, kebahagiaan. Diperbudak nafsu atau mengikuti jalan agama yang luhur, sama-sama demi mengejar kebahagiaan.
Hanya saja, jika kebahagiaan yang timbul justru tidak disertai dengan rasa tenang yang paripurna (muthmainnah), maka hal itu sebenarnya sekedar “lawwamah” (kebahagiaan semu). Bisa jadi jiwa-jiwa yang tenang justru tidak bahagia hidupnya. Tapi itu tidak masalah, karena yang penting adalah mendapat penerimaan dari Allah.
Pentingnya Keberpihakan
Kisah para Nabi misalnya, kerap diwarnai dengan narasi tentang keberpihakan kepada mereka yang lemah, terpinggirkan, tersakiti, dan tidak merasakan kebahagiaan dalam hidup. Tentu kebahagiaan temporal yang dirayakan di dunia ini, tidak melekat pada situasi yang serba prihatin.
Tapi justru dalam kondisi yang demikian, ketenangan paripurna hadir ke dalam diri para Nabi. Mereka yakin bahwa amal saleh yang mereka upayakan akan diganjar kebahagiaan hakiki. Mereka yakin bahwa pasti akan dimasukkan ke surga Allah yang abadi.
Perjuangan yang konsisten dan persisten selalu berpijak di atas dasar keyakinan (tauhid) yang kokoh. Bahwa kebahagiaan duniawi memang tidak selalu diraih. Tapi janji Allah akan kebahagiaan paripurna, menjadikan para Nabi menggapai ketenangan yang luar biasa. Mereka tidak sedih, apalagi takut akan hari depan.
Para pembaca yang budiman, marilah kita meniti jalan perjuangan para Nabi yang penuh ketenangan ini. Marilah kita memandang positif akan hari depan yang akan kita hadapi nanti. Ya Allah, ya Rabbi, tunjukilah kami semua jalan yang lurus; jalan mereka yang Engkau beri nikmat.
Editor: Yahya FR